scentivaid mycapturer thelightindonesia

Penjahit Terbang ke Bulan

Penjahit Terbang ke Bulan

Dalam khazanah sastra klasik Minangkabau, kita tentu tak asing lagi dengan karya-karya mengandung sarkasme, salah satunya pantun “Panjahik Tabang ka Bulan”. Lebih lengkapnya begini:

Panjahik tabang ka bulan,

Tibo di bulan patah tigo,

Di langik lah tadanga hujan

ka bumi satitiak tido.

[Panjahik tabang ka bulan,

Tibo di bulan patah tigo,

Di langik lah tadanga hujan

ka bumi satitiak tido.]

Kata “panjahik” atau penjahit [baris 1] di sana tidak dalam arti seseorang yang berprofesi sebagai tukang jahit, melainkan yang dimaksudkan adalah jarum untuk menjahit. Secara gamblang, tentu saja dianggap mustahil dan dianggap tidak ada manfaatnya bagi sebuah jarum bisa terbang sendiri ke bulan. Kemustahilan itu tentu saja pertama-tama karena jarum adalah benda yang tidak mengemban fungsi terbang ataupun penerbangan. Kalau pun diberikan mesin untuk terbang di dalamnya, maka itu masih dianggap terlalu tidak berguna, tak hanya karena sebagai benda ia sungguh terlalu kecil tetapi juga tidak ada kebutuhan penting bagi jarum untuk sengaja diterbangkan ke bulan. Kalau pun ia berguna di bulan, tentu saja ia akan dibawa oleh astronot sebagai perkakas belaka dan bukan sebagai benda yang bisa terbang sendiri.

Yang tak kalah penting, kemustahilan dan ketidakbermanfaatan itu semakin diperdalam dengan keterangan bahwa jarum itu setiba di bulan pun patah tiga [baris 2]. Sebuah jarum yang patah tentu tidak bisa dimafaatkan lagi karena tidak ada lagi keterhubungan fungsional antara ujung jarum yang runcing dengan pangkal jarum yang berlobang, sekalipun patahnya cuma patah satu. Apalagi bila patahnya adalah patah tiga, maka ketidakbergunaannya semakin berlipat-ganda. Malang yang sebenarnya malang.

Lalu, meskipun jarum tersebut digambarkan tidak berguna sejadi-jadinya, mengapa ia masih ditampilkan tetap tiba di bulan? Apa makna “jarum tiba di bulan” meskipun hanya untuk “patah tiga”? 

Penggambaran seperti itu berguna untuk membandingkannya secara telak dengan penggambaran selanjutnya (baris 3 dan baris 4). Di dua baris terakhir itu dapat kita pahami tentang terjadinya semacam ketidaklogisan atas suatu peristiwa yang justru alamiah belaka. Biasanya, bunyi hujan di langit dan tetes hujan tidaklah terpisah sama sekali. Bunyi hujan dan air hujan bersamaan datangnya ke bumi. Bahkan di kondisi tertentu, bunyi hujan terdengar makin riuh karena disebabkan oleh jatuhnya air hujan ke tempat-tempat tertentu. Tapi, dalam pantun itu digambarkan bahwa bunyinya sudah terdengar, tapi airnya setitik pun tidak turun.

Kini, kita dapat melihat bahwa antara antara baris 1-2 dengan 3-4 terdapat dua kondisi yang bertolak belakang dengan logika yang terbalik. Dalam gambaran di dua baris awal, justru sudah terjadi hal-hal tidak logis, sedangkan di dua baris terakhir malah tak tak terjadi suatu hal-hal yang semestinya sudah logis untuk terjadi. Di sinilah bermulanya suatu ironisme antara “jarum” dengan “hujan”. Keduanya sama-sama benda halus yang pada sisi tertentu mempunyai tampakan yang serupa. Bahkan, karena adanya kemiripan tertentu, dalam khazanah sastra modern, jarum seringkali menjadi perumpamaan untuk hujan. Jarum yang mustahil terbang ke langit pun bisa sampai di bulan, meskipun sia-sia belaka sesampai di sana. Sedangkan hujan yang memang sudah adatnya turun ke bumi untuk menjadi manfaat bagi orang banyak pun malah tak turun-turun, meskipun suaranya sudah terdengar di langit.

Secara sarkas, penggambaran kondisi terbalik antara jarum dan hujan tersebut tak jarang digunakan untuk menunjukkan ketimpangan peran yang terjadi antara kelas “yang di bawah” dan kelas “yang di atas”. Orang-orang di bawah seringkali melakukan yang rasanya mustahil dilakukannya, tapi tetap di lakukannya demi sampai pada orang yang di atas, walaupun seringkali tetap tak dianggap akhirnya. Sedangkan, orang yang di atas, yang jelas-jelas punya tanggungjawab, malah tidak pernah menurunkan kewajiban atauun manfaatnya ke orang di bawah, dan sekalipun ia sampai ke bawah maka itupun hanya sebatas “bunyi” saja. Tidak pernah benar-benar sampai.

Dalam kehidupan sosial, biasanya pantun itu tidak diucapkan secara lengkap, tapi seringkali hanya sampirannya saja. Karena, ketika sampirannya sudah diucapkan, biasanya maksud isinya sudah dapat dipahami. Misalnya, sebagai contoh saja, ada seorang buruh yang sudah keras bekerja dan mati-matian bertahan hidup, bahkan bertahan dengan cara yang sudah tidak masuk akal lagi rasanya, tapi upahnya belum juga diturunkan oleh tuannya, besok ke besok saja terus katanya. Maka, untuk mengekspresikan nasibnya kepada rekannya (bahkan untuk mengingatkan tuannya secara tidak langsung), si buruh itu bisa saja berkata: “Eh yayai yo, lah tabang pulo panjahik ka bulan, baa ka aka lai ko….” ***

Baca juga: https://tarbiyahislamiyah.id/jalan-lurus-lebuh-bersimpang/