Penjemput Kenangan Penjemput Kenangan Penjemput Kenangan Penjemput Kenangan Penjemput Kenangan
Oleh : Norliyana Sapitri
Desiran angin mulai membangunkanku, begitu sejuk menerpa wajahku. Kulihat dari balik jendela bis tua nampak gunung-gunung menjulang tinggi disisi kiri dan kanan kami. Pemandangan itu begitu mempesona karena tak bisa kami temui di kota. Teman-temanku sibuk mengabadikan momen itu dengan gawai mereka tapi aku hanya berdiam diri menikmati begitu sejuknya angin dari balik jendela bis tua. Di tengah perjalanan aku merasa mual karena jalan yang berlika-liku dan tanjakan yang begitu curam. Ini pengalaman pertamaku melewati jalan di antara pegunungan dengan menaiki bis begitu terasa menakutkan dan membuatku mabok perjalanan. Akhirnya kami hampir sampai di sebuah desa yang akan menjadi tempat pengabdian namun perjalanan kami harus terhenti di sebuah pedesaan yang terletak cukup jauh dari desa pengabdian kemudian perjalanan kami harus lanjutkan dengan berjalan kaki karena jalannya yang sempit sehingga bis tidak bisa masuk. Aku mencoba melihat gawai ternyata memang benar disini sudah mulai tidak ada sinyal.
Selamat datang di desa Loklahung tertulis begitu indah di pintu gerbang, ya itulah nama desa yang akan menjadi tempat pengabdian kami selama sepekan yang akan datang. Setelah melewati gerbang desa kami menuju rumah warga yang akan menjadi tempat penginapan. Di desa itu mayoritas masyarakatnya beragama non muslim sehingga kami harus bisa beradaptasi dengan mereka. Saat menuju penginapan banyak anjing dan babi yang berkeliaran, aku merasa sangat ketakutan tapi salah satu kakak panitia mengatakan kalo itu binatang perilaharaan masyarakat di desa itu sehingga sudah dijinakkan. Sesampainya di penginapan kami pun duduk sebentar mengistirahatkan badan, perjalanan yang begitu melelahkan tapi lelah kami terkikis ketika memasuki desa itu, udaranya yang sejuk membuat pikiran kami segar kembali. Setelah beristirahat beberapa menit, kami pun bersiap untuk salat zuhur karena desa itu tidak ada musala kami pun salat berjamaah di penginapan. Kegiatan kami pun di mulai setelah makan siang.
“Kakak, setelah ini kita ada kegiatan bersih-bersih di lapangan sekolah untuk mempersiapkan kegiatan malam ini dan jangan lupa bawa alat kebersihan masing-masing” pengumuman yang disampaikan oleh salah satu kakak panitia setelah makan bersama.
Jarak lapangan sekolah dengan penginapan cukup dekat tapi kakiku terasa berat untuk melangkah, rasa lelah masih mendekap tapi tak ada waktu untuk beristirahat. Kami harus bergegas pergi ke lapangan sekolah. Di sana sudah banyak anak-anak yang menanti kami ternyata mereka ingin membantu kami membersihkan lapangan dengan senang hati. Aku sangat senang melihat senyum mereka yang penuh semangat membuat rasa lelah yang kurasakan tadi menghilang entah ke mana.
Sembari membersihkan lapangan, aku berbincang bersama mereka. Logat bahasa mereka begitu kental terkadang aku tidak mengerti apa yang mereka katakan dan aku hanya membalas dengan senyuman. Setelah bersih-bersih ada beberapa anak-anak yang mengikuti kami menuju penginapan, di tengah perjalanan mereka mengatakan kalau di desa ini ada air terjun yang sangat indah setelah mengatakan itu mereka tak segan mengajak kami pergi kesana untuk mandi bersama, tentu saja kami tidak menolaknya. Akhirnya, kami terlalu asik bermain air sehingga tidak merasakan kalau senja sudah mulai datang menampakkan sinarnya. Senja di desa itu terlihat begitu indah dan mempesona mungkin karena tenggelamnya di antara pegunungan di desa, aku sangat kagum melihatnya sehingga aku lupa untuk mengabadikannya. Aku agak kesal karena tak bisa mengabadikannya tapi aku berpikir masih ada hari berikutnya untuk melihat dan mengabadikannya.
Baca Juga: Kenangan yang Hilang
Kala malam tiba, kami sudah berada di lapangan sekolah untuk menyiapkan malam ramah tamah bersama warga. Kegiatan malam ramah tamah ini kami adakan untuk berbaur dan mengakrabkan diri dengan masyarakat dan anak-anak di desa. Warga antusias, mereka datang bersama anak-anak mereka. Kami disambut dengan ramah dan hangat oleh mereka meskipun kami berbeda agama. Kami juga menyesuaikan kegiatan ini dengan mereka agar mereka tetap merasa nyaman berbaur dengan kami.
Ternyata kegiatan kami malam ini tak berjalan sesuai rencana, warga meninggalkan kami di penghujung acara. Satu persatu dari mereka pamit pulang dengan alasan yang berbeda-beda. Tidak heran di desa memang sangat berbeda dengan di kota. Warga di desa ini tidak biasa keluar malam untuk mengikuti sebuah acara. Kegiatan malam ini pun kami tutup walaupun acara belum selesai sepenuhnya. Setelah itu kami bergegas pergi ke penginapan untuk mengistirahatkan badan, tapi aku tidak bisa tidur karena banyak sekali nyamuk ditambah udara di desa ini begitu dingin dan kami hanya tidur beralaskan lantai kayu. Saat mataku hampir tertutup aku mendengar suara dengkuran temanku yang begitu keras, membuatku tersenyum sendiri di malam itu. Sepi begitu terasa di desa ini membuat aku tertidur dengan sendirinya.
Angin dingin menyergab tubuhku dan membangunkanku, kutengok jam dinding di penginapan itu ternyata menunjukkan pukul empat lewat lima belas menit, hatiku berkata “ahh masih sempat tidur sebelum subuh” tetapi ketika aku melihat ke arah dapur, Aku terkejut ternyata teman-temanku sudah bangun bahkan ada yang sudah mandi untuk persiapan salat subuh. Aku pun juga bergegas untuk mengantri mandi dan melawan rasa dingin yang menyergab tubuhku.
Satu hari sudah berlalu, tapi aku masih sulit beradaptasi dengan lingkungan di sini, namun aku sudah memutuskan untuk mengikuti pengabdian ini jadi aku harus belajar beradaptasi di sini. Hari kedua di desa ini, kami akan melakukkan pengajaran di sekolah. Kami sudah dibagi perkelompok untuk mengajar dari kelas 1-6. Aku merasa sangat gugup karena ini pengalaman pertamaku mengajar di kelas.
“Lisa sudah siapkan? Ayo kita berangkat kesekolah!” ucap salah satu teman satu kelompokku. Dia terlihat sangat bersemangat untuk mengajar hari ini karena melihat semangatnya itu aku pun juga tidak mau kalah dengannya. Aku juga harus semangat dan memberikan contoh yang baik untuk anak-anak di desa ini. Aku pun menghembuskan napas panjang.
“huuh bismillah, yuk kita berangkat!” Jawabku dengan penuh semangat dan rasa lega.
Bangunan yang berwarna merah dengan garis putih di tengahnya sudah di depan mata. Cat dindingnya yang terkelupas membuat sekolah ini terlihat sangat lusuh ditambah papannya yang sudah lapuk dimakan usia membuat hati teriris ketika melihatnya.
Ketika sudah sampai di sana kami langsung memasuki ruang kelas yang sudah ditentukkan sebelumnya. Aku dan kelompokku harus mengajar di kelas dua, kami pun langsung memasuki ruangannya. Kami disambut dengan penuh semangat oleh anak-anak yang sudah tidak sabar menunggu kami. Melihat semangat dan senyum anak-anak itu membuat rasa gugupku hilang dengan sendirinya, terkalahkan oleh rasa senang dan bahagia bisa berbagi ilmu dengan mereka. Kami mengajar mereka tentang menjaga kebersihan di lingkungan sekitar dengan cara membuang sampah pada tempatnya dan mengajar kerajinan tangan dengan memanfaatkan botol plastik bekas untuk dijadikan kotak pensil. Mereka terlihat sangat antusias mengikuti pembelajaran.
Di akhir pembelajaran kami memberikan apresiasi kepada mereka dengan memberikan mereka hadiah berupa tumbler agar mereka dapat menggunakan tumbler itu untuk membeli minuman sehingga mengurangi sampah plastik. Kali ini aku tidak akan melewatkan untuk mengabadikan momen bersama mereka, kami pun berfoto bersama. Setelah Pembelajaran selesai kami melanjutkan kegiatan kami yaitu sosialisasi kepada masyarakat di desa.
Hari ini adalah hari ketiga aku berada di tempat pengabdian, sepertinya aku mulai terbiasa berada di desa. Gawai yang tidak ada sinyal sudah tidak masalah bagiku, aku merasa tenang di desa ini. Pagi ini kami akan melakukkan kegiatan senam pagi bersama, tentunya lapangan sekolahlah yang akan menjadi tempat kami melakukkan kegiatan itu. Lapangan sekolah memang tempat yang tepat untuk melakukkan kegiatan bersama karena selain luas juga dekat dengan penginapan kami. Setelah kami selesai senam, kami pun pergi ke air terjun lagi untuk melepas penat dan mandi bersama anak-anak. Ketika berada di air terjun itu aku merasa sangat nyaman, airnya terasa sangat menyegarkan tempat yang cocok untuk melepas penat setelah kegiatan.
Hari demi hari berjalan begitu cepat tidak terasa sudah seminggu kami berada di desa ini. Tepat hari ini adalah hari kepulangan kami, sebenarnya aku masih ingin berada di desa ini tapi waktu pengabdian kami sudah usai. Aku sangat sedih dan pasti akan merindukan senyum manis anak-anak dan ramahnya masyarakat di desa ini, rindu senja di atas pegunungan itu, dan air terjunnya. Namun, disetiap pertemuan pasti ada perpisahan, itulah yang akan terjadi. Aku hanya bisa berharap kegiatan yang kami lakukkan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan anak-anak di desa ini.
Suara petir menggelegar menyadarkanku dari lamunan, aku tersadar ternyata pengabdianku kala itu sudah satu tahun silam berlalu. Namun kenangan itu masih terukir jelas dibenakku. Itu adalah pengabdian pertamaku yang memberikan banyak pelajaran berharga untukku. Di desa itulah aku belajar banyak hal mengenai arti toleransi dan makna berbagi.[]
Leave a Review