Sejak kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada 1924 M, umat Islam mulai memasuki masa yang oleh Rasulullah pada beberapa hadis menyebutnya sebagai “𝘘𝘢𝘳𝘯𝘶 𝘢𝘴𝘺-𝘴𝘺𝘢𝘪𝘵𝘩𝘢𝘯”, di mana Islam telah melemah di berbagai sendi, terutama sisi akidah, fikih, juga akhlak. Berangkat dari fenomena ini, kemudian muncul banyak tokoh yang ingin memodernisasikan ajaran Islam dengan tujuan mengembalikan kejayaan Islam, namun malah membuat akidah umat makin amburadul dan menyeleweng dari yang sebenarnya.
Saya jadi teringat mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam kala belajar di SMA dulu, dalam buku mata pelajaran SKI kurikulum 2013 tersebut terdapat satu bab khusus yang memuat tentang modernisasi/pembaharuan dalam Islam, lengkap dengan tahapan beserta para tokohnya.
Tak perlu saya sertakan arti modernisasi di sana dalam tulisan ini, karena maksud utama tulisan ini sama sekali bukan tentang itu.
Di sana dijelaskan bahwa tahap pertama gerakan pembaruan disebut sebagai “revivalisme pramodernis”, dimulai pada akhir abad 18 hingga awal abad 19 M. Tercatat gerakan tersebut dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Namun sebenarnya, jauh sebelum Muhammad bin Abdul Wahab, pemikiran ini telah lebih dulu disebarkan oleh inspiratornya pada abad 14 M, Ibnu Taymiah. Di masa-masa berikutnya, kedua tokoh ini pun menjadi kunci pembaharuan dalam tubuh Islam, kemudian disusul oleh tokoh-tokoh lain seperti Jamaluddin al-Afghani, Sayyid Muhammad Khan, Muhammad Abduh, Muhammad Ali Jinnah, Rasyid Ridha, dan beberapa lainnya. Nah, para tokoh inilah yang diangkat dalam buku tersebut untuk selanjutnya diajarkan kepada seluruh anak-anak muslim di Sekolah Menengah Atas.
Pantas saja saat itu saya dibuat bingung, karena tokoh akidah yang diajarkan di sekolah sangat berbeda dengan yang diajarkan di pondok. Sosok seperti Ibnu Taymiah, apalagi Muhammad bin Abdul Wahab, merupakan tokoh yang begitu diwanti-wanti oleh guru pondok untuk dijauhi karya-karyanya bagi orang yang belum cukup fondasi akidahnya, tapi di sekolah malah dipelajari dan disuruh hafal pula biografinya. Baru setelah banyak belajar dan membaca, saya pun tahu yang sebenarnya.
Realitanya, umat ini benar-benar sedang mengalami krisis akidah dan tokoh-tokohnya. Bayangkan, sebagian besar generasi lebih banyak belajar di sekolah-sekolah umum ketimbang belajar di pesantren tradisional. Tentu dapat disimpulkan lebih banyak generasi yang mengenal Ibnu Taymiah ketimbang Imam ar-Razi, Muhammad Abduh tentu lebih populer ketimbang at-Tafftazani. Dan bila pun mereka mengenal ar-Razi, mereka hanya mengenal beliau sebagai sosok dokter atau penemu, bukan sebagai penjaga akidah. Mungkin juga, mereka lebih mengenal Muhammad bin Abdul Wahab ketimbang Imam asy-‘Ary atau Imam Mansur al-Maturidi. Sungguh ironi.
Maka dari itu, mempelajari dan menggairahkan ilmu kalam di kalangan umat terutama para generasi sangat penting dilakukan sebagai jalan menyembuhkan kembali akidah. Di samping itu, pengenalan tokoh-tokoh Aswaja juga tak kalah pentingnya. Mengenal dan memperkenalkan tokoh akidah Aswaja dan sejarahnya adalah salah satu jalan untuk menggairahkan kembali akidah Aswaja. Bukankah menciptakan rasa nasionalis dan patriotis suatu bangsa adalah dengan mengedukasikan sejarah dan mengenalkan para tokoh pahlawan dari bangsa tersebut hingga mereka tahu siapa jati dirinya? Sudah barang tentu bangsa yang bodoh adalah bangsa yang lupa sejarah dan para tokohnya.
Tak berbeda, dalam berakidah juga demikian adanya. Kita patut khawatir ketika para generasi, lebih-lebih thalib ilmu tidak lagi mengenal Imam Asy-‘ari, siapa al-Bahili, al-Bakilani, Ibnu Furaq? Apa peran Imam Haramain dan Abu Ishaq al-Syairazi dalam menjaga akidah Aswaja? Iyakah Imam Ghazali hanya seorang sufi dan ar-Razi cuma seorang dokter? Masih adakah yang mengenal at-Taftazani, al-Jurjani, Adhuddin al-Iji, Imam Baidhawi, Imam Sanusi, dll? Atau mereka sudah kita masukkan dalam daftar orang-orang tempo dulu yang pendapat dan karyanya sama sekali tidak lagi relevan?
Seharusnya jika ingin bangkit, kita perlu memperkenalkan dan mengenal tokoh-tokoh penjaga akidah ini, baik dari zaman Salafus salih seperti Abu Hanifah, Hasan al-Bashri, Haris al-Muhasbi, Ibnu Kallab, dll agar kita tahu bahwa akidah kita adalah akidahnya para Salaf. Begitu juga dengan tokoh-tokoh setelah mereka yang melawan syubhat-syubhat mengerikan, merumuskan berbagai macam dalil untuk mempertahankan akidah, juga menulisnya dalam karya-karya agung agar bisa dipelajari dan dikembangkan oleh generasi era selanjutnya untuk melawan syubhat-syubhat lain. Terutama pengenalan tokoh-tokoh Aswaja di zaman sekarang. Paling tidak, kita tahu mana ulama-ulama yang bisa dijadikan pegangan dan mana yang tidak. Ya, sekurang-kurangnya mengenal ulama-ulama Aswaja yang hidup di daerah kita.
Kita perlu tahu bagaimana kesungguhan mereka dalam memperjuangkan agama, kesabaran mereka dalam susahnya belajar, ketabahan mereka saat melawan pemikiran yang nyeleneh, apalagi pemikiran-pemikiran ekstrem yang didukung oleh kekuatan politik sehingga membuat mereka harus berpindah-pindah tempat tinggal, difitnah layaknya Imam ar-Razi bahkan dipenjara layaknya Ahmad bin Hanbal.
Kita perlu tahu bagaimana cara mereka belajar sehingga mampu merumuskan dalil yang begitu akurat dan dapat membuat lawan bicara bungkam seketika. Kita perlu tahu sejarah dan tahap perlawanan mereka di setiap periode, lawan apa saja yang mereka hadapi. Kita juga perlu tahu bagaimana cara mereka dalam membawa umat ini menuju era keemasannya dan bagaimana pengaruh karya-karya mereka terhadap kebangkitan umat lain, dsb. Bukankah selain krisis pengetahuan sejarah dan tokoh-tokohnya, umat kita sekarang juga krisis terhadap teladan hidup? karenanya, tidak ada sedikitpun celah dan alasan bagi kita untuk tidak mengenal mereka.
Makanya, sangat lucu jika ada sebuah negeri yang begitu menginginkan penerapan syariat Islam, bahkan berani memberontak dan berperang hanya untuk penerapan syariat, tapi dalam proses penerapannya mereka malah melupakan hal paling penting, bahwa penerapan syariat tidak akan efektif jika akidahnya masih bermasalah. Sebab penerapan syariat yang hanya berfokus pada undang-undang pemerintahan malah cenderung menggambarkan bahwa Islam hanyalah kumpulan hukum dan undang-undang saja, apalagi dengan penekanan di sisi jinayatnya tentu membuat Islam tampak sebagai agama yang kejam.
Bukankah memperbaiki akidah yang benar lebih diutamakan sebelum syariat diterapkan? Penyebab orang-orang berani melanggar syariat, berani berfatwa hukum asal-asalan dan menganggap agama hanya sebagai hal yang telah menjadi adat istiadat adalah karena mereka tidak memahami akidah Islam dengan benar. Sebab itu, Jika langsung memberi perintah tanpa menanamkan ideologi dengan baik terlebih dahulu, tentu ia tiada beda dengan pemaksaan. Dan pemaksaan sangat jauh dari hakikat Islam itu sendiri.
Pada akhirnya, yang terpenting adalah mengedukasikan masyarakat terutama para generasi tentang akidah Aswaja serta mazhabnya dalam fiqh, sejarahnya dan para tokohnya. Karena sama sekali tak berguna berbicara mengenai kebangkitan tanpa ada upaya pengenalan tokoh-tokoh Aswaja kepada umat yang sedang krisis identitasnya, awam sejarah perkembangan akidahnya. Bagaimana mungkin bicara kebangkitan sedangan Imam Asy-ari tidak lagi mereka kenal dan nama-nama tokoh Aswaja terdengar begitu asing di telinga mereka. Layaknya membicarakan kemerdekaan kepada suatu bangsa yang telah hilang identitasnya, sia-sia dan tidak ada gunanya. Salam.
*Tulisan ini juga dimuat di Serambi Salaf
Leave a Review