Salah satu tujuan Nabi Muhammad SAW diutus adalah untuk meluruskan keyakinan (red. akidah)masyarakat Mekah pada masa itu yang mayoritas menyembah patung yang mereka buat sendiri. Sebagai pembawa risalah kenabian dengan bimbingan wahyu, Nabi Muhammad SAW memandang perbuatan yang dilakukan oleh masyarakatnya tidak dapat diterima oleh akal sehat di samping mempersekutukan Allah SWT.
Jauh sebelum Nabi Muhammad SAW, Nabi Ibrahim juga telah melakukan kritik nalar kepada kaumnya yang juga menyembah patung yang dibuat sendiri. Ia mempertanyakan;
مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ
“Patung-patung apa yang kalian sembah ini” (Surat al-Anbiyâ’: 52)
قَالُوا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا لَهَا عَابِدِينَ
“(Mereka menjawab) Kami melihat para pendahulu menyembahnya” (Surat al-Anbiyâ’: 53)
Baca Juga: Wasiat Syekh Sulaiman Arrasuli dalam Ijazah MTI Canduang
Dalam ayat ini, dua hal yang cukup dijadikan alasan bagi mereka yang tidak memaksimalkan fungsi nalar yang mereka miliki. Yang pertama mereka menyembah benda mati yang sama sekali tidak mampu berbuat apapun. Yang kedua mereka alpa atau lalai mengkritisi perbuatan ritual yang dilakoni oleh pendahu, sehingga akhirnya ajaran yang mereka warisi tidak memiliki nilai nalar yang bisa dipertanggungjawaban, terbukti dengan sanggahan mereka bahwa ajaran itu hanyalah mengekor kepada para pendahulu.
Wajar pada ayat berikutnya Nabi Ibrahim menegaskan;
قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Kalian sekaligus pendahulu kalian benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (Surat al-Anbiyâ’: 53)
Dan ternyata di samping mempersekutukan Allah SWT, orang yang tidak mengoptimalkan fungsi nalarnya dapat dikatakan sebagai orang yang sedang tersesat. Tradisi kontra nalar ini masih berlanjut hingga masa Nabi Muhammad SAW, ketika beliau di Mekah, dan berlanjut sampai diangkat menjadi Nabi terakhir dengan membawa tugas yang juga diembankan pada para Nabi sebelumnya, yaitu bernalar yang baik dalam mentauhidkan serta menyembah Tuhan yang pantas disembah.
Periode Mekah dikenal juga dengan periode penanaman akidah yang benar oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam al-Qur’an sendiri ciri ayat yang diturunkan pada periode Mekah dapat diketahui dengan beberapa hal. Salah satu contoh yang dipaparkan oleh Badruddin al-Zarkasyi (754-794H) dalam al-Burhân Fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Ayat periode Mekah adalah ayat-ayat yang dipenggalan awalnya berujar ajakan kepada manusia secara umum, seperti Yâ Ayyuhan-Nâs. Terdapat 20 kali ayat panggilan umum ini di dalam al-Qur’an yang 18 di antaranya menekankan urgensi akidah seperti penyembahan kepada Allah U (Qs: 2;21, 10;104, 22;73), penciptaan (Qs: 4;1, 35;3, 35;15, 49;13), kerasulan (Qs: 4;170, 7;158, 22;49), kitab suci (Qs: 4;174, 10;57, 10;108), dan hari berbangkit (Qs: 10;23, 22;1, 22;5, 31;33, 35;5).
Baca Juga: Istilah dan bentuk Bentuknya al-Ahkam Dalil Naqli
Poinnya, bahwa hal yang mendasar bagi manusia dalam persinggahan di dunia ini sebelum beranjak kepada aktifitas keseharian seperti berfikih dan beretika adalah upaya meluruskan akidah. Hal ini sesuai dengan hierarki hadis Jibril yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu tentang iman, islam dan ihsan. Dengan mendahulukan iman dari dua hal setelahnya, berarti memberikan makna posisi penting bagi keimanan dan keyakinan.
Tidak hanya sebatas meluruskan, akan tetapi Nabi Muhammad SAW juga mempertahankan keyakinan umatnya saat itu hingga beliau wafat. Tugas ini kemudian terus berlanjut kepada pewarisnya (baca: ulama) yang tersebar di belahan bumi ini sebagai bentuk realisasi Islam sebagai agama yang bersifat global, bukan lokal. Cara yang digunakan oleh para ulama dalam mengemban tugas ini cukup beragam seperti penyampaian secara lisan dan tulisan. Ribuan lebih karya-karya tulis ulama, mulai yang ringkas hingga yang besar, bertujuan untuk meluruskan dan mempertahankan keyakinan umat muslim. Karya tulis itu kemudian diajarkan di tengah-tengah masyarakat -maupun madrasah- dan dinilai cukup efektif karena keilmuan yang selalu bergerak secara estafet.
Baca Juga: Memaknai Kitab-Suci Pendidikan Inyiak Canduang Bag i
Dalam literatur khazanah keilmuan, khususnya terkait akidah, kitab al-Aqwâl al-Mardhiyyah al-Mustamaddah ‘Alâ al-As’ilah wa al-Ajwibah Fî al-‘Aqâ’id al-Dîniyyah yang disusun oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuli tidak dapat dilupakan, mengingat urgensi permasalahan akidah yang ia tuangkan, tidak hanya untuk para santri yang mempelajari kitab ini. Meminjam istilah yang digunakan oleh Al-Hâfizh al-Mundzirî (581-656H) ketika mengomentari karyanya al-Targhîb wa al-Tarhîb dengan “Shaghîr al-Hajm, Ghazîr al-‘Ilm”; kecil namun sarat akan ilmu, kitab al-Aqwâl al-Mardhiyyah ini pun layak disematkan dengan istilah tersebut. Meskipun kecil namun tahapan mempelajari akidah dalam kitab ini cukup sistematis, ringkas dan berbentuk tanya jawab yang langsung kepada inti permasalahan, sehingga jawaban-jawaban yang diberikan pun mudah dicerna dan layak diridhai oleh pengkaji. Demikian sesuai dengan namanya; al-Aqwâl al-Mardhiyyah yang berarti petuah-petuah yang diridhai.[]
Leave a Review