Ushul fiqh dan perannya dalam meruntuhkan doktrinisasi; “agama itu cuma doktrin”
(mengapa khilafiyah dengan muktazilah yang sudah punah masih dibahas dalam buku Aswaja?)
Doktrin bahwa agama itu adalah sebuah dogma yang harus ditelan mentah-mentah itu sudah menjadi dogma bagi para pembelajar sains yang nanggung dalam filsafat ilmu, apalagi dalam epistimologi pengetahuan dalam Islam. Bahkan jika dia mengklaim sudah membaca buku keislaman seperti ushul fiqh saya yakin dia tidak benar-benar paham masalah pembahasan kalamiah dalam ushul fiqh. Sebab dalam ushul fiqh, pada bab pertama saat memasukinnya itu langsung ke pembahasan anti-dogma dalam nalar Islam. Ulama Islam langsung membuat penelitian besar untuk pertanyaan penting dalam masalah penentuan; baik dan buruk pada sebuah tindakan manusia sebelum menentukan ini baik dan ini buruk, ini boleh dilakukan dan itu tidak boleh dilakukan.
Apa pertanyaan, “apakah hakikat baik dan buruk itu ada”? Jika baik dan buruk itu ada, “siapakah atau apakah atau faktor apa yang menentukan baik dan buruk? Apa saja kemungkinannya?” Jika baik dan buruk tidak ada “lalu bagaimana manusia menjalani hidup? Dan bagaimana cara mengendalikan tindakan manusia tanpa ada nilai baik dan buruk?” Bahkan lebih detail dari itu “kenapa jawabannya ada atau tidak?” Dan pertanyaan itu saja tidak cukup. Bahkan ada pertanyaan yang lebih filosifis lagi “apa yang membuat kita bisa mengatakan bahwa jawabannya cuma ada dan tidak”. Dan lebih detail lagi “apa yang menjadi timbangan ilmiah kita dalam memilih ada atau tidak? Dan kenapa dia bisa jadi standar ilmiah dan kebenaran dari pertanyaan itu? Seberapa ilmiah dia? Apakah bisa diakui semua umat manusia bukan cuma muslim saja? Apa buktinya?”
Lalu satu-satu pertanyaan dijawab. Lalu jawabannya dikritik lagi dengan menggunakan standar mantiq atau logika ilmiah. Pada akhirnya ketika semua jawaban tersebut dibahas maka seorang akan akan mengetahui sejauh apa keilmiahan klaim keilmiahan, apakah klaim itu salah satu benar. Sehingga ketika terbukti jawabannya atas dasar bukti dan dalil ilmiah maka dia berhak mengajukan diri sebagai ide hasil pemikiran bukan dogma dan doktrin. Jika demikian maka hasil ilmiah tidak lagi disimpan dalam rumah ibadah tapi bisa dikeluarkan ke forum kehidupan bernegara bahkan menjadi sebuah hukum bahkan untuk menjadi dasar hukum, karena dilakukan dengan proses penelitian ilmiah yang panjang.
Baca Juga: Abu Tanoh Mirah; Ulama Ahli Ushul Fikih dan Murid Syekh Muda Waly
Adapun untuk kritik, maka sebagaimana mazhab pemikiran lain yang mengaku ilmiah, jika ada penganut mazhab lain (seperti liberal, sosialis, dll) yang mengklaim bahwa yang mengatakan bahwa mereka tidak bisa atau belum bisa menerima kebenaran versi anda, karena menurut mereka ada kesalahan ilmiah, maka hal yang sama juga kami katakan pada anda. Kami juga mengatakan bahwa mazhab pemikiran anda tidak ilmiah. Anda hanya mengklaim bahwa itu ilmiah. Tapi kami memiliki hasil penelitian ilmiah? Kami muslimin juga sama, itu pembahasan di atas buktinya.
Jadi mau adu klaim yang mana lebih ilmiah? Oke, jika begitu, tentukan standar keilmiahan suatu ide, kita bahas pembahasan epistimologinya lalu jika sudah kita temukan titik temu untuk menilai mana yang lebih ilmiah berdasarkan standar yang kiga sepakati, maka kita bisa debat dan saling bantai klaim lawan di forum ilmiah. Ingat di forum ilmiah, begitu keluar dari forum perdebatan ilmiah kita bisa saling bersahabat kembali. Adapun dalam forum ilmiah tidak perlu ada basa-basi. Agama yang seperti itu masih dikatakan cuma mengikuti dogma dan menelan doktrin mentah-mentah? Doktrin itu hanya berlaku bagi pentaklid buta pada suatu ide, dan julukan itu tidak berlaku pada sebuah ide yang berdiri pada satu argumen ilmiah.
Sesungguhnya pemahaman seperti itu hanya dan dogma taklid pada doktrin yang dicekokin dosen anda waktu zaman kuliah dulu? Dan dosen anda tentu terpengaruh dengan ide salah satu mazhab pemikiran. Untuk itu kritik lagi suatu yang selama ini anda anggap ilmiah dan anda makan mentah-mentah sebagai standar ilmiah. Sekali-kali bukalah wawasan dan melihat dunia lebih luas, dan tidak terbatas pada dosen atau tokoh yang anda saja, dunia ini dipenuhi orang jenius, sangat rugi jika hanya hidup sama kawan yang seide saja. Jika anda paham filsafat seharusnya anda tahu, bahwa buku filsafat ilmu dan metodelogi penelitian ilmiah yang anda pelajari di pendidikan S2 dan S3 itu sudah bermazhab, jika anda baru kenal filsafat atu malah tidak paham, maka saya bisa memaklumi jika anda tidak paham ini. Bukan berarti kita pasti berbeda, akan banyak ketemu titik temunya karena kita sama-sama memakai metode ilmiah, tapi juga banyak perbedaan di wilayah ini mazhab filsafat bermain.
Tapi masak ada pemabahasan seperti itu dalam ushul fiqh? Iya adalah, bahkan pada pembukaannya, setelah pembahasan nazaiyah makrifah langsung masuk pembahasan ini. Di mana? Pembahasan di alhakimiyah! Iya pembahasan ini selama ini sering dilewatkan begitu saja ketika membaca ushul fiqh. Biasanya dibaca sekilas, lalu langsung loncat kepembahasan istidlal dan yang berkaitan dengan halal dan haram, karena ujug-ujug pembahasan ahlul fatrah, tak sedikit yang menganggap bahwa ushul fiqh terlalu banyak pembahasan dan debat tidak penting didalamnya, dan alhakimiyah ini adah salah satu yang dianggap tidak terlalu penting.
Padahal pembahasan ini adalah inti dari ushul fiqh, dan ini jarang dipahami oleh orang yang gak belajar ilmu kalam secara mendalam seperti yang dilakukan para ulama terdahulu, orang yang mengaggap bahwa pembahasan ini tidak penting biasanya hanya mengenal ushul fiqh dari kitab Mukhtasarat, kitab Tathbiq Ushul ala al-Furu’ dan ini yang lebih parah mengaku paham ushul fiqh padahal hanya mengenal dari kitab kontemporer, sehingga membatasi ushul fiqh dengan furu saja. Dan bisa dipastikan guru yang mengajarkannya bukan ahli ilmu kalam, jika tidak dia akan menjelaskn betapa pentingnya bab ini. Adapun yang baca ushul fiqh otodidak ya dipastikan tidak akan paham betapa pentingnya pembahasan ini.
Adapun manhaj mutaqadimin dalam mengajar ushul fiqh, selalu mengikatnya dengan pembahasan ilmu kalam, sehingga murid terlatih untuk untuk beragumen dengan lintas pemikitan dengan ushul pemikiran yang jelas, ushul fiqh dan hubungannya dengan ilmu kalam ini, bukan hanya milik madrasah Ahlus Sunnah wal Jamaah tapi juga Muktazilah, Syiah, dll. Makanya sampai sekarang ulama Ahlussunah yang memiliki dzauq mutaqaddimin selalu memasukan kritikan kelompok diatas dalam menulis kitab ushul fiqh, karena biasanya krItik mereka tepat sasaran. Jika kritik mereka bisa dijawab maka kritik kaum liberal, orientalis, dll bisa lebih mudah dijawab, itulah jawaban dari pertanyaan kenapa perbedaan dengan Muktazilah yang sudah punah ratusan tahun masih dibahas dalam ushul fiqh? Begitu juga dengan kritik Ushuliyin Syiah, Hukama, dll. jujur saja ya, walau kita sering beda pendapat tapi Kibar (pembesar) Mutakalimin diluar Aswaja biasanya jauh lebih tajam dalam mengkritik Aswaja dibanding dengan mazhab baru yang terpengaruh filsafat modern.[]
Leave a Review