Tak asing, pada beberapa peradaban sejarah, pada puncak peradaban Yunani perempuan hanya alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Pada peradaban Yunani, perempuan sepenuhnya berada dibawah kekuasaan ayahnya. Kemudian, baru setelah kawin kekuasaan pindah ke tangan suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan mengusir, menjual, menganiaya dan membunuh.
Berbeda dengan konsepsi keluarga dalam tradisi masyarakat Yunani dan Romawi. Kepala rumah tangga dipegang oleh laki-laki (suami/ayah). Laki-laki memegang kekuasaan mutlak dalam bidang hukum dan ekonomi terhadap seluruh anggota keluarganya yang terdiri dari para isteri, anak-anak, dan mungkin para budak yang hidup dalam keluarga tersebut.
Rupanya, struktur yang demikian ini berlanjut sampai abad ke-19. Namun, setelah di Eropa Barat diperlakukan hukum-hukum baru, yang memberikan kemerdekaan kepada perempuan yang sudah menikah dan dihapuskannya lembaga perbudakan. Relasi gender ditentukan oleh pembagian peran dan fungsi dalam suatu masyarakat.
Ideologi patriarki dan monopoli laki-laki
Dalam masyarakat Arab, laki-laki bertugas membela dan mempertahankan seluruh anggota keluarga, bertanggung jawab memenuhi seluruh kebutuhan anggota keluarga. Konsekuensinya laki-laki memonopoli kepemimpinan dalam semua tingkatan mulai dari kepala rumah tangga, melalui kepala suku sampai kepala persekutuan antara beberapa suku.
Termasuk kewenangan laki-laki memimpin upacara ritual keagamaan dan acara-acara seremonial lainnya. Promosi karier dalam berbagai profesi dalam masyarakat hanya bergulir di kalangan laki-laki. Perempuan mengurus urusan yang berhubungan dengan tugas-tugas reproduksi. Laki-laki lebih banyak bertugas di luar rumah (wilayah publik). Sementara, perempuan bertugas di dalam atau di sekitar rumah atau kemah-kemah (wilayah domestik).
Ideologi patriarki memberikan otoritas dan dominasi kepada laki-laki dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat. Laki-laki pada umumnya memperoleh kesempatan lebih besar dari pada perempuan untuk memperoleh prestasi dan prestise dalam masyarakat. Dalam masyarakat kabilah, perang dianggap sebagai salah satu kesempatan untuk memperoleh taraf kehidupan lebih baik.
Syahdan. Pada zaman kaisar Konstantin, hak perempuan sedikit terangkat, yakni dengan diakui hak kepemilikannya. Tetapi, dalam traksaksi harus disetujui oleh keluarganya. Pada peradaban Hindu dan Cina, nasib perempuan begitu terbatas, seorang istri dibakar hidup-hidup ketika suaminya meninggal. Sementara pada peradaban Yahudi dan Kristen (masa lalu) nasib perempuan tidak lebih baik.
Berbeda jika melihat sejarah pada masa Nabi Muhammad Saw. Dapat dilihat dengan jelas peran perempuan kala itu. Nabi Muhammad hadir sebagai utusan yang membawa misi freedom terhadap segala bentuk dehumanisasi, termasuk kaum perempuan didalamnya. Kaum perempuan pada zaman jahiliyah adalah salah satu komoditi pasar yang diperdagangkan.
Mereka diperjualbelikan sebagai budak untuk dipekerjakan dan dijadikan selir. Sehingga, banyak kaum laki-laki bangsawan yang mempunyai puluhan istri. Dan yang lebih sadis dan tidak manusiawi lagi, bayi yang lahir perempuan tidak pernah selamat dari tangan-tangan maut karena dianggap aib bagi keluarganya.
Ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Prof. Nazaruddin Umar bahwa, dalam masyarakat kesukuan, laki-laki tidak hanya mengontrol dalam bidang sosial ekonomi, seluruh pranata sosial, melainkan juga mengontrol jumlah penduduk dalam suatu kabilah.
Jumlah penduduk yang lebih besar dari pada sumber daya alam yang dimiliki satu kelompok suku akan menimbulkan berbagai masalah. Karena itu, peperangan bisa dilihat sebagai efek sekaligus sebagai alat pengendalian jumlah penduduk.
Kebiadaban terhadap bayi perempuan
Cara lain mengontrol keseimbangan jumlah penduduk dalam masyarakat kesukuan, yang biasanya menggantungkan pada sumber daya alam yang terbatas adalah, pembunuhan bayi. Pembunuhan bayi-bayi perempuan secara selektif dan proporsional dilakukan dalam upaya mencegah kemerosotan standar hidup mereka.
Tidak terkecuali pada masyarakat Arab, masyarakat kesukuan yang hidup di pedalaman dan di daerah padang pasir gersang di Jazirah Arab, sering juga ditemukan pembunuhan bayi dengan motif ekonomi. Hal ini juga disinyalir dalam dua ayat dalam al-Qur’an surat Al-An’am [6]: 151 dan surah Al-Isra’ [17]: 31.
قُلْ تَعَالَوْا اَتْلُ مَاحَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَلَّا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْئًـــا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا ۚ وَلَا تَقْتُلُوْۤا اَوْلَادَكُمْ مِّنْ اِمْلَاقٍ ۗ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِيَّاهُمْ ۚ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَابَطَنَ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَـقِّ ۗ ذٰ لِكُمْ وَصّٰٮكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.” (QS. Al-An’am [6]: 151).
وَلَا تَقْتُلُوْۤا اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍ ۗ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَاِيَّاكُمْ ۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْاً كَبِيْرًا
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Isra’ [17]: 31).
Kemungkinan lain, pembunuhan bayi dilakukan untuk ide pengorbanan yang diserukan oleh pemahaman kepercayaan agama yang salah kaprah. Seperti, penyembelihan putra Nabi Ibrahim yang difahami bahwa setiap keluarga harus menyembelih salah seorang putranya.
Kemungkinan lain alasan membunuh anak perempuan karena khawatir nantinya akan kawin dengan orang asing, atau orang yang berkedudukan sosial rendah. Misalnya budak atau mawali. Disamping itu, khawatir jika anggota sukunya kalah dalam peperangan yang akan berakibat anggotanya keluarga perempuannya akan menjadi harem-harem, atau gundit para musuh. Kelahiran seorang bayi perempuan menjadi aib bagi keluarganya sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an:
وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌ
Artinya: “Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah.” (QS. An-Nahl [16]: 58).
Kedatangan dan Misi Perubahan Nabi
Setelah Nabi datang, budaya tersebut dihapus secara pelan-pelan dan hingga Islam berdiri kuat di bumi Arab, kaum perempuan telah memperoleh hak sebagaimana kaum laki-laki. Dalam sektor ekonomi, banyak sekali para sahabat perempuan yang bekerja untuk menghidupi keluarganya.
Misalnya seperti Ummu Satim bin Malhan yang bekerja sebagai perias pengantin, bahkan istri Nabi sendiri Zaenab binti Jahsy bekerja sebagai penyamak kulit binatang. Siti Khadijah selain sebagai ibu yang baik bagi puteri-puterinya Nabi, beliau adalah seorang bisnis woman sukses. Dan kalau dicermati lebih dalam, mereka para perempuan itu bekerja karena profesinya atau kemampuan yang dia miliki.
Dengan eksistensi perempuan zaman tersebut, sehingga dalam beberapa hadits Nabi dapat ditemukan pernyataan-pernyataan yang mengangkat derajat seorang perempuan, dan sampai diungkapkan oleh beliau bahwa perempuan adalah tiang Negara.
Akhiran, dari sini jelas, bahwa betapa Islam telah benar-benar menjadi penyelamat besar dan agung. Islam telah melenyapkan budaya-budaya kebiadaban diluar batas kemanusiaan. Islam dengan kekuatannya yang luar biasa, telah menyelam ke dalam banjir kesadisan untuk menarik dan mengangkat manusia pada umumnya, dan para perempuan khususnya yang tenggelam di dalamnya. Mereka diangkat dan diamankan ditempat yang bernaungkan Islam dengan sinarnya, yang menembus batas-batas jiwa yang paling dalam.
Wallahu a’lam bisshawaab.
Leave a Review