Daerah Istimewa Minangkabau
Oleh : Khairul Fahmi
Baru saja hendak istirahat sejenak usai menyelenggarakan seminar bertema “Jangan Biarkan KPK berjuang sendiri”, datanglah beliau, seorang orang tua yang sangat kami hormati, Pak Mukhtar Naim ke ruang Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas. Di sana, ada saya dan teman-teman peneliti PUSaKO lainnya. Sungguh kami tidak menduga beliau akan datang dan meminta waktu untuk mendiskusikan suatu hal. Sebagai anak muda yang dikunjungi orang tua dengan segudang ilmu dan pengalaman yang ia punyai, bagaimana mungkin ajakan tersebut hendak ditolak. Rugilah kiranya jika peluang memperoleh ilmu dari beliau dihindarkan.
Baru saja diskusi dimulai, Pak Mukhtar langsung “menyerang” kami dengan pertanyaan, sebagai orang-orang yang mengerti hukum tata negara, apa konstribusi yang telah anda berikan untuk mewujudkan Daerah Istimewa Minangkabau? Lalu, beliau melanjutkan pertanyaan tersebut dengan memberi wejangan terkait perlunya kaum intelektual Sumbar secara bersama-sama mendukung perwujudan mimpi tersebut. Di sela-sela penjelasannya, Pak Mukhtar mengemukakan, gagasan dimaksud juga telah didukung sejumlah ormas seperti LKAAM, MTKAAM dan pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat. Bahkan, Gubernur, Irwan Prayitno pun telah menyampaikan usulan tersebut kepada Pemerintah Pusat. Ketika hendak menutup uraian pembuka diskusi, beliau sekali lagi “menyindir” betapa minimnya perhatian akademisi hukum untuk isu yang satu ini, sembari melirik ke arah semua kami yang ada di depan beliau.
Mendapat “serangan” seperti itu, sebelum memberi tanggapan atas pertanyaan beliau, saya coba balik bertanya, Apa yang Bapak maksud dengan Minangkabau sebagai daerah istimewa? Format dan strukturnya seperti apa dan apa pula tujuan akhir yang hendak dicapai dari mengubah Provinsi Sumatera Barat menjadi Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau? Tidakkah dengan mendorong DIM justru kita mempersempit baju sendiri? Bukankah panggung politik orang Minang itu Indonesia, bukan Sumbar? Terlalu kecil Sumbar untuk seorang tokoh yang akan lahir dari rahim ibu pertiwi Minangkabau Pak! Tanggapan tersebut justru menjadi awal diskusi panas terkait gagasan yang pernah beliau sampaikan melalui surat terbuka kepada Gubernur Sumbar. Hanya saja, diskusi tersebut berakhir dengan kesimpulan belum ada kesatuan pendapat soal implementasi gagasan DIM. Bahkan, saya pun kembali mengajukan pertanyaan, tidakkah DIM nantinya tak lebih dari hanya sekedar bungkus semata?
Untuk beberapa hal, terkait semangat pembentukan DIM seperti disampaikan Pak Mukhtar tentunya harus dihormati. Hanya saja, untuk sejumlah hal lain, gagasan itu kiranya masih terlalu pagi untuk disampaikan kepada pemerintah pusat. Sebab, banyak hal yang masih harus dikaji jika gagasan tersebut nantinya betul-betul dapat diimplementasi sesuai semangat kemunculannya. Kecuali jika keinginan membentuk TIM tidak lebih dari hanya sekedar berganti baju. Bila hanya sekadar untuk itu, buat apa sumber daya dikerahkan sedemikian rupa bila hanya untuk berganti kulit yang tentunya juga tidak berpengaruh pada substansi yang sesungguhnya hendak dilekatkan tersebut.
Baca JUga: Daerah Iistimewa Minangkabau (DIM), Pentingkah?
Melalui tulisan ini, saya hendak menyampai sejumlah pertimbangan terkait gagasan DIM. Pertama, setidaknya ada dua norma konstitusi yang mesti ditelaah terkait daerah yang bersifat khusus/istimewa dan yang terkait dengan masyarakat hukum adat. Norma dimaksud adalah Pasal 18 B ayat (1) dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pasal 18B ayat (1) menyatakan, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Sesuai norma tersebut, subjek yang diakui negara adalah “satuan-satuan pemerintahan daerah”. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan satuan pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUD 1945. Artinya, jika dalam NKRI terdapat provinsi atau kabupaten atau kota yang memiliki keistimewaan, maka daerah tersebut diakui sebagai daerah khusus/istimewa. Di mana pengakuan tersebut dituangkan dalam suatu undang-undang. Contoh konkret satuan pemerintahan daerah yang memiliki kekhususan adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh, Papua dan DKI Jakarta. Dengan demikian, norma Pasal 18B ayat (1) sesungguhnya terbatas pada pengakuan terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang lingkupnya telah diatur dalam Pasal 18 UUD 1945, tidak dapat dimaknai lain selain yang diatur dalam ketentuan tersebut.
Sementara, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Subjek yang diatur dan diberi pengakuan melalui ketentuan tersebut adalah kesatuan masyarakat hukum adat. Dengan demikian, keberadaan masyarakat adat, termasuk teritorial di mana ia hidup diakui oleh negara. Termasuk sistem pemerintahan, mekanisme suksesi dan proses penyelesaian sengketa menurut hukum adat. Syaratnya, sepanjang masyarakat adat tersebut masih hidup dan sesuai dengan prinsip NKRI. Contoh konkretnya adalah masyarakat hukum adat yang hidup di nagari. Kesatuan masyarakat adat nagari mendapatkan pengakuan secara konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 18B ayat (2), bukan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Sebab, kesatuan masyarakat hukum adat bukanlah satuan pemerintahan daerah. bisa saja kesatuan masyarakat adat tersebut lebih luas dari satu satuan pemerintahan daerah atau justru kesatuan-kesatuan masyarakat adat berada dalam satu satuan pemerintahan daerah saja. Hal yang terpenting adalah, satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa mestilah dibedakan dari kesatuan masyarakat hukum adat. ini perlu ditekankan karena UUD 1945 sebagai konstitusi negara memang membedakan keduanya.
Jika hendak membahas tentang DIM, norma mana yang hendak dijadikan titik berpijak? Apakah Pasal 18B ayat (1) atau ayat (2)? Jika Pasal 18B ayat (1), pertanyaanya, kekhususan apa yang dimiliki satuan pemerintah daerah Provinsi Sumbar atau kabupaten/kota yang ada di dalamnya? Jika cantolannya adalan Pasal 18B ayat (2), bagaimana mungkin mengajukan klaim Provinsi Sumatera Barat sebagai daerah istimewa, sementara realitas yang ada hanyalah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang berbasis di nagari-nagari yang ada di Sumbar? Jika hendak memperjuangkan eksistensi nagari dengan segala hukum adat yang hidup di masing-masing nagari, lalu mengapa DIM pada tingkat provinsi yang mesti diperjuangkan?
Kedua, bicara daerah istimewa atau khusus, kita tidak bisa melepaskan diri dari sungkup kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, sekalipun nanti Sumbar akan berubah menjadi daerah istimewa, dia tetap akan berstatus sebagai provinsi dengan batas-batas terorial yang ada saat ini (bukan batas genealogis ras Minangkabau). Sebagai daerah istimewa bernama DIM, ia tetap akan dipimpin oleh seorang Gubernur yang dipilih menggunakan sistem yang berlaku untuk pemilihan gubenur seperti daerah lainnya. DIM tetap akan terdiri atas daerah kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/walikota. Di mana, kabupaten/kota akan membawahkan kecamatan sampai ke nagari dan kelurahan. Status DIM, itu berada pada level pemerintahan daerah provinsi. Pertanyaannya, apa keistimewaan provinsi Sumatera Barat sehingga ia beralasan untuk ditetapkan sebagai daerah istimewa?
Jika hendak dibandingkan, selain DKI Jakarta, Indonesia memiliki tiga daerah istimewa lainnya, yaitu Provinsi Aceh, Yogyakarta dan Papua. Provinsi Aceh memiliki keistimewaan atau kekhususan sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam. Sedangkan Yogyakarta memiliki kekhususan sebagai daerah yang menerapkan sistem monarkhi. Sementara Papua dengan kekhususan memiliki Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan otoritas khusus menyetujui atau tidak menyetujui orang Papua Asli yang akan menjadi calon gubernur Provinsi Papua. Dengan demikian, masing-masing daerah istimewa memiliki kekhususan masing-masing sehingga ia disebut sebagai daerah khusus. Di mana, kekhususan itulah yang membedakannya dari provinsi lainnya. Sekali lagi, keistimewaan atau kekhususan apa yang dimiliki Sumbar sehingga kitapun harus meminta dan memperjuangkan status itu kepada pemerintah pusat?
Ketiga, saat ini, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang memberi ruang begitu luas untuk berkembangnya masyarakat adat di nagari. Yang terakhir adalah Undang-Undang Desa. UU ini memberi kesempatan untuk eksisnya desa adat atau nagari. Dengan adanya ruang itu, jika niat hati adalah memajukan masyarakat adat di nagari, kenapa ruang itu tidak dimanfaatkan? Bukankah ruang norma dan ruang fiskal untuk nagari justru sangat besar sehingga kita berkesempatan untuk memfasilitasi nagari-nagari kembali hidup dalam alam demokrasi minangkabau? Seharusnya, ruang ini dimanfaatkan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota untuk memfasilitasi nagari-nagari agar siap menjadi nagari adat yang sesungguhnya.
Baca Juga: Nagari Kupak di Negeri Kata-kata?
Dengan tiga bentangan argumentasi di atas, apalagi yang membuat gagasan DIM ini layak untuk tetap diteruskan? Bukankah dengan desain pemerintahan daerah yang ada saat ini, harapan pencapaian kesejahteraan rakyat dan eksistensi masyarakat adat di nagari tetap dapat dicapai sepanjang pimpinan daerah memiliki political will untuk itu? Inilah barangkali yang perlu direnungkan bersama. Wassalam.
*Tulisan ini pernah diterbitkan Harian Singgalang Februari 2015
Leave a Review