Nama Sibawaih dan Al-Kisa’i hampir mustahil tidak dikenal dalam ilmu Nahwu. Sibawaih adalah jawara nahwu aliran Basrah, sementara Al-Kisa’i adalah jawara nahwu aliran Kufah.
Sejarah perkembangan ilmu nahwu dalam dunia Islam tidak terlepas dari dua mazhab besar ilmu nahwu, yaitu mazhab Basrah dan mazhab Kufah. Dua mazhab ini dikenal sebagai mazhab arus utama dalam ilmu nahwu, meskipun dalam perkembangannya muncul mazhab-mazhab lain seperti mazhab Baghdad, Mesir, Andalus, dan lain-lain. Persaingan ilmu antara aliran Basrah dengan Kufah dikenal sangat ketat. Pengaruhnya dalam kitab-kitab pembahasan nahwu dan sharaf masih terasa hingga kini.
Diantara peristiwa yang paling dikenal yang mencerminkan persaingan keilmuan tersebut adalah peristiwa debat antara Sibawaih dengan Al-Kisa’i di hadapan Khalifah al-Rasyid. Peristiwa debat tersebut populer dengan nama Zunburiyyah, dan berakhir dengan “kekalahan” Sibawaih, setelah dijadikannya Arab Badui yang hadir sebagai juri pada kasus yang diperselisihkan. Peristiwa debat tersebut dinamakan Zunburiyyah dengan mengambil dari kata al-Zunbur (الزُّنْبُوْرُ), yakni sejenis kumbang bersengat yang sangat pedih kalau disengatnya.
Dalam dunia diskusi ilmu nahwu, nama Sibawaih dan Al-Kisa’i hampir mustahil tidak dikenal. Sibawaih, di zamannya adalah seorang pakar nahwu brilian mazhab Basrah, yang menyusun buku fenomenal tentang nahwu bernama Al-Kitab. Sementara Al-Kisa’i, di samping dikenal salah satu imam dalam Qira’ah Sab’ah, beliau juga dikenal sebagai pakar nahwu mazhab Kufah. Sibawaih adalah jawara nahwu aliran Basrah, sementara Al-Kisa’i adalah jawara nahwu aliran Kufah.
Kisah debat antara Sibawaih dengan Al-Kisa’i tersebut banyak diriwayatkan oleh para sejarahwan seperti Majalis al-‘Ulama karangan al-Zajjaji, Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Al-Zubaidi dalam Thabaqat Al-Nahwiyyin Wa Al-Lughawiyyin, Yaqut Al-Hamawi dalam Mu’jamu Al-Udaba’, Al-Marzubani dalam Nur Al-Qabas, Ibn Al-Anbari dalam Al-Inshaf Fi Masa-il Al-Khilaf, Ibn Hisyam Al-Anshari dalam Mughni Al-Labib, Al-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala’ secara singkat, dan lain-lain.
Kisah ini ditulis agar diambil hikmah dan menjadi motivasi bagi kita umat Islam agar selalu memperdalam pengetahuan kita terhadap bahasa Arab, bahasa al-Qur’an, bahasa Hadis, bahasa sumber-sumber ilmu dan warisan para ulama masa lalu yang gemilang. Bagi para santri yang masih mondok di madrasah atau mantan santri mungkin dahulu terlewatkan kisah ini. Semoga dapat semangat lagi mengaji bahasa Arab.
Baca Juga: Kuda-kuda Itu Bernama Ilmu Nahwu
***
Suatu hari, Sibawaih mendatangi orang-orang Barmak (suatu kaum asal Persia yang salah satu anggota kaumnya diangkat menjadi wazir/perdana menteri dan orang-orang elite pada masa Abbasiyah). Kebiasaan ini dahulu sering terjadi dimana para pakar datang ke penguasa agar penguasa menghargai keilmuannya. Yahya bin Khalid al-Barmaki (salah satu orang terdekat Khalifah Harun al-Rasyid) lalu bertekad untuk menguji Sibaiwah dengan mempertemukannya dengan al-Kisa’i. Yahya kemudian menentukan hari khusus untuk pertemuan itu.
Ketika hari yang ditentukan telah tiba, al-Farra’ dan al-Ahmar (yang juga dua pakar nahwu mazhab Kufah) datang lebih dulu ke lokasi. Beberapa waktu kemudian, Sibawaih hadir ke lokasi. Al-Ahmar maju menghadapinya, lalu menanyainya tentang satu perkara dalam ilmu nahwu yang dijawab oleh Sibawaih. Al-Ahmar berkata kepadanya: Anda keliru. Kemudian Al-Ahmar menanyainya dengan kasus kedua dan Sibawaih menjawabnya, maka Al-Ahmar berkata kepadanya; Anda keliru. Lalu Al-Ahmar menanyainya dengan kasus ketiga dan Sibawaih menjawabnya, maka Al-Ahmar berkata kepadanya; Anda keliru. Maka Sibawaih berkata kepadanya: Ini adalah Adab yang buruk!
Melihat suasana diskusi sudah mulai memanas, maka Al-Farra’ berinisiatif mengambil alih dialog. Al-Farra’ sendiri mengkritik sikap Al-Ahmar yang dipandang kurang bisa sabar dan cenderung tergesa-gesa ketika berdiskusi dengan Sibawaih. Al-Farra’ mengatakan kepada Sibawaih bahwa al-Ahmar memiliki sifat temperamental dan tergesa-gesa.
Kemudian Al-Farra’ mulai melempar pertanyaan kepada Sibawaih:
“Apa pendapatmu terhadap orang yang mengatakan:
هؤلاء أبون (orang-orang ini adalah para ayah) dan,
مررت بأبين (aku melewati para ayah).
Bagaimana pula engkau mengatakan yang semisal dengan itu pada kasus
وأيت (aku berjanji/menjamin) atau أويت (aku berlindung)?
Sibawaih menjawab dengan teori Taqdir (perkiraan) dan itu keliru.
Al-Farra’ berkata: Telitilah lagi!
Maka beliau (Sibawaih) menjawab dengan teori Taqdir (perkiraan) lagi dan itu keliru.
Al-Farra’ berkata: Telitilah lagi!
Demikian sampai tiga kali beliau menjawab namun tidak benar.
Sibawaih kemudian berkata:
“Saya tidak berdebat dengan kalian berdua (Al-Farra’ dan Al-Ahmar), saya mau sahabat kalian (yakni Al-Kisa’i) hadir hingga saya berdiskusi dengan beliau.”
Al-Kisa’i kemudian datang. Ia menghadap ke arah Sibawaih, lalu bertanya:
“Anda bertanya kepada saya (dulu) ataukah saya bertanya kepada Anda”?
Sibawaih menjawab;
“Tidak. Andalah yang bertanya kepada saya”.
Maka Al-Kisa’i menghadap kepadanya dan bertanya:” apa pendapat Anda terhadap kalimat berikut (mana yang benar di antara kalimat berikut);
قد كنت أظن أن العقرب أشد لسعة من الزنبور فإذا هو هي،
(Saya telah menduga bahwa kalajengking lebih hebat sengatannya dari para Zunbur/kumbang. Ternyata sama saja)
ataukah
فإذا هو إياها؟
Sibawaih menjawab;
Yang benar adalah فإذا هو هي dan tidak boleh dinashabkan.
Maka Al-Kisa’i berkata kepadanya: Anda telah melakukan Lahn (kesalahan berbahasa). Kemudian Al-Kisa’i menanyainya lagi dengan sejumlah kasus yang sejenis dengan pertanyaan sebelumnya seperti;
خرجت فإذا عبد الله القائمُ، أو القائمَ؟
(Aku keluar. Ternyata Abdullah berdiri)
Yang ditanyakan: mana yang benar, apakah القائمُ ataukah القائمَ ?
Semuanya dijawab oleh Sibawaih dengan jawaban Rafa’ bukan Nashab.
Al-Kisa’i membantah jawaban Sibawaih:
“Ini bukan bahasa orang-orang Arab. Orang-orang Arab merafa’kan itu semua dan juga menashabkan”.
Sibawaih membantah pendapat tersebut.
Yahya bin Khalid kemudian berkata:
“kalian telah berbeda pendapat, padahal kalian adalah panutan di negeri masing-masing. Lalu siapa yang bisa menjadi juri untuk kalian berdua?”
Al-Kisa’i berkata;
“Ini ada orang-orang Arab (Badui) di pintu Anda. Anda telah mengumpulkan mereka dari berbagai penjuru. Dan telah datang kepada Anda dari berbagai daerah. Mereka adalah orang-orang yang paling fasih. Penduduk dari berbagai kota telah bisa menerima mereka. Penduduk Kufah dan Basrah juga telah mengambil dalil ucapan dari mereka. Orang-orang Arab Badui ini datang, dan mereka menanyainya.”
Yahya berkata: Anda adil. Yahya kemudian memerintahkan agar mereka dihadirkan. Mereka pun masuk ruangan. Di antara mereka ada Abu Faq’as, Abu Ziyad, Abu Al-Jarroh dan Abu Tsarwan. Lalu mereka ditanya tentang kasus-kasus yang didiskusikan oleh Al-Kisa’i dan Sibawaih.
Ternyata mereka mengikuti Al-Kisa’i dan berpendapat dengan pendapat yang diadopsi Al-Kisa’i. Yahya menghadap ke arah Sibawaih dan berkata: Anda telah mendengar jawaban mereka. Sibawaih pun tunduk.
Al-Kisa’i kemudian menghadap kepada Yahya:
“Semoga Allah selalu membenahi urusan Wazir. Sesungguhnya dia telah datang kepada engkau dari negerinya dalam keadaan berharap. Jika engkau melihat bahwa engkau tidak menolaknya dalam keadaan kecewa, saya kira itu baik.”
Yahya memerintahkan agar Sibawaih diberi 10.000 dirham. Sibawaih kemudian keluar dan pergi ke Faris. Dia tinggal di sana hingga mati dan tidak kembali ke Basrah. Konon, peristiwa “zunburiyah” inilah yang menyebabkan kematian Sibawaih karena hati dan jiwanya sangat terpukul.
Baca Juga: Menelusuri Jejak Guru Buya Amilizar Amir
***
Kenapa mazhab Basrah dan Kufah bisa berbeda padahal sama-sama bahasa Arab? Jawaban pertanyaan ini tentunya butuh tulisan yang panjang dan tebal. Para pakar bahasa sudah banyak menulisnya. Intinya, sama seperti alasan kenapa ada beberapa mazhab dalam fikih, munculnya mazhab Basrah dan Kufah dalam ilmu nahwu disebabkan karena perbedaan dalam soal “cara” merumuskan teori-teori.
Misalnya perbedaan terkait sumber bahasa Arab yang akan dijadikan acuan. Mazhab Basrah dalam merumuskan teori-teori dan kaidah-kaidahnya melakukan penelitian dengan hanya mengacu pada bahasa suku-suku yang masih asli dan belum terkontaminasi oleh bahasa asing seperti suku Qais, Tamim, Asad, Quraisy dan sebagian suku Kinan dan Tha’i. Sederhananya, hanya bahasa Arab yang dituturkan oleh suku-suku tersebut lah yang dapat diambil sebagai data untuk dirumuskan selanjutnya sebagai kaidah atau teori. Adapun bahasa Arab yang dituturkan oleh selain suku tersebut, terutama yang sudah tinggal di perkotaan, dianggap tidak asli lagi sehingga tidak bisa dijadikan basis data penelitian. Adapun bagi mazhab Kufah, mereka mengakomodir bahasa Arab yang dituturkan oleh seluruh orang Arab, baik oleh suku yang masih tinggal di pedalaman (asli bahasanya) maupun yang sudah ditinggal di perkotaan, baik kelompok maupun individu sebagai sumber bahasa acuan. Artinya, selagi masih ada orang arab yang menuturkan suatu bahasa, maka dapat dijadikan data untuk merumuskan teori atau kaidah, juga sebagai dalil.
Kemudian ada juga perbedaan terkait dengan analogi atau qiyas. Menurut mazhab Basrah, hanya bahasa yang benar-benar digunakan sehari-hari atau sering digunakan oleh orang Arab yang boleh menjadi acuan analogi. Sedangkan mazhab Kufah terkait analogi mereka juga mengakomodir prosa maupun puisi kaum pedesaan dan perkotaan, tidak saja berhenti pada bahasa sehari-hari saja sebagaimana mazhab Basrah.
Dua perbedaan di atas menunjukkan bahwa mazhab Basrah lebih ketat dalam penyeleksian, lebih menggunakan akal dan metode penelitian a la mantiq dan filsafat. Sementara mazhab Kufah lebih menggunakan dan memperhatikan kalam orang Arab yang digunakan sehari-hari. Bagi mazhab Kufah, selama orang Arab menggunakan bahasa tersebut, maka dapat dijadikan dalil untuk teori bahasanya, meskipun hanya didengar dari sebagian kecil orang Arab saja. Secara rujukan, mazhab Kufah lebih kaya dari mazhab Basrah, tetapi akibatnya dalam internal mazhab Kufah sendiri juga banyak perbedaan karena begitu heterogennya rujukan mereka.
Pembentukan teori atau kaidah mazhab Basrah berdasarkan penelitian terhadap banyak data yang kemudian diikat menjadi sebuah teori. Oleh karena itu, dalam mazhab Basrah ada kalimat-kalimat atau bahasa-bahasa yang dihukum sebagai syadz (menyalahi kaidah). Sementara pembentukan teori atau kaidah mazhab Kufah didasarkan kepada apa yang mereka temui dari orang Arab. Selama sebuah kalimat digunakan oleh orang Arab, maka dapat dijadikan teori atau kaidah yang bisa diteorisasikan kepada kasus-kasus lain yang serupa atau dijadikan kaidah umum. Sederhananya bisa dikatakan mazhab Kufah melahirkan banyak teori nahwu dari satu contoh (temuan data dari kalam orang Arab) saja, sementara mazhab Basrah membangun satu teori nahwu dari banyak contoh. Banyak data diteliti lalu dibangun sebuah teori atau kaidah. []
Mari mengaji bahasa Arab di Madrasah
Wallahu A’lam
Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com
Terima kasih banyak ustad atas Ilmunya ini sangat bermanfaat sekali khususnya bagi pemula seperti saya