بسم الله الرحمن الرحيم
Ilzaq, ulama Wahabi berpandangan bahwa menempelkan mata kaki dengan mata kaki temannya ketika salat berjamaah (kaki ngangkang) adalah keharusan. Acuannya adalah hadis Nabi dari An-Nu’man bin Basyir berkata:
“Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata: Luruskanlah shaf-shaf kalian!, tiga kali. Demi Allah, luruskan shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat seorang laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul temannya dan bahu dengan bahu temannya.” (Hr Bukhari dan Muslim).
Pengikut paham salafi (Wahabi) berpendapat bahwa “ilzaq” (menempelkan mata kaki, bahu dengan orang disampingnya dalam salat berjamaah) sebagai sunnah Nabi. Mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya, sebagai orang yang ingkar kepada sunnah Rasulullah.
Sedangkan kalangan Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja) berpendapat bahwa Nabi tidak pernah memerintahkan menempelkan kaki saat salat berjamaah. Perhatikan hadisnya: “Nu’man mengatakan dia melihat seorang laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya” cuma melihat seorang laki-laki yang tidak dikenal namanya, “Bukan sahabat utama Nabi” (catet). Jadi yang diperintahkan Nabi adalah meluruskan saf, bukan menempelkan mata kaki ke jamaah lain.
Dari Anas bin Malik ra Rasulullah bersabda:
اقيموا صفوفكمْ فإني أراكمْ من وراء ظهري وكان أحدنا يلزق منكبه بمنكب صاحِبه وقدمَه بقدمه
‘Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku,’ (Sahabat Anas berkata) Ada di “antara kami” orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan menempelkan telapak kakinya dengan telapak kaki temannya.” (Hr Bukhari).
Baca Juga: Arah Pandangan Mata ketika Salat
Hadis di atas tidak dapat dipahami secara literal sehingga menyimpulkan bahwa menempelkan kaki adalah suatu kewajiban dalam salat. Pemahaman demikian tidak dibenarkan, sebab hal tersebut sebenarnya hanya dilaksanakan oleh sebagian sahabat Nabi saja, tidak secara keseluruhan.
Dengan berdasarkan redaksi “Ada di antara kami” (wa kana ahaduna) yang terdapat dalam teks matan hadis di atas. Sedangkan segala hal tentang sahabat, hanya dapat dijadikan hujah ketika memang dilakukan oleh sahabat secara keseluruhan, bukan sebagian.
Hal demikian seperti yang dijelaskan dalam al-lhkam fi Ushulil Ahkam, hadis diatas bisa dijelaskan dari beberapa sisi: Yang dimaksud dengan kata “melekatkan/menempelkan” pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki, bukanlah makna hakiki. Akan tetapi suatu kata yang dimaksudkan untuk “penyangatan” saja. Bukan benar-benar nempel antara mata kaki dan pundak. Hal ini dijelaskan oleh al Hafidz Ibnu Hajar:
المراد بذلِك المبالغة في تعديل الصف وسد خلله
“Yang diinginkan dengan hal itu, berlebihan/penyangatan dalam meluruskan shaf dan menutup (mengisi) celah-celahnya (yang masih kosong).”
Jadi makna hadis di atas, para sahabat berusaha untuk merealisasikan perintah Nabi untuk meluruskan dan merapatkan shaf dengan sangat baik, sampai “seolah-olah” mereka menempelkan mata kaki dan pundak mereka dikarenakan sangat rapatnya. Bukan berarti benar-benar nempel.
Ini salah satu “uslub” bahasa Arab dimaklumi oleh siapapun yang telah mempelajarinya. Dalam bahasa Indonesia pun ada seperti ini. Misalnya ketika kita sebagai seorang pembawa acara, lalu kita bicara kepada hadirin : “Mohon duduknya merapat !”. Bukan berarti harus sampai nempel kaki dan badan mereka. Kalau demikian, nanti malah tidak bisa atau minimal terganggu saat mau menulis. Disamping juga ada rasa risih, tentunya.
Ternyata, pemahaman Ibnu Hajar terhadap hadis di atas, merupakan pemahaman aimatul arba’ah (Di-sepakati Imam Madzhab yang empat, yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad). Seperti apa yg telah dinyatakan oleh Imam Muhammad Anwar, Syah al Kasymiri al Hindi (1353 H).
قال الحافظ: المراد بذلك المبالغة في تعديل الصف وسد خلله. قلت: وهو مراده عند الفقهاء الأربعة
“Al Hafidz Ibnu Hajar berkata : “Yang diinginkan dengan hal itu, berlebihan/penyangatan dalam meluruskan shaf dan menutup (mengisi) celah-celahnya (yang masih kosong).”
Aku berkata: “Dan inilah (makna) yang diinginkan oleh para Imam yang empat.” (Faidhul Bari ‘Ala Shahih Bukhari). Jika imam madzhab yang empat saja telah sepakat memahami demikian, maka pemahaman yang keluar darinya, berarti telah menyelisihi pendapat yg disepakati oleh mereka.
Dan seperti ini, dikatagorikan oleh Imam al Qarafi “seperti menyelisihi ijma” (konsensus ulama’). Artiya, kesepakatan mereka memiliki kedudukan yang sangat kuat, hampir-hampir mendekati ijma’’. Sehingga sangat tercela jika ada yang menyelisihinya.
Rapat dan rapi dalam shaf salat jamaah memang harus, karena merupakan bagian dari kesempurnaan salat jamaah, “Tapi tidak menjadi syarat sah dan rukun salat”. Jikalau “meyebabkan” sampai mengganggu konsentrasi atau kekhusyuan, maka utamakan khusyu’, karena longgarnya shaf tidak menyebabkan batalnya salat. (Justru lucunya ketika berdiri dari sujud para salafi wahabi dengan khusyu’ sibuk mencari kaki jamaah kiri kanan).[]
والله اعلم
Semoga bermanfaat
Leave a Review