Perlukah bertarekat, pertanyaan ini sama dengan pertanyaan “Perlukah bermazhab?”. Baik tarekat maupun mazhab hanyalah media untuk dapat mengamalkan kitab dan Sunnah. Tidak sedikit yang merasa heran, lantas bertanya, “Kenapa tidak langsung merujuk kepada al-Qur’an dan Hadis saja?”. Sebenarnya keheranan dan pertanyaan ini muncul karena 2 hal, pertama tidak memahami definisi dari tarekat dan mazhab. Kedua, kekurangan dalam memahami ilmu al-Qur’an dan Hadis.
Mengapa demikian? Ulasan pertama, karena definisi tarekat dan mazhab sebenarnya tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya pada tataran objek dan metode bertarekat. Tarekat adalah cara dalam mengamalkan ajaran-ajaran syariat yang diwariskan dari spiritual Nabi Saw. Adapun mazhab adalah cara dalam mengamalkan ajaran-ajaran syariat yang diwariskan dari ibadah zahir dan mu’amalah Nabi Saw.
Baca Juga: Tarekat sebagai Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Para pewaris itu disebut dengan imam atau ulama baik dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka sampai saat ini. Tentu saja semua itu berdasarkan kitab dan Sunnah, karena warisan kenabian dapat diperoleh dalam dua sumber tersebut. Dalam hal ini, para imam dan ulama adalah orang yang paling mengerti dengan dua sumber utama ajaran Islam di atas.
Baca Juga: Dialek Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Ulasan kedua, perlu disadari bahwa merujuk langsung kepada al-Quran dan Sunnah membutuhkan tarekat dan mazhab juga. Di dalam ilmu al-Quran ada cara membaca yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebut dengan qira’at (mazhab dalam membaca). Di Indonesia, mazhab qira’at yang paling populer adalah riwayat Imam Hafsh dari Imam ‘Ashim. Adapun di dunia Islam secara umum, ada tujuh qira’at yang populer dan mu’tabar. Semua itu berdasarkan geneologi keguruan yang diperoleh oleh seorang imam dari gurunya. Mustahil seseorang bisa membaca al-Quran tanpa adanya qira’at-qira’at tersebut.
Perbedaan tersebut juga akan berpengaruh kepada pemahaman seseorang imam terhadap al-Quran. Artinya, membaca al-Quran mesti dengan mazhab. Belum lagi aliran dalam menafsirkan al-Quran, juga sangat banyak. Minimal dipetakan menjadi tiga mazhab, pertama Tafsir bi al-Ma’tsur (pemahaman berdasarkan riwayat dari Nabi Saw, sahabat dan ulama Salaf) seperti Tafsir Imam Ibn Katsir. Kedua, Tafsir bi al-Ma’qul (pemahaman berdasarkan pendekatan rasio, bahasa, sains, dan lainnya) seperti tafsir Imam Fakhr al-Razi, Thanthawi, dan lainnya. Ketiga, Tafsir al-Isyari (pemahaman berdasarkan pengalaman dan penyingkapan spiritual) seperti tafsir Imam al-Sulami, al-Qusyairi, dan Ibn Arabi.
Begitu juga, di kalangan ahli hadis. Banyak terdapat mazhab yang berbeda. Bahkan mazhab Imam al-Bukhari berbeda dengan Imam Muslim dalam menerima kriteria hadis sahih. Belum lagi mazhab Imam al-Tirmidzi, Ibn Khuzaimah, dan Ibn Hibban. Mereka berbeda metode dan pendekatan dalam menilai kualitas hadis sahih. Ketika seseorang percaya bahwa hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam al-Jami’ al-Shahih-nya sebagai hadis sahih, maka saat itu ia telah bermazhab dengan mazhab Imam dari Bukhara tersebut.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa semua orang ketika membaca, memahami dan mengamalkan al-Quran dan Sunnah pasti tidak dapat terlepas dari tarekat dan mazhab ulama-ulama terdahulu dan kontemporer. Sederhananya, ketika seseorang berguru, maka itulah tarekat dan mazhabnya. Cara guru kita dalam salat, membaca serta memahami al-Qur’an dan pengamalan terhadap hadis otomatis adalah tarekat dan mazhab. Pastinya, setiap guru mengklaim pemahaman dan amalannya berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Baca Juga: Ranah Pertalian Adat dan Syarak di Minangkabau
Setiap ustadz, kiyai, syaikh, buya, dan tuan guru selalu menisbatkan pemikirannya kepada al-Qur’an dan Sunnah. Bedanya, ada yang menambahkan kata mazhab Syafi’i, tarekat Naqsyabandi, Manhaj Salaf, Qur’ani, atau Ahlu al-Sunnah, Bahts al-Masa’il, Keputusan Tarjih dan ungkapan sejenisnya sebagai afiliasi dan geneologi dari pemikirannya. Semua kelompok merasa paling benar dalam merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah. Selama memang rujukannya dua sumber tersebut, maka perlu dihargai dan dihormati.
Berdasarkan itu, pertanyaan; Perlukah bertarekat ? atau “Perlukah bemazhab” perlu direvisi menjadi pernyataan “Keniscayaan bertarekat” atau “Kemestian bermazhab”. Sebab, pada dasarnya tidak ada seorang pun yang terlepas dari suatu tarekat maupun mazhab, meskipun ia menyebutnya dengan istilah lain.[]
Jazakumullah khair Buya