Persatuan Tarbiyah
Hari ini kita masuk pada bagian ketiga yang menjadi standar ukur, mundurnya sebuah organisasi keagamaan atau pemahaman keagamaan dalam masyarakat.
Standar ukur ketiga ini adalah kurangnya pengaruh institusi keagamaan dalam kehidupan masyarakat dan institusi sosial. Agak berat memang, untuk mengulas poin ketiga ini. Ya maklum lah, tapi harus disampaikan.
Disadari atau tidak, secara kelembagaan, Persatuan Tarbiyah tidak pernah benar-benar tampak di tengah masyarakat, selain pada masa pemilihan, walikota/bupati atau gubernur. Jadi, adalah wajar bila generasi muda lembaga, mengkritisi soal dukung-mendukung kepala daerah.
Bahkan ada kritik yang lebih muncul, dengan menyebut Persatuan Tarbiyah sebagai lapak dagangan. Ini wajar saja. Kata orang Jakarta, eksisnya Persatuan Tarbiyah itu, hanya sekali doank sih.
Setelah aktivitas politik selesai, kita bahkan tak lagi mendengar, apakah Persatuan Tarbiyah itu ada atau tidak. Itulah sebabnya, nama Persatuan Tarbiyah jarang sekali tersebut sebagai ormas Islam di Indonesia. Sampai sekarang, seolah-olah hanya ada dua ormas berpengaruh, Nu-Muhammadiyah. Nu mewakili Islam tradisi dan Muhammadiyah mewakili Islam masyarakat kota.
Dan kalau ada masalah keagamaan yang menjadi polemik di masyarakat, kita tidak pernah mendengar pendapat dan pandangan Persatuan Tarbiyah secara lembaga. Sebut saja misalnya, kasus dimas, “si pengada uang”, kasus terorisme, Islam radikal, kasus penghinaan al-Qur’an, dan kasus-kasus lain. Belum lagi soal halal-haram BPJS, multilevel marketing dan hal lain yang perlu disikapi. Dalam semua kasus-kasus keagamaan tersebut, tak ada suara orang Persatuan Tarbiyah secara organisasi.
Baca Juga: Mayoritas Adalah Jama’ah Persatuan Tarbiyaah, Tunggu Dulu!
Kalau pun ada baliho-baliho, besar terpampang di pinggir-pinggir jalan, ia hanya mengajak orang berzikir, bersyukur, berdoa dan hal normatif lainnya. Yang sebenarnya tanpa organisasi pun bisa dilakukan.
Aduh sudah panjang nih. Kita belum bicara soal ideologi, lembaga pendidikan, rumah sakit, pers, lembaga bantuan hukum Persatuan Tarbiyah dan lain-lain.
Oke, kan Persatuan Tarbiyāh punya lembaga pendidikan? Benar, tapi apakah di sana ada matakuliah wajib tentang ketarbiyahan? Bukan ketarbiyahan dalam arti pendidikan lho ya, tapi ke-Persatuantarbiyah-an. Sebagaimana ada ke-NU-an dan ke-Muhammadiyah-an dalam lembaga pendidikannya.
Kan, Tarbiyah punya banyak orang besar? Itu pun benar. Tapi mereka ‘besar’ bukan andil (institusi) Persatuan Tarbiyah. Mereka besar karena kapasitas mereka masing-masing dan lebih menonjolkan pribadinya. Kenapa tidak atas nama Persatuan Tarbiyah? Coba saja tanya mereka.
Lalu kapan sih Persatuan Tarbiyah itu eksis dan berpengaruh pada masyarakat? Ya kalau tidak pada saat pemilihan pilkada, ya pada saat tersangkut kasus, atau pada saat pemilihan ketua BAZDA, MUI, sesekali pada saat pemilihan rektor, dekan, ketua jurusan.
Tegasnya, selama ini Persatuan Tarbiyah itu tidak pernah ada sama sekali pada saat ada Buya yang sakit. Persatuanitu juga tidak ada ketika ribuan anak-anak pesantren madrasah putus sekolah, ketika para sarjana jadi pengangguran tanpa pekerjaan. Bahkan kita tidak pernah tau sudah berapa puluh ulama Persatuan ini di pelosok-pelosok desa yang meninggal kita semua.
Baca Juga: Di Riau Persatuan Tarbiyaah Bersinar
Semoga, setelah pada tahun baru hijrah ini, semua itu tak lagi terjadi. Meski dengan melihat personalia yang tersedia kita agak pesimis. Tapi hal itu bisa diatasi dengan membangun kesadaran masing-masing kita. Setiap kita harus bergerak meski bukan bagian dari struktural kepengurusan, tanpa organisasi dan hal yang bersifat struktural lainnya.
Wallahu a’lam
Ciputat, 16/10/2017
Muhammad Yusuf el-Badri
Leave a Review