Tarbiyah Islamiyah dalam Tantangan
Sebelumnya Baca: Siapa Anak Ideologis Persatuan Tarbiyah?
Bila tahun 2017 layak disebut sebagai babak kebangkitan Persatuan Tarbiyah, maka tantangannya tidaklah mudah. Abad 21 adalah era di mana keterbukaan, kebebasan berpendapat, perkembangan teknologi informasi, dan profesionalisme kerja menjadi penting.
Sebagai organisasi tua, organisasi Persatuan Tarbiyah akan gamang dalam menghadapi hal yang terkait dengan semua itu. Kenapa? Karena dalam dunia yang digenggam, tidak dapat tidak, akan muncul perbedaan pandangan, kritik dan dialog. Dan memang hal itu sebagai keniscayaan yang tak dapat dihindari.
Persatuan Tarbiyah, sejak lahirnya boleh disebut sebagai organisasi yang agak tertutup dengan perbedaan pendapat dan monoton dalam wawasan beragama. Karena sejak awal bertumpu pada satu pandangan keagamaan, yakni mazhab Syafi’i dalam fikih (dalam berfatwa) dan Asy’ari dan teologi. Itupun pendapat yang telah ada dalam literatur klasik dan merupakan cabang bukan ushul. Sehingga abai dengan pandangan dan penjelasan baru tentang mazhab Syafi’i dan Asy’ari.
Barangkali itu pula sebabnya, akhir-akhir ini sangat sedikit sekali ulama dan intelektual Persatuan Tarbiyah yang tampil ke ranah publik dalam memberikan berbagai pandangan keagamaan dan merespons fenomena beragama masyarakat di Indonesia. Di samping minusnya wawasan keislaman, juga demam keterbukaan dan kritik.
Minusnya wawasan keislaman masyarakat dan intelektual Persatuan Tarbiyah juga disebabkan oleh pembatasan bacaan khazanah literatur keislaman. Pembatasan kadang terjadi dengan larangan. Sehingga intelektual Persatuan Tarbiyah hanya terkungkung dalam tempurung Persatuan Tarbiyah dan menjadi raja di dalamnya. Saat ini intelektual Persatuan Tarbiyah tak ubahnya penonton di tengah besarnya gelombang wacana keislaman. Menonton, dan takjub tanpa dapat berkata-kata.
Kekalahan dalam ranah wacana keislaman ini, membuat sebagian besar intelektual Persatuan Tarbiyah abai dengan arus yang semakin kencang, lalu memilih jalan belok ke ranah yang politis. Ranah di mana gagasan dan ide keislaman tidak dibutuhkan. Di ranah ini, hanya satu yang paling berharga yaitu kelihaian dalam membagi jatah.
Oleh karena itu, tak salah jika sampai hari ini, kita belum melihat ada tanda-tanda intelektual Persatuan Tarbiyah untuk muncul ke permukaan untuk merespons isu keagamaan. Tentu saja Buya Abdul Somad tak terhitung di sini karena ia telah tampil sendiri sebelum menjadi Majlis Ifta Persatuan Tarbiyah.
Tampak ada semacam ‘ketakutan’ yang membungkus wajah intelektual Persatuan Tarbiyah untuk mengemukakan gagasan keislaman. Ketakutan itu bisa karena ketidakmampuan melahirkan gagasan sendiri dan baru.
Baca Juga: Persatuan Tarbiyah yang Jauh dari Umatnya
Oleh sebab itu, untuk menyambut era abad 21, sebagai babak kebangkitan Persatuan Tarbiyah, penguasaan terhadap wawasan keislaman lintas mazhab dan pemikiran menjadi layak dipertimbangkan mulai dari sekarang. Supaya kelak generasi baru Persatuan Tarbiyah tidak hanya menjadi raja dalam tempurung Persatuan Tarbiyah tapi juga bermanfaat untuk umat Islam, tidak hanya Indonesia tapi juga dunia. Inilah tantangan besar Persatuan Tarbiyah ke depan. Wallahu a’lam.
Ciputat, 15/11/2017
Muhammad Yusuf El-Badri
Leave a Review