Risalah singkat Inyiak Canduang ini mengisyaratkan betapa pertalian fikih dan tasawuf itu saling. Keduanya berkaitan dan saling menguatkan. Bahwa keduanya memiliki wilayah kajian yang berbeda, iya, tetapi perbedaan itu bukan untuk dipisahkan apalagi dipertentangkan, justru—sekali lagi—untuk saling melengkapi.
Seperti judulnya, “Pedoman Puasa”, risalah setebal 24 halaman ini berisi petunjuk teknis ringkas seputar puasa, seperti syarat wajib puasa, syarat sah, rukun, sunnah-sunnah, pembatal puasa, kafarah, fidyah, dan ketentuan qadha puasa. Semua bahasan ini masuk ke dalam wilayah kajian fikih. Namun menariknya, Inyiak Canduang mengawali risalahnya dengan hikmah, fadhilah (kelebihan-kelebihan), dan asrar (rahasia-rahasia) yang biasanya ditemukan dalam kajian-kajian atau kitab-kitab tasawuf.
Risalah yang disusun pada 1936 (1355 M.) ini dibuka oleh Inyiak Canduang dengan “Arba’ Muqaddimat” (empat pendahuluan), yaitu: 1) hikmah yang mewajibkan puasa; 2) kelebihan amalan puasa; 3) kelebihan Bulan Ramadhan; 4) rahasia puasa di Bulan Ramadhan. Keempat bahasan pembuka ini tidak (atau minim) berdimensi hukum/fikih. Barulah di pertengahan halaman 9 Inyiak Canduang masuk pada dimensi hukum/fikihnya, diawali dengan “Ahkam al-Shiyam” (hukum-hukum seputar puasa), lalu “asbab wujub shaum ramadhan” (sebab-sebab wajibnya puasa Ramadhan), hingga pembahasan akhir tentang kafarat, fidyah, dan keharusan imsak (menahan) setengah hari.
Bagi saya, pengalaman pertama belajar tasawuf melalui kitab “Maraqi al-Ubudiyah” (karangan Syekh Nawawi al-Bantani, sebagai syarah atas kitab “Bidayah al-Hidayah” karangan Imam al-Ghazali) di kelas 3 Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang amatlah berkesan dalam konteks ini. Ekspektasi sebelumnya, mata pelajaran tasawuf yang baru diajarkan di kelas 3 itu (karena di kelas 1 dan 2 hanya ada mata pelajaran akhlak, walau substansi keduanya sama) akan mengajarkan sesuatu yang baru dan wah. Saya membayangkan, tasawuf ini akan membawa kami menjadi manusia sakti mandraguna.
Namun nyatanya, bagian awal kitab itu saja sudah memuat pembahasan tentang hukum-hukum fikih dan cerita seputar imam mazhab. Berlanjut ke pembahasan berikutnya, justru ada uraian tentang tata cara bersuci, beruwdhu’, dan shalat secara detail dan panjang lebar. Padahal, pembahasan ini sudah diuraikan dalam mata pelajaran fikih dengan berbagai kitab rujukannya di tiap tingkatan. Saya yang berekspektasi akan mendapatkan barang baru, ternyata hanya mendapat barang lama dengan kemasan baru.
Menariknya, seperti sudah menebak apa yang dikeragui pembaca/pembelajar pemula, pen-syarah kitab (Syekh Nawawi al-Bantani) memberi penjelasan sebagai berikut:
“Ilmu itu, kalau sudah berbuah, maka buahnya disebut hidayah. Hidayah itu terbagi dua, yaitu bidayah dan nihayah. Bidayah terdiri dari syari’at dan thariqat, sedangkan bidayah terdiri dari hakikat… Syari’at itu zahirnya hakikat, sedangkan hakikat itu batinnya syari’at.”
Baca Juga: Sampul Kitab Pedoman Puasa
Karena uraiannya diawali dari ilmu, hidayah, lalu ada klasifikasi bidayah dan nihayah, maka Imam al-Ghazali menamai kitabnya ini dengan “Bidayatul Hidayah”, lalu oleh Syekh Nawawi al-Bantani yang memberi syarahnya dinamai dengan “Maraqil Ubudiyah”.
“Buah kaji” (inti pembahasan) yang saya dapati dalam kitab ini tertuang dalam salah satu kutipan:
فشريعة بلا حقيقة عاطلة, وحقيقة بلا شريعة باطلة
Kutipan itu senada dengan ungkapan yang cukup populer ini:
من تصوف ولم يتفقه فقد تزندق, ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق, ومن جمع بينهما فقد تحقق
[Siapa yang bertasawuf tanpa berfikih, maka ia zindiq. Siapa yang berfikih tanpa bertasawuf, maka ia fasik. Siapa yang menghimpun keduanya, itulah hakikatnya]
Jika Maraqil Ubudiyah karangan Syekh Nawawi al-Bantani adalah kitab tasawuf yang bernuansa fikih, maka Pedoman Puasa karangan Syekh Sulaiman Arrasuli adalah risalah fikih yang bernuansa tasawuf. Sepertinya, di tangan para ulama dan fuqaha nan arif, fikih dan tasawuf hanya bisa dibedakan, tapi tidak terpisahkan.
Syariat atau fikih memberikan batasan yang jelas dan tegas tentang batasan-batasan wilayah rasa/dzuq dalam bertasawuf (mana yang syariat dan mana yang halusinasi), sedangkan tasawuf membantu memberikan rasa dan makna mendalam terhadap amalan-amalan fikih yang terkesan lebih teknis-prosedural.
Karena itu, pada saat memberikan penjelasan tentang kata wajib dan sunnah, Syekh Nawawi al-Bantani menjelasan:
“Wajib itu ra’sul mal (pokok/modal), sedangkan sunnah itu rubh (keuntungan). Orang yang hanya bertumpu pada amalan wajib, seperti pedagang yang sudah pulang modal (orang Minang menyebutnya “pulang pokok”), tetapi tidak mendapat untung. Sedangkan orang yang hanya berorientasi keuntungan tanpa menghiraukan modal, berarti itu keuntungan yang menipu” (kutipan dengan sejumlah perngubahan bahasa)
Bayangkan, idiom “wajib” dan “sunnat” yang awalnya diukur dengan pahala dan dosa oleh ilmu ushul fiqh, dibantu penjelasannya dengan ilustrasi yang lebih konkret dan mudah dipahami oleh ilmu tasawuf. Karena itu, istilah “mandi wajib” barangkali akan lebih menarik dijelaskan dengan bantuan ilmu tasawuf ketimbang fikih semata.
Dari sini sekiranya dapat dimafhumi mengapa aspek fikih dan hukum seringkali dianggap kaku atau kurang menyentuh oleh sebagian orang. Karena, ia terpisah, atau sengaja dipisahkan oleh kelompok tertentu, dari dimensi hikmah, asrar (rahasia-rahasia), dan fadhilah (keutamaan-keutamaan) yang terhimpun dalam kajian tasawuf. Fikih mengukur shalat dengan rukun, syarat, dan mubthilat (hal-hal yang membatalkan), lalu tasawuf menambahkan unsur khusu’, ikhlas, dan ridha di dalamnya.
Nah, pada saat menjelaskan hubungan syariat/fikih dengan tasawuf yang diuraikan dalam kitab “Maraqil Ubudiyah” tadi, sang ustaz membantu kami lagi dengan ilustrasi berikut:
Syariat/fikih dan tasawuf itu seperti jasad dan ruh. Syariat adalah jasadnya, dan tasawuf adalah ruhnya. Syariah tanpa tasawuf, seperti jasad tanpa ruh. Kita menyebutnya mayat. Biasanya, kita hanya berani beberapa jam saja di dekat mayat. Kalau tidak dikubur juga, kita akan takut atau jijik. Sedangkan tasawuf tanpa syariat, seperti ruh tanpa jasad. Biasanya kita juga akan ketakutan menghadapinya. Anak-anak menyebutnya “hantu”.
Baca Juga: Memaknai Kitab “Pedoman Puasa” Syekh Sulaiman Arrasulli
Akan halnya risalah kecil karangan Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) ini, muatannya tidak semata tentang tidak bolehnya makan dan minum selama siang hari ramadhan, harus imsak sebelum fajar, boleh makan setelah terbenam matahari, dan seterusnya; tetapi ada penjelasan bahwa puasa itu untuk melatih jiwa sosial, merasakan kelaparan yang barangkali sering dirasakan oleh saudara kita yang lain, ada hikmah menyehatkan tubuh, serta hikmah-hikmah lainnya. Dengan begini, penjelasan fikih lebih mudah diterima, dipahami, dan diamalkan, dapat menstimulasi jiwa, serta menghunjam kuat di qalbu. []
Leave a Review