Ulam Kerinci dan Minangkabau Ulam Kerinci dan Minangkabau Ulam Kerinci dan Minangkabau Ulam Kerinci dan Minangkabau
[Tulisan ini adalah catatan hasil diskusi “Kelompok Studi Kerinci” pada Jumat, 12 Desember 2020, di Koerintji Heritage, Kota Sungai Penuh, dengan beberapa pengembangan. Diskusi ini awalnya dimaksudkan untuk membahas relasi keilmuan ulama Kerinci dan Minangkabau saja, namun alur diskusi berkaitan dengan beberapa tema yang juga dianggap penting dan perlu dibahas. Karena itu, tulisan ini dibuat dan dimuat secara bertahap sesuai tema-tema tersebut.]
= = = = = = =
Perkembangan keilmuan—sekaligus agama—Islam di Kerinci dapat telusuri dalam beberapa fase. Pertama, periode Siak Lengih “membawa” Islam ke Kerinci. Kedua, periode surat kesultanan Jambi kepada Depati Kerinci. Ketiga, periode ulama-ulama Kerinci belajar di Jawa. Keempat, periode ulama-ulama Kerinci belajar di Makkah. Kelima, periode ulama-ulama Kerinci belajar di Minangkabau.
Baca juga: Masjid Agung Pondok Tinggi, Sungaipenuh: Buah Bersatunya Adat dan Syarak di Alam Kerinci
Periode Siak Lengih
Mengapa perbincangan ini mesti dimulai dari masa Siak Lengih yang merupakan periode awal Islam di Kerinci? Karena, pertalian keilmuan ulama-ulama Kerinci dan Minangkabau itu tidak ujug-ujug terjadi di abad ke-20, tetapi semenjak Islam pertama kali masuk ke Bumi Sakti Alam Kerinci ini. Bahwa tren anak-anak muda Kerinci pergi belajar ilmu agama ke Minangkabau memang kentara di abad ke-20, tetapi mereka tidak membuka jalan baru, melainkan menempuh jejak yang sudah dibuat para pendahulunya beberapa abad yang sebelumnya.
Sejumlah pendapat telah mengemuka perihal awal-mula Islam hadir di dataran tinggi Jambi ini. Pendapat yang paling banyak diamini adalah: Islam pertama kali dibawa ke Kerinci oleh Siak Lengih yang merupakan utusan dari Minangkabau. Siak Lengih bersama beberapa rekannya (ada yang mengatakan empat orang, ada yang mengatakan tujuh orang) yang semuanya bergelar “siak” diutus untuk menyebarkan Islam ke daerah pesisir barat Sumatera, termasuk ke pedalaman Kerinci.
Pendapat lain mengatakan, “islamisasi” oleh Siak Lengih itu sudah gelombang kedua, sedangkan gelombang pertama dilakukan oleh dua orang ahli agama dari Tapus. Hanya saja, informan (yang merupakan salah seorang tokoh adat di Kerinci) hanya bisa bercerita sampai di sini pada penulis. Ia tidak mengetahui persis nama atau gelar dua orang ulama dari Tapus tersebut.
Lantas, kapankah Siak Lengih datang ke Kerinci? Di sini kembali terjadi khilafiah. Menurut catatan seorang pegiat sejarah Kerinci, Budhi Vrihaspathi Jauhari, Siak Lengih datang ke Kerinci pada abad ke-13 atau 14. Namun, menurut Sagimun MD, itu terjadi pada abad ke-14 atau 15, sedangkan menurut Prof. Aulia Tasman, sejarawan Universitas Jambi (Unja), Siak Lengih datang ke Kerinci pada abad ke-16 atau 17.
Dari ketiganya, yang lebih dapat diterima (menurut penulis) adalah pendapat Aulia Tasman. Pendapat alm. Budhi Vrihaspathi, walaupun paling populer dan diamini banyak orang, ternyata memuat beberapa kelemahan. Mari telaah lagi kalimat yang ia tulis: “fakta sejarah menyebutkan Siak Lengih masuk ke alam Kerinci sekitar abad ke 13/14, berasal dari Basa Nan Ampek (Tuanku Nan Tuo di Saruaso—Padang Gantiang—Padang Panjang.”
Kutipan di atas memuat beberapa poin yang mesti dicermati lagi. Pertama, lembaga yang menggunakan nama “Basa Nan Ampek” itu terdapat di Kerajaan Indrapura, bukan Minangkabau. Kerajaan Minangkabau menggunakan istilah “Basa Ampek Balai”, yaitu dewan menteri (pembantu raja) yang terdiri dari empat orang pembesar yang memiliki balai pertemuan (balairuang/ balerong) sendiri. Secara bahasa, “basa” berarti “besar”. Maksudnya, mereka adalah pembesar (pejabat penting) dalam sistem pemerintahan Pagaruyung.
Kedua, kerancuan dalam penyebutan jabatan basa. Untuk memahami konteks ini, baiknya perlu juga disebutkan keempat basa tersebut, yaitu: 1) Bandaro di Sungai Tarab; 2) Indomo di Saruaso; 3) Makhudum di Sumaniak; 4) Tuan Gadang di Batipuah. Sementara, Budhi Vrihaspathi menulis “Tuanku Nan Tuo di Saruaso—Padang Ganting—Padang Panjang”. Padahal, basa yang berada di Saruaso itu bergelar “Indomo”, bukan “Tuanku Nan Tuo”. Adapun Tuanku Nan Tuo adalah ulama Minangkabau yang merupakan guru dari Tuanku Nan Renceh, salah satu pemimpin Kaum Padri, bukan pemangku (pembesar) Basa Ampek Balai.
Ketiga, kerancuan dalam penyebutan nama daerah. Budhi Vrihaspathi menyetarakan daerah Saruaso, Padang Gantiang, dan Padang Panjang seolah itu adalah daerah yang sama. Padahal, ketiganya adalah daerah yang berbeda dan tidak bisa disederhanakan begitu saja. Memang, kedudukan salah satu basa sempat pindah ke Padang Gantiang, tetapi itu bukanlah Basa yang di Saruaso (Indomo), melainkan Tuan Gadang di Batipuah. Basa ini terpaksa pindah karena pengaruh Perang Padri serta pemberontakan Batipuah pada 1841. Menurut beberapa versi tambo Minangkabau, setelah pindah ke Padang Ganting, basa ini tidak lagi dipegang oleh Tuan Gadang, melainkan digantikan oleh Tuan Kadi.
Keempat, kerancuan tentang waktu. Budhi Virhaspathi mengatakan bahwa kedatangan Siak Lengih di abad ke-13 atau 14, dan ia berasal dari Basa Nan Ampek. Anggaplah bahwa yang dimaksud dengan “Basa Nan Ampek” oleh Budhi Vrihaspathi itu adalah “Basa Ampek Balai”, maka ini tidak bisa dianggap kejadian pada abad ke-13 atau 14, karena Basa Ampek Balai itu dibentuk di bawah sistem pemerintahan Rajo Nan Tigo Selo, sedangkan Rajo Nan Tigo Selo itu baru terbentuk setelah pengaruh Islam masuk ke Kerajaan Pagaruyung, yaitu di awal abad ke-16. Rajo Nan Tigo Selo adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh tiga penguasa sekaligus (semacam sistem politik triumvirat), yaitu: 1) Rajo Alam di Pagaruyung; 2) Rajo Adat di Buo; 3) Rajo Ibadat di Sumpur Kudus.
Andaikan yang dimaksud oleh Budhi Vrihaspathi di atas adalah Tuan Kadi di Padang Gantiang (karena ia menyebutkan basa di daerah Padang Gantiang), maka peristiwa ini terjadi di abad ke-19, karena basa di Padang Gantiang baru dibentuk setelah Perang Padri dan Pemberontakan Batipuah pada 1841. Andaikan yang dimaksud oleh Budhi Vrihaspathi adalah benar-benar Tuanku Nan Tuo (bukan Basa Ampek Balai), maka berarti peristiwa ini terjadi di abad ke-18 sampai 19, karena Tuanku Nan Tuo hidup pada 1723-1830 (usia 107 tahun).
Di abad ke-13 itu Pagaruyung masih menjadi bagian dari kekuasaan Adityawarman yang mendeklarasikan diri sebagai penguasa Kawasan Malayapura pada 1347. Adityawarman dan kerajaannya masih terpengaruh kuat oleh ajaran Hindu-Budha pada masa itu. Pengaruh Islam dalam wilayah Pagaruyung baru muncul di awal abad ke-16, dan Kerajaan pagaruyung baru berubah menjadi kesultanan Islam pada abad ke-17.
Jika mengacu pada surat yang dikirim oleh Kerajaan Darmasraya (yang berada di bawah kekuasaan Adityawarman) pada abad ke-14 kepada para depati (pemimpin lokal) di Kerinci, tidak ditemukan satupun kata atau unsur yang berkaitan dengan Islam. Surat ini menggunakan aksara Pasca-palawa dan bahasa Sanskerta. Berdasarkan uji karbon yang dilakukan oleh Prof. Uli Kozok, filolog dan dosen Universitas Hawaii, Amerika Serikat, diperoleh kesimpulan bahwa naskah ini diperkirakan dibuat antara 1345 hingga 1377. Dari risetnya ini, Uli Kozok menyimpulkan bahwa surat ini adalah naskah Melayu tertua di dunia. Surat yang berisi aturan-aturan atau undang-undang ini kemudian populer dengan nama “Naskah Tanjung Tanah”. Sebelum naskah ini diangkat Kozok, naskah Melayu yang diklaim tertua adalah dua naskah beraksara Arab-Melayu pada 1521 dan 1522 yang ditulis oleh Sultan Abu Hayat, Raja Ternate, kepada Raja Portugis.
Sosok Siak Lengih
Akan halnya nama “Siak Lengih”, belum ditemukan catatan atau bukti sejarah yang menjelaskan nama aslinya. “Siak” adalah gelar bagi kalangan ahli agama yang biasa digunakan di Minangkabau. Menurut satu versi, misalnya pendapat Dr. Abdullah Ahmad, kata “siak” merujuk sejarah awal masuknya Islam ke Minangkabau yang dibawa oleh pedagang dari pesisir timur Sumatera menyusuri Sungai Siak menuju wilayah darek/ luhak Minangkabau. Karena mereka datang dari arah Siak, maka masyarakat lantas menggelarinya “orang Siak”.
Versi kedua, gelar “anak siak” populer di Minangkabau semenjak kedatangan anak-anak dari daerah Siak (sekarang masuk Provinsi Riau) pada abad ke-14 atau 15 untuk belajar agama. Saking banyaknya jumlah mereka ketika itu, masyarakat pun menggelari setiap anak yang belajar agama dengan “anak siak” dan orang ahli agama sebagai “orang siak”. Versi lain yang berkembang di Kerinci, “siak” itu adalah dialek Kerinci untuk penyebutan kata “syekh”. Singkatnya, lidah orang Kerinci pada masa itu menyebut “syekh” dengan bunyi “siak”. Jadi, yang dimaksud dengan “Siak Lengih” itu sebenarnya “Syekh Lengih”. Sedangkan “syekh” adalah gelar atau panggilan kehormatan untuk orang alim atau ahli agama Islam.
Adapun kata “lengih”, itu juga bukan nama aslinya. Itu adalah gelar yang dilekatkan lantaran karakter atau kondisi fisiknya. Dalam naskah kuno yang disimpan oleh Datuk Singarapi Suluah, Dusun Empeh Sungai Penuh, ia digelari “lengih” karena suaranya kurang jelas saat berbicara. Orang Kerinci menyebut kondisi itu dengan “lengaih”. Orang Minang menyebutnya “langiah”.
Memang ada pendapat yang meragukan (dengan nada membantah) Siak Lengih sebagai pembawa Islam ke Kerinci. Menurut pendapat tersebut, yang “dibawa” oleh Siak Lengih itu belum tentu agama Islam, karena berdasarkan benda-benda pusaka peninggalannya, seperti keris, tanduk kerbau, dan neraca, ia lebih dekat pada ajaran kebatinan atau kepercayaan yang terpengaruh Hindu-Budha.
Namun, argumentasi ini belum kuat untuk membantah Siak Lengih sebagai pembawa Islam ke Kerinci. Sebab, karakter awal Islam saat memasuki wilayah-wilayah di Nusantara memang dengan melakukan adaptasi terhadap budaya dan kepercayaan setempat, lalu secara perlahan memberikan sentuhan keislaman, walaupun tanpa mengubah bentuk atau tampilan fisik tradisi tersebut. Karena itu, tradisi dan kegemaran masyarakat setempat terhadap keris, tanduk kerbau, atau benda-benda lain yang dianggap keramat tidak otomatis ditentang atau dihapus begitu saja oleh para ulama pembawa Islam tersebut, melainkan tetap dilestarikan wujud fisiknya sembari mengisinya dengan nilai-nilai Islam.
Jika standar ukurnya adalah Islam versi kelompok/ gerakan puritanisme, barangkali Islam yang dibawa oleh Siak Lengih memang belum dianggap memenuhi standar. Namun, perlu digarisbawahi bahwa Islam versi kelompok puritan hanyalah sebuah penafsiran (menurut kelompoknya semata) terhadap Islam, sedangkan menurut kelompok yang lain itu adalah Islam yang sudah memenuhi standar. Jika alat ukurnya adalah puritanisme, maka jangankan pada masa Siak Lengih, pada masa sekarang pun masih sering sebagian kelompok Islam menilai saudaranya yang lain belum memenuhi standar beragama yang benar. Padahal, lagi-lagi itu hanyalah penafsiran kelompok itu saja, sedangkan menurut penafsiran ulama yang lain (bahkan mayoritas) itu sudah memenuhi standar beragama yang benar.
Jika ditelusuri benda-benda peninggalan Siak Lengih lainnya, ternyata juga ditemukan al-Quran hasil tulis tangan Siak Lengih sendiri yang diberi nama “Merdu Bulan” dan Surat Qutbah yang menggunakan bahasa Arab. Dua benda pusaka ini adalah bukti kuat bahwa Siak Lengih beragama Islam dan pembawa Islam ke Kerinci. Surat Quthab itu bahkan ditafsirkan sebagai bukti bahwa Siak Lengih pemegang otoritas syara’ di wilayah Kerinci.
Siak Lengih di Abad ke-16 atau 17
Menurut tulisan alm. Prof. Aulia Tasman, Siak Lengih datang ke Kerinci pada abad ke-16 atau 17 dengan alasan bahwa al-Qur’an Merdu Bulan itu ditulis di kertas pabrikan, bukan kertas buatan tangan, sedangkan penggunaan kertas pabrikan baru dimulai di abad ke-17. Penggunaan kertas pabrikan itupun pertama kali dimulai di wilayah Kerajaan Banten, bukan di wilayah Kerinci.
Jika ditelusuri naskah-naskah kuno Kerinci yang beraksara incung (incong), hampir semuanya ditulis di atas media berupa tanduk kerbau atau buluh, bukan di atas kertas, mengingat kertas amat mahal dan langka pada saat itu.
Andaikan benar bahwa al-Qur’an Merdu Bulan itu ditulis pada abad ke-13 oleh Siak Lengih, tentu naskah ini lebih tua dibanding Naskah Tanjung Tanah (perkiraan tahun 1345-1377). Namun kenyataannya, berdasarkan uji jenis kertas saja, naskah al-Qur’an Merdu Bulan diprediksi paling tua ditulis pada abad ke-16. Karena itu, Naskah Tanjung Tanah-lah yang hingga saat ini diklaim sebagai naskah Melayu tertua di dunia, berdasarkan penelitian dan uji radio karbon yang dilakukan oleh Uli Kozok.
Berdasarekan uraian di atas, pendapat Aulia Tasman (atau yang ia kutip) tampaknya lebih dapat diterima. Dengan demikian, sejarah Islam di Kerinci diperkirakan paling cepat bermula di abad ke-16, bukan abad ke-13 atau 14.
Akan halnya al-Qur’an Merdu Bulan peninggalan Siak Lengih, naskah tersebut saat ini dirawat di Rumah Gedang Datuk Singarapi Putih, Sungai Penuh. Sedangkan Siak Lengih dimakamkan di Desa Pelayang Raya, Kota Sungai Penuh. Makamnya termasuk kawasan cagar budaya yang dilindungi oleh Pemerintah Kota Sungai Penuh.
Baca Juga: Jalan Sunyi Perti di Bumi Kerinci
Terlepas dari perdebatan tentang masa dan periodenya, dengan segala tetek-bengeknya, Siak Lengih adalah seorang yang berjasa besar dalam pengembangan Islam ke Bumi Sakti Alam Kerinci. Insyaallah segala jerihnya adalah jariah-nya jua yang terus mengalir hingga kini, dengan dianutnya Islam oleh mayoritas masyarakat Kerinci hingga kini, bahkan daerah ini juga menjunjung tinggi adagium “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah”. Lahu al-Fatihah…
(periode kedua, periode surat Kesultanan Jambi kepada depati Kerinci. insyaallah pada tulisan berikutnya)
Ulam Kerinci dan Minangkabau Ulam Kerinci dan Minangkabau
SEBAGAI TAMBAHAN INFO BUAT TUAN…DITANJUNG TANAH-KERINCI ADA NAMA NINEK JI-LATEH. (H,ABDUL LATIF) PENGANUT PAHAM TARIKAT SATARIAH. BELIU ADALAH SALAH SATU PENYEBAR ISLAM DIKERINCI,,, BELIU SEMPAT BELAJAR MENGAJI DGN ABDUL RAUF SINGKILI ACEH,, SEKARANG MASIH ADA KETURUNANNYA GENERASI KE 11..