Saya merasa amat beruntung berada di lingkungan ulama-ulama PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Ada banyak kearifan, ilmu, dan amal, yang terwariskan kepada daku yang faqir ini. Mulai dari kisah-kisah menginspirasi, tentang keikhlasan, penuhnya ilmu, kayanya amal-wirid, dan lain-lainnya. Setelah merenungi, membaca, dan meneliti beberapa tahun, sampailah pada kesimpulan bahwa PERTI dengan ikhtiar pendidikan yang dicanangkan merupakan murni melanjutkan tradisi keilmuan surau yang sudah berjalan ratusan tahun lamanya.
Ada beberapa kisah kearifan yang saya hayati betul, akhir-akhir ini. Kisahnya sebagai berikut:
1.Kekompakan dan Silaturahmi
Dulu, ketika ulama-ulama tua PERTI masih ada, hal yang selalu ada pada mereka ialah kekompakan dan silaturahmi. Hampir setiap bulan ulama-ulama itu berkumpul membicarakan hal-hal terkait pendidikan, berpindah-pindah tempat dari satu MTI (Madrasah Tarbiyah Islamiyah) ke MTI lain. Untuk memenuhi acara bulanan itu, diadakan jamuan, bahkan menyembelih kambing. Dengan silaturahmi ini, ulama-ulama tersebut saling berbagi, saling mengisi; sama-sama mengulang kaji, sama-sama membicarakan pemajuan MTI masing-masing. Tidak ada istilahnya persaingan (persaingan sekolah). Semuanya saling “menambal” mana yang kurang, sebab satu “keluarga”. Sehingga tidak ada waktu itu kekurangan guru (yang mengajarkan kitab), begitu pula yang terseok-seok akibat kekurangan finansial dalam menyelenggarakan madrasah. Di Payakumbuh, acara-acara silaturahmi ulama PERTI biasa dilaksanakan, antara lain di MTI Batuhampa (Syaikh Arifin Batuhampa), MTI Koto nan Ampek (Ongku Alwi Ibrahim), dan MTI Limbukan (Syaikh Haji Ruslan). Dihadiri ulama-ulama sepuh, seperti Inyiak Canduang.
2. Keikhlasan dan Sokongan Jama’ah
Ada kisah yang menarik yang beberapa hari lalu dikisahkan seorang ulama di kampung saya. Begini kisahnya: “Ketika MTI Mungka hendak ditegakkan kembali. Beberapa ulama bermusyawarah, duduk halaqah memutuskan mufakat mendirikan MTI. Cukup beberapa orang saja, di antaranya Buya Syaikh Imam Agus Dt. Monti dan Buya Syaikhani Isma’il. Setelah keputusan bulat, besok malamnya (sesudah musyawarah kecil), disampaikan pada jamaah bahwa akan ditegakkan MTI, sepakat jamaah menyokong. Pagi harinya jamaah-jamaah yang terdiri dari bapak-bapak beramai-ramai ke hutan untuk mencari kekayuan untuk bangunan MTI. Itu semua keikhlasan, patuh dan hormat kepada Buya. Kekayuan siap, mereka bergotong royong bersama-sama. Setelah bangunan selesai, jamaah kemudian mempersiapkan anak didik yang tidak lain ialah anak-cucu mereka sendiri, untuk disekolahkan di MTI yang telah didirikan. Hasil keikhlasan, tanpa niat-niat lain, melahirkan anak-anaksiak yang tangguh menempuh gejolak zaman. Bila kita temui hasil didikan ulama-ulama itu, yang tentunya kini telah berusia senja, akan kita dapati bahwa mereka berpalut keindahan akhlak, teguh memegang kaji, dan mempunyai kesan kepada MTI dan guru-guru mereka.”
3. Teguh Memegang Amar Guru
Pada foto di bawah, saya berdiri persis di samping, Buya Haji yang sudah sepuh. Memakai jas merah, bertongkat payung. Beliaulah, salah satu, yang sangat berjuang mengaktifkan kembali MTI bersejarah di kampung kami. Istilah seorang ustadz: Pambalah ruyuang. Beliau adakan musyarawarah, setelah sekian tahun MTI ini tidak aktif, beliau pugar surau suluk di bekas madrasah lama. Beliau kumpulkan kawan-kawan seperjuangan, sehingga madrasah tersebut aktif hingga sekarang. Tuan Syekh, yang wafat 1950 itu pernah berwasiat kepada anak-cucu dan murid-muridnya untuk selalu mengaktifkan madrasah yang ia tinggalkan, apapun daya. Amar ini kemudian gigih diperjuangkan oleh orang tua kita ini.
Baca Juga: Tantangan Globalisasi bagi Masyarakat Perti
*******
Inilah sebagian kisah yang jadi buah pikiran akhir-akhir ini. Kisah yang telah jadi sejarah, untuk dikenang-kenang, sebab sebagian ulama yang kita ceritakan sudah wafat, dan beberapa MTI yang kita sebutkan tidak aktif lagi saat ini. Maka kisah ini hanya akan menjadi i’tibar bagi kita yang terkemudian ini.
Nah, bila ada yang bertanya tentang ke-PERTI-an saya? Dengan semangat saya menjawab, saya PERTI kultural.
Mengapa saya membahasakan “persatuan ulama-ulama tua dalam bidang pendidikan” ini dengan PERTI? Saya ingin mengenang persatuan ini dengan akronim asal, yang diittifaqkan tahun 1930, yaitu PERTI.[]
Semoga Allah swt selamatkan aswaja di negri minang