Saat terjaga dari tidur yang meresahkan, dia tidak ke kamar mandi, tetapi memasang sepatunya lantas menyisir gang-gang sempit perumahan Asri, lalu menyusur jalan raya. Berjalan sejauh mungkin barangkali sanggup menggerogoti mimpi buruk hingga tercecer sepanjang jalan. Kemudian membuat dia sedikit lega, membuat dia bisa bicara di hadapan Madjid dengan tenang. “Harus ada yang berakhir ketika kamu mau menjalin hubungan baru.” Dia bisa memakai kalimat lain kalau takut memperburuk hubungannya dengan Madjid. Mengganti menjalin dengan memperbaiki atau mengawali, dan kalau perlu ubah seluruh susunannya. Daripada Eva dia lebih tahu tentang Madjid; Lelaki itu mudah tersinggung, serta karakter lain yang tidak akan dia paparkan kepada siapa pun. Dan karena itu dia mudah meredakan separah apa pun kemarahan Madjid. Lebih baik aku yang menjelaskan kepada kakakmu, ia meyakinkan Eva. Sekaligus meyakinkan dirinya sendiri.
Tetapi sekarang dia menapak entah ke mana. Mimpi buruk itu sering turun dan menahan malam-malamnya dengan kejam.
Eva cemas, usaha mereka sepertinya berakhir sia-sia.
Ayah bilang dalam keluarganya sudah tidak ada tempat bagi Madjid. Pintu telah tertutup dan, lebih dari itu, ayah seperti menegakkan pagar di depan langkah Madjid. Seakan kemana pun dia mau melangkah tiap tindak Madjid mengarah ke rumah. Biarkan dia menentukan hidupnya sebebas mungkin, dan kalian jangan sekali-kali mendekati anak bejat itu. Kenapa ayah tega berkata demikian? Itu lebih buruk ketimbang mimpi buruk yang merusak tidur. Lebih mengerikan dari yang ia bayangkan selama ini, dari kutukan mana pun. Sangkanya: Berhentilah kuliah, menikah, dan kerjakan sawah di belakang rumah. Tetapi tidak, ayah menusukkan ultimatum menyesakkan. “Buat apa aku pernah memasukkannya ke pesantren?” kata ayah di ujung ultimatum itu. Eva diam.
Anggaplah tidak terjadi apa-apa.
Anggaplah untuk melatih ketabahan, gumaman Eva setelah menemui Madjid di kosnya, dan diusir dengan sangat memalukan. “Anak kecil tidak boleh masuk ke kamarku! Pergi! Katakan kepada ayah semua yang kamu tahu!”
***
Mengapa begitu cepat perubahan itu terjadi? Madjid enam tahun belajar di pesantren seperti dua saudaranya. Apakah pelajaran agama salah memahami Madjid atau Madjid salah memahami pelajaran agama? Pikir Marsum, setan kecil apa yang bercokol di dada Madjid.
Mulanya dia mengira mimpi. Satu malam, ketika dia melakukan observasi tugas penelitiannya, secara tidak sengaja dia memergoki Madjid di salah satu kamar di jejeran rumah bordil selang rampung dari wawancara dengan sebagian pekerja malam di sana. Bisa saja ia salah, itu bukan Madjid, seandainya pada malam ketiga kejadian persis tak terulang lagi. Dengan sakit hati dia putuskan menelusuri benarkah lelaki itu Madjid, adiknya sendiri.
“Asal kamu mau membayarku, kamu boleh masuk.”
“Tapi aku tidak ingin melakukan itu, aku hanya mau bertanya beberapa hal.”
Harus melewati diskusi alot, perempuan yang identitasnya disamarkan itu akhirnya bercerita, dan jelaslah lelaki yang dua kali secara tidak sengaja dia lihat adalah adiknya. Memang, perempuan itu tidak mengatakan berapa Madjid mampu membayar dari tarif biasa. Tetapi perbincangan itu sudah cukup memberinya mimpi buruk di tiap malam yang harus ia lalui. Dalam situasi tertentu tahu-tahu mimpi dan ilusi tak terbedakan. Kadang dia merasa Madjid lebih cepat tua, merasa Madjid lebih tahu banyak hal ketimbang dirinya, terutama tentang perempuan. Dia merasa sia-sia sebagai saudara. Dia belum mengajarkan apa pun, tiba-tiba adiknya lebih pantas mengajarinya teknik bercinta. Uh, bagaimana pun, Madjid adiknya sendiri dan ia menyesalkan kenapa harus ke rumah pelacuran jika ingin bercinta. Dia bisa jadi perantara jika Madjid keburu ingin menikah. Madjid sudah punya tunangan, tinggal dia siap bekerja atau tidak. Itu lebih baik. Memangnya di rumah pelacuran pakai uang siapa? Kiriman dari ayah, uang saku kuliah itu? Masalahnya, Madjid tidak kerja! Lain soal jika punya penghasilan sendiri dan uang jerihnya dia habiskan beberapa malam di rumah bordil.
Bagaiamana pun yang dilihatnya bukan mimpi. Memang, tiba-tiba dia sering mimpi buruk pada malam-malam berikutnya. Tahu-tahu satu malam dia pulang ke Probolinggo dan di dalam bis, selama perjalanan delapan jam Jogja-Surabaya, seorang kakek berkata kepadanya: Kalau kamu nanti sampai Probolinggo, jangan terkejut, di rumahmu ada penyedot wc. Di rumah, Marsum tidak menjumpai ayah atau pun ibu, melainkan ia menjumpai dua mesin penyedot wc teronggok di atas ranjang orang tuanya. Malam berikutnya susul-menyusul mimpi buruk lain, bagaikan burung gagak yang berebut bangkai. Tengah malam ia sering terbangun. Dia tidak tahu harus berbuat apa kecuali pergi ke kamar mandi, berwudhu, dan sembahyang. Tetapi ia tidak pernah tenang. Mimpi itu selalu datang seolah mau mengenyahkannya dari dunia ini. Pergilah kamu dan jangan kembali.
Kamu jangan pernah kembali lagi pada keluarga ini.
***
Eva yakin sebaiknya mereka harus bercerita kepada ayah. Barangkali Madjid bisa berubah, mengakhiri kelakuan buruknya. Sementara menurut Marsum, jangan. Dia tidak tahan mengandaikan apa yang akan terjadi pada Madjid kalau ayah tahu. Kasihan Madjid.
Itu tidak menolong sedikit pun.
Kiriman kepada Madjid dihentikan, dan dia tahu Madjid pun sudah jarang kuliah, dan anak itu belum mau kerja sampingan. Beruntung Eva saudara yang baik. Adik bungsunya menyisihkan uang jajan untuk Madjid. Tapi satu hari Eva diusir. Mungkin Madjid tahu bahwa saudara-saudaranya yang menceritakan semua kelakuannya kepada ayah.
“Kata teman kosnya, hampir setengah bulan dia tidak keluar kamar. Kak Madjid hanya tidur. Ia bangun hanya untuk makan dan ke kamar mandi. Itu pun jika ada temannya yang membawakan makan.”
“Apa yang harus kita lakukan, Kak?”
“Kita harus memintakan maaf kepada ayah. Atau aku akan membujuk Madjid supaya ia minta maaf dan memulai hubungan baru dengan ayah ibu.”
“Apa yang akan kakak katakan kepada Kak Madjid?”
Mimpi buruk yang terus-menerus itu? Dia menghela napas, berat. Udara seperti benda-benda padat, menekan terus.
Dia memimpikan Eva, Madjid, dan dirinya sendiri sedang berladang sama-sama pada satu hari yang aneh. Dia membajak, Madjid mencangkul, dan Eva menabur benih. Yang membuatnya menangis ketika terjaga dari tidur ialah bahwa dia tahu ayah ibu mereka menggatikan sapi menarik bajak. Ayah ibu dicangkuli oleh Madjid dan ditaburi benih oleh Eva. Ayah ibu adalah benda-benda keras, adalah tanah, adalah sapi yang patuh, adalah apa saja yang mereka pegang dan injak dan mudah disuruh kemana pun kamu mau. Eva menggeleng. Aku tidak melakukan itu, Kak. Aku tahu, Eva. Itu hanya mimpi. Tapi aku tidak pernah membayangkan seperti itu, sumpah, Kak. Ya, aku tahu, itu hanya mimpi, Eva.
Kemudian tiba lah mimpi lain lagi. Mimpi dengan pola sama. Padahal dia belum mengatakan apa-apa kepada Madjid setelah Eva diusir dengan tidak sepantasnya jika memang mereka saudara kandung. Mimpi itu seperti mengusirnya dari kenyataan. Saat terjaga, ia tidak ke kamar mandi sebab kamar mandi tidak akan membantu, ia tidak sembahyang sebab sembahyang tidak pernah mengurangi beban. Dia langsung pergi, menyusur jalan raya dan entah akan tiba di mana. Mungkin bukan di dunia ini, di mana dia bisa memperoleh kelegaan.
Kamar, 08 Januari 2016
Leave a Review