Oleh: Shafwatul Bary
Selasa (22/03) lalu, kami seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan melaksanakan sebuah prosesi sakral yang disebut Bai’atul Kubro Tarekat Syattariyah. Atau dalam bahasa sehari-hari, kami menyebutnya Bi’aik Gadang. Kegiatan ini merupakan agenda rutin tahunan yang sudah dilaksanakan sejak jasmani Buya Alm. Syekh H. Ali Imran Hasan (1926-2017), masih berhadir. Selain sebagai pendiri Pondok Pesantren Nurul Yaqin, beliau juga merupakan salah satu mursyid tarekat Syattariyah yang cukup disegani di Minangkabau. Hari ini, kegiatan bai’at diteruskan oleh khalifah beliau, Syekh Zulhamdi Tuangku Kerajaan nan Saliah.
Bai’at adalah sebuah upacara pernyataan janji setia kepada sebuah kesepakatan atau ajaran tertentu, dalam hal ini agama Islam. Upacara bai’at lazimnya dilaksanakan oleh pengikut ajaran-ajaran tasawuf yang terinstitusi menjadi aliran-aliran tarekat. Di sisi lain, Bai’at juga bertujuan untuk menyambungkan pertalian guru-murid dalam setiap gerak-gerik bertarekat. Seorang murid dinyatakan sah bertarekat ketika sudah melaksanakan bai’at di bawah bimbingan gurunya.
Baca Juga: Surau Suluk Pengamal Tarekat
Sejak mendirikan Pondok Pesantren, Alm. Buya Ali Imran merutinkan pelaksanaan bai’at tarekat ini sekali setiap tahunnya di Pesantren. Ratusan, bahkan ribuan orang yang terdiri dari santri-santri dan jamaah simpatisan beliau dari berbagai daerah akan berdatangan untuk melaksanakan bai’at. Prosesinya dilakukan di komplek Pesantren. Mungkin saja dulu itu beliau bermaksud bahwa Pesantren yang notabene merupakan terjemahan kontemporer dari Surau, memang sudah seharusnya menjadi tempat mempelajari tarekat dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Atau, mungkin saja beliau ingin memberi penegasan bahwa sejatinya Pesantren dan tarekat bukanlah dua hal yang bak minyak dan air dalam gelas agama.
Agaknya hari ini, antara Pesantren dan tarekat sudah mulai dipahami sebagai sesuatu yang tidak lagi bertaut-kelindan. Bagi manusia-manusia beragama zaman sekarang, tarekat seringkali didefinisikan sebagai ajaran yang hanya diajarkan di surau-surau pedalaman kampung, dan hanya diikuti oleh mereka-mereka yang berusia senja. Sedangkan Pesantren, dimaknai sebagai sebuah Lembaga Pendidikan Islam modern yang mengajarkan kajian-kajian keislaman kontemporer kepada pelajar-pelajar usia sekolah nan modern dan tercerahkan. Alhasil, jurang pemisah antara keduanya semakin curam dan lebar.
Memang, di Minang tarekat juga sering dibahasa-lainkan dengan “Kaji Tuo”, atau kaji tua. Tapi bukan berarti audiensnya juga orang-orang tua. Kawula muda nan beragama juga sudah seharusnya mempelajari tarekat, jika tidak, tarekat akan semakin terpinggirkan dari tanah Minang ini. Dan tak pelak kalau cerita-cerita kehebatan ulama-ulama Minang tempo dulu itupun hanya akan jadi dongengan politisi saja. Karena hampir semua ulama-ulama itu bertarekat. Bahkan tak jarang para pejuang kemerdekaan itupun bertarekat. Bahkan lagi, mungkin saja salah satu kunci sukses mereka adalah tarekat. Seperti dengungan para sarjana yang sering menyebutkan bahwa kunci suksesnya Islam masuk dan mengakar di Indonesia hingga seperti sekarang adalah ajaran tasawuf yang di dalamnya ada tarekat.
Oleh karena itu, ketika Pesantren-pesantren hari ini masih mendapuk diri sebagai jelmaan resmi dari Surau Minang tempo dulu, sudah selayaknya Pesantren itu bertarekat. Memisahkannya sama saja membantu salah satunya untuk pudar dan ambyar. Sedangkan menyatukannya, justru akan menjadikan keduanya simbiosis mutualisme. Begini;
Ilmu tarekat adalah bagian dari keutuhan ilmu-ilmu keislaman yang cukup kompleks dan rumit untuk dipahami, mempelajarinya juga mengharuskan pengetahuan tentang ilmu-ilmu akidah dan syariat yang hanya diketahui oleh para pelajar-pelajar Pesantren. Ketika tarekat dipegang oleh kalangan awam, tak jarang juga tarekat justru mengantarkannya kepada lembah kesalah-pahaman, atau bahkan zindiq. Sedangkan bagi Pesantren, mempelajari tarekat akan membantu pelajarnya untuk lebih ramah dalam memahami agama Islam, lebih beradab kepada guru-guru dan senior, serta lebih mampu menyeimbangkan antara zikir dan fikir. Ringkasnya, Pesantren butuh tarekat, dan tarekat butuh Pesantren.
Baca Juga: Dt. Sutan Maharaja dan Tarekat Mim
Pesantren itu tempatnya orang-orang hebat yang mampu menyerap multi disiplin ilmu. Insan Pesantren akan merugi jika hanya focus pada satu cabang ilmu saja, misalnya tahfiz saja, atau kitab kuning saja, atau ilmu-ilmu umum saja, atau sepak bola saja, atau pramuka saja, atau pertukangan saja, dan saja-saja lainnya yang banyak kita jumpai sekarang di Pesantren-pesantren. Sehingga tak ada salahnya menjadikan tarekat jadi bagian dari Pesantren itu sendiri. Jika ingin tahu bagaimana kiprah Pesantren dan tarekat di Indonesia lampau, baca saja buku kuningnya Pak Londo, Prof. Martin van Bruinessen, (Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat), lengkap di sana. Ilmiah pula.
Beruntungnya, di Pondok Pesantren Nurul Yaqin, kami mendapati tarekat sebagai bagian dari ilmu yang harus kami pelajari, di samping kitab-kitab kuning karya ulama klasik, dan ilmu-ilmu umum.
Ringan-ringan,
25 Maret 2022
Leave a Review