Kenangan di Kadai Mak Nin
Oleh: Juli Ishaq Putra
Pukul dua siang lewat seperempat, kami menggedudu menuju gerbang. Pulang adalah momen paling dinantikan oleh anak sekolah. Tak terkecuali kami, sebagian santri-santri payah.
Gerbang itu bersimpang jalan. Sebagian siak belok ke kiri ke arah Koto Tuo. Ada yang pulang hingga ke Labuang atau Bukik Bulek, tapi lebih banyak yang berumah kos di Simpang Anjuang, Minangkabau, Koto Tuo, atau terus ke Lasi bagi sebagian santri nonperantauan. Sementara sebagian lagi belok ke kanan. Sedikit anak siak lelaki tinggal di asrama, dan jauh lebih banyak yang berumah kos di Halaman Panjang, Simpang Canduang, Baso, bahkan sampai ke Koto Hilalalang. Para santri nonperantauan ada juga yang pulang ke Simarasok, Padang Tarok, Sungai Cubadak, Salo, lalu ada juga yang ke Biaro, Tanjuang Alam, dan lain-lain.
Derap kaki sebagian kami mulai berlari
karena cacing mulai menggarasau di “sumatra tengah”. Kitab kuning kadang sulit dimengerti meski terlalu mudah untuk dicintai. Sementara matematika dan fisika kadang terkubur dalam-dalam di tanah keputusasaan. Sebagian anak siak yang tempurung kepalanya panas oleh ragam mata pelajaran itu lantas menepi ke kadai Amak Nin, sebelum benar-benar pulang saat petang menjelang.
Amak tengah duduk di kursi kayu di balik daun pintu. Di kadai tempat ia menjerang waktu dari hari ke hari, pekan ke pekan, lebaran ke lebaran. Pukul dua siang itu, Amak tampak terakuk, mengantuk. Hampir setiap malam Amak bangun pukul dua dini hari untuk salat malam, dan kadang tak tidur lagi sampai pagi, sehingga wajar di usia nyaris 80 tahun itu, Amak suka mengantuk pada siang hari selepas zuhur.
Pintu kadai yang guyah itu berderik di bagian kaki saat didorong ke dalam, karena bergesoh dengan lantai batu bakasiak yang baru akan disapu pada sore hari. Kedatangan yang seperti itu sudah barang tentu membangunkan Amak.
“Angkek pintu tun setek. Nampak no lah goyah tu keh,” kata Amak.
Salah seorang dari kami, tanpa aba-aba lekas membuka lemari kayu di sudut kadai, mengambil palu dan melangkang paku engsel pintu kedai yang guyah itu. Selesai perkara.
Sementara itu kami yang lain, lekas menyingkap talam kanso yang tertutup lembaran koran, masih ada rupanya lontong sayur cubadak untuk dimakan. Pilihan lain kadang ada dan kadang raib karena sudah laku, tapi siang itu, nasi goreng dan bakwan masih tersisa. Semua santapan itu, boleh dimakan prasmanan. Ambil sendiri. Sanduak surang berapa sanggup. Asal, habis.
“Basiso-siso kalian makan berang den,” kata Amak sambil melempar pandang ke badan jalan, di mana para santri perempuan yang tak berani mampir ke kadai itu, bergiliran menyapanya di perjalanan pulang.
Baca Juga: Mak Nin, Bertarbiyah Melalui Sepiring Lontong
Setelah rasa kantuk lenyap, Amak lekas berdiri tegap, lalu memulai lagi aktivitas menanak lontong untuk dagangan esok harinya. Sebagian santri ikut pula membelah kayu bakar, mengiris cubadak dan buncis, dan ada pula yang meremas santan.
Meski usianya saat itu nyaris kepala delapan, Amak masih tegap. Berdirinya masih kokoh. Kadang badacak pinggang saat kami berulah sehingga ia menjadi berang. Namun, perkara sayang, Amak sungguh tak ada lawan. Sepanjang waktu dalam hari-harinya di kadai, didedikasikan untuk para santri.
Amak pernah bercerita, sudah puluhan tahun ia menjual lontong dari pagi hingga petang. Selain memang tak ke sawah, pilihan Amak membuka kedai tak lain dan tak bukan untuk menjalankan amanah dari Inyiak Kami, pendiri sekolah kami, Buya Kami, Almukarram Almarhum Syekh Sulaiman Arrasuli.
“Dulu sangkek Amak kicik-kicik, biyai Amak suko masak gulai kapalo ikan untuak Buya. Kalau singgah, Buya, sudah liau makan Amak uruk kaki liau,” kata Amak bercerita kenangan masa kecilnya bersama Inyiak Canduang.
Amak mulai membuka kedai lontong sekira awal-awal 1960-an. Di samping rumahnya, yang hanya seperlemparan batu dari gerbang sekolah. Saat tahu kedai itu dibuka, Buya suatu ketika pernah beramanat kepadanya.
“Nir, bukak sen taruh kadai ko. Jan tutuk-tutuk. Agiah kalapangan anak siak nak iyo makan, yeh. Ibo wak, kampuang no jauah-jauah,” kata Amak menirukan pesan Buya kepada dirinya.
Jadilah, Amak menjawab amanah Buya dengan sepenuh waktunya. Tahun ke tahun anak siak berganti di Pesantren MTI Canduang. Ada yang tamat dan pergi, ada pula yang baru masuk sebagai gantinya. Ada yang setelah tamat, menikah, lalu beranak, mengantarkan pula anaknya sekolah ke MTI Canduang. Kebiasaan makan lontong di kedai Amak pun berlanjut dari generasi ke generasi.
Tak terhitung pula banyaknya anak siak yang berutang makan lontong di kedai Amak. Hebatnya lagi, bon utang itu ditulis sendiri dan disimpan pula sendiri di tempat mana-mana suka. Nanti saat kiriman dari kampung datang, barulah dibuat perhitungan membayar utang pada Amak. Meski banyak juga yang berutang tak mencatat, hanya mengingat-ingat, Amak tak pernah ambil pusing.
“Taek surang, kalau bautang catat surang, simpan surang catatanno,” seloroh Amak tak peduli.
Amak sendiri punya anak-anak yang sangat penyayang kepadanya. Nasib lalu membawa anak-anak Amak ke berbagai kota. Ada yang di Jakarta, Pekanbaru, dan lain sebagainya. Namanya anak, tentu ingin orang tua mereka senang di masa tua. Namun, tak seorang pun dari anak Amak yang berhasil membawa Amak tinggal bersama mereka.
“Jo sia rumah den tingga. Anak-anak den sambuah ka makan. Anti lah. Den ka mangaji gai tiok Jumat jo Buk Man.” Begitu Amak menolak ajakan demi ajakan anak-anaknya. Demi kami para santri, Amak memilih menghirup udara Canduang yang sejuk itu hingga tua dan tutup usia pada Jumat dini hari, 20 Agustus 2021. Beberapa jam sebelum jemaah Masjid Tarbiyah menggelar Salat Sajadah. Amak sungguh orang baik, yang pulang di hari baik, dalam keadaan yang baik.
“Alhamdulillah Amak lai pulang elok jo mudah sen, da. Lai sato wak malapeh cako. Alhamdulillah,” kata Ustaz Ronal, salah seorang guru di Tarbiyah yang sejak masih santri bermukim di rumah Amak.
Selayaknya Ustaz dan Ustazah di sekolah, Amak Nin, atau Dainir nama lengkap beliau, adalah gambaran umum dari masyarakat Canduang, tempat beberapa sekolah Tarbiyah berdiri. Sebab memang, bukan hanya Amak yang setia bertahun-tahun menjadi orang tua angkat bagi anak siak yang datang dari berbagai daerah untuk belajar ilmu agama di Canduang. Selain Amak Nin, banyak Amak-Amak, Biyai-Biyai, Antan-Antan, dan Apak-Apak lain yang menjadi pengayom para santri. Menyambut anak-anak belasan tahun sebagai anggota keluarga baru di rumah-rumah mereka. Menjalin hubungan kekeluargaan yang tak putus-putus dirundung masa.
Baca Juga: asiat Syekh Sulaiman Arrasuli dalam Ijazah MTI Canduang
Kepergian Amak Nin jelas mengundang sabak. Pada usianya yang ke-89 tahun, ia tunaikan amanat dari Inyiak Canduang, dan kemudian diestafetkan pada masyarakat Canduang yang lain. Rasa sayang masyarakat pada anak siak itu yang membuat Canduang selalu menjadi kampung kedua bagi siapa pun yang pernah bersekolah di sana. Meski ada yang tak sampai tamat, tapi hati dan pikiran pada Canduang selalu tertambat kuat.
Selamat Jalan, Amak. Bagi Amak jalan ke depan tiada bersimpang. Lurus saja terus ke pangkuan Allah. Pintu surga terbuka menyambut tamunya. Doa dan cinta anak siak kepada Amak dan orang tua angkat lainnya di Canduang, layaknya doa dan cinta pada guru-guru kami di Tarbiyah; tak pernah putus. (*)
JULI ISHAQ PUTRA. Alumni Ponpes MTI Canduang dan Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas. Vice Editor in Chief Harian Haluan
Mak Nin dalam kenangan.
Alfaatihah untuak mak Nin.
🤲🏻🤲🏻🤲🏻