Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2015 merupakan pintu gerbang untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang mendapat legitimasi luas dari masyarakat. Hendaknya Pilkada dilaksanakan secara demokratis, adil, jujur langsung dan rahasia. Untuk mewujudkan Pilkada yang berkualitas sangat tergantung bagaimana tahapan-tahapan penyelenggaraan yang dilaksanakan dengan baik. Tahapan tersebut meliputi: mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, keterbukaan, proporsional, profesional, akuntabilitas, efesiensi, efektivitas dan aksesibilatas. (PKPU Nomor 7 tahun 2015)
Seiring dengan semangat penyelenggaraan Pilkada yang demokratis, maka suatu kemestian bagi lembaga yang sangat vital dalam menegakkan demokrasi untuk memperjuangkannya. Suatu pemilihan yang bebas berarti bahwa rakyat akan mendapat kesempatan untuk menyatakan hasratnya terhadap hak-hak politiknya yang ditampung oleh Negara. Penyelenggaraan pilkada tidak hanya sekedar memilih saja, tetapi pemilihan yang membawa hati nurani (sekalipun dipaksakan) yang bisa membawa rakyat sejahtera.
Sejatinya Pilkada diselenggarakan untuk menghindari terjadinya kekuasaan yang terpusat pada sekelompok orang tanpa mekanisme konstitusi yang jelas, sehingga ada kompetisi rasional, obyektif, siap menang dan siap kalah. Oleh karena itu, Pilkada merupakan salah satu sarana yang harus diadakan dalam Negara demokrasi. Untuk itu (harapannya) Pilkada tidak boleh mengakibatkan rusaknya sendi-sendi demokrasi atau menimbulkan penderitaan rakyat, melainkan harus menjamin suksesnya untuk menegakkan demokrasi tersebut. Dengan kesimpulan bahwa Pilkada yang demokratis pada prinsipnya harus mencerminkan aspirasi serta kepentingan masyarakat umum bukan untuk kepentingan beberapa kelompok.
Tanggung Jawab Moral Mahasiswa
Ada banyak kredo suci yang begitu melekat pada identitas seorang mahasiswa. Dalam istilahnya agent of change, agent of social control, and iron stock dengan gamblang menunjukkan tugas historis mahasiswa sebagai agen yang mewakili masyarakat untuk mengontrol dan mengawasi berbagai kebijakan pemerintah, pelopor terwujudnya perubahan sosial yang lebih baik, serta sebagai calon penerus generasi pemimpin bangsa ini untuk masa mendatang.
Bagaimanapun mahasiswa adalah kelompok sosial yang istimewa di tengah masyarakat. Mereka dianggap memiliki peranan historis yang signifikan dalam sejarah bangsa ini, idealnya mereka merupakan penyambung lidah rakyat yang dipercaya masih begitu jujur, idealis, dan bersih dari tunggangan kepentingan golongan (sekarang entahlah). Ketimbang para elit politikus yang sudah terlalu sering membohongi mereka. Namun, ternyata di tengah golongan masyarakat intelektual ini wacana apatisme terhadap proses politik semacam Pilkada sampai hari ini masih amburadul, jauh dari yang diharapkan. Seperti banyaknya para pemilih yang tidak mau menjatuhkan pilihannya (Golput). Terlepas apakah yang akan dipilih tersebut baik atau tidak baik.
Ini bisa dilihat saat Pemilihan Gubernur (Pilgub) langsung perdana digelar di Sumatera Barat tahun 2005 lalu, partisipasi pemilih mencapai 63,72 persen. Saat itu, Padang menjadi wilayah dengan partisipasi pemilih paling rendah, yakni hanya 52,62 dan Kabupaten Limapuluh Kota dengan tingkat partisipasi pemilih paling tinggi, yakni 74,44 persen. Padahal, pada Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang digelar tahun sebelumnya, partisipasi pemilih mencapai 75,56 persen dan 71,23 – 65,54 persen untuk Pilpres putaran I dan II. Di periode berikutnya, yakni di Pilgub 2010, partisipasi pemilih melorot sedikit dibanding tahun 2005. Saat Pilgub dimana pasangan Irwan Prayitno-Muslim Kasim mengalahkan petahana Marlis Rahman-Aristo Munandar ketika itu, pemilih hanya mencapai 63,62 persen saja. Jumlah ini, juga menurun jika dibandingkan dengan Pemilihan Legistalif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Pada ajang ini, pemilih di Sumbar mencapai 70,46 persen dan 71,10 persen. (kpu-sumbarprov.go.id)
Menurut beberapa pengamat politik, tingginya angka Golput ada beberapa penyebab yang melatarbelakangi, antara lain:
Pertama, dibeberapa daerah terjadi mobilitas penduduk yang tinggi karena faktor pekerjaan yang menuntut seorang pemilih harus merantau ke luar kota dari daerah asalnya, sehingga ada kemungkinan terdaftar di dua tempat. Dengan demikian, pemilih mengalami pembengkakan yang diakibatkan oleh terdaftar dua kali di daerah yang berbeda, yaitu daerah asal dan daerah dimana yang bersangkutan berdomisili. Fenomena Golput sering kali dijadikan sebagai salah satu indikasi kegagalan pemerintah dan secara subtansial sebagai salah satu ukuran manifestasi berjalannya demokrasi.
Kedua, adanya kesadaran politik yang mempengaruhi pilihan politik sebagai konsekuensi dukungan kepada Pasangan Calon (Paslon) yang tidak mendaftar sebagai petarung dalam Pilkada tahun ini. Biasanya kekecewaan ini timbul karena masyarakat (pemilih) mempunyai harapan terhadap jagoannya tersebut. Ditambah lagi dengan adanya ego daerah “kalau ndak apak tu nan maju bialah ndak mamiliah den” (jika bapak itu yang tidak mencalonkan dirinya lebih baik saya tidak memilih). Sikap ini merupakan sikap politik yang dimiliki oleh sebagian para pemilih dalam menentukan pilihan politiknya.
Ketiga, faktor kesibukan yang dihadapi oleh pemilih sehingga tidak dapat menggunakan hak pilihnya pada saat pemilihan berlangsung. Tidak semua instansi yang pada pemilihan itu meliburkan para karyawannya. Karena sipemilih juga bukan merupakan bos ditempat ia bekerja. Dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan tentu sipemilih lebih mengutamakan sesuap nasi daripada datang ke TPS.
Keempat, kurangnya pemahaman terhadap tata cara menggunakan hak pilih, sehingga memilih sembarangan, karena tidak pasangan calon yang sesuai dengan pilihan politik pemilih tersebut, “nan jaleh mamiliah”.
Melihat fenomena tersebut tentu bisa ditanggulangi dengan melakukan beberapa gerakan, agar jumlah Golput ini bisa ditekan diantaranya melakukan sosialisasi dan pendidikan kepada pemilih . Sosialisasi ditujukan kepada masyarakat agar lebih mempunyai kesadaran politik untuk menggunakan haknya secara baik dan benar. Pendidikan pemilih ditekankan untuk memberikan pembelajaran lebih kepada masyarakat agar dalam menggunakan hak pilihnya lebih rasional dan tidak sekedar mempunyai hubungan tradisional dengan Paslon.
Sikap Politik Mahasiswa
Sudah tidak dapat kita pungkiri, saat ini idealisme seorang mahasiswa sedang diuji. Menjelang Pilkada serentak tahun 2015 ini seakan-akan menjadi suatu masa yang menjadi kepentingan politik bagi penguasa
dan mahasiswa menjadi lumbung suara yang menggiurkan bagi setiap Pasangan Calon (Paslon) yang akan bertarung pada bulan Desember mendatang. Mahasiswa sebagai satu “pilar” penegak demokrasi yang juga bagian dari pemilih dan memiliki nalar intelektual tinggi, justru sangat mudah untuk mempengaruhi masyarakat banyak. Seharusnya mahasiswa dapat memberikan pemahaman demokrasi kepada masyarakat melalui sebuah proses yang dinamakan Pilkada. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan partisipasi pemilih dan kualitas para pemilih sendiri ketika menentukan pilihannya nanti.
Sebab jika kita melihat dari data KPU Provinsi Sumbar, tingkat partisipasi pemilih kian menurun sejak dimulainya Pemilihan Kepala Daerah langsung pasca reformasi dan bisa diprediksikan bahwa tingkat partisipasi masyarakat pada Pilkada serentak tahun ini bisa kurang dari tahun sebelumnya, tetapi sayang proses memberikan pemahaman demokrasi yang baik dan benar itu disalahgunakan oleh mahasiswa itu sendiri.
Kita merasa miris melihat fenomena yang terjadi selama ini. Tak sedikit dari kalangan mahasiswa yang mau menjadi bagian dari penyuksesan kampanye sang calon. Memang pilihan untuk terlibat dalam partai atau menjadi gerakan partisan dari sebuah partai adalah hak prerogatif setiap orang termasuk mahasiswa. Namun akan muncul banyak perdebatan ketika kita menilai hal ini, apakah wajar sebagai pribadi kaum intelegensia mau “melacurkan” nalar intelektaualnya dibawah “kemunafikan” sang calon?. Melihat ada tiga tipe kelompok mahasiswa yang dapat kita klasifikasikan ketika dekat dengan Pemilihan.
Pertama, ada kelompok mahasiswa yang tahu dirinya digunakan sebagai alat dari Paslon, artinya mahasiswa tipe ini sebenarnya mengetahui bahwa Paslon mau mempengengaruhi mahasiswa untuk dapat memilihnya dan kesempatan tersebut diambil mereka dengan mengharapkan materi atau nantinya muncul kepamoran mahasiswa dihadapan para Paslon.
Kedua, ada golongan mahasiswa yang memang tidak tahu bahwa kepentingan dirinya sebagai mahasiswa sedang ditunggangi, kelompok ini biasanya ada pada mahasiswa-mahasiswa baru, pola pikir yang belum begitu memahami akan kepentingan penguasa dianggap hal yang wajar dan sepele padahal secara tidak langsung mereka sudah digiring untuk mempercayai hal tersebut.
Ketiga, kelompok mahasiswa yang tahu namun pura-pura tidak tahu bahwa dirinya sedang ditunggai. Mahasiswa tipe ini adalah mahasiswa yang tidak memiliki kekuatan untuk mengungkapkan akan kebohongan dibalik semua tingkah laku Paslon, mereka tidak berani untuk mengungkapkan kebenaran, hal ini didasari lemahnya pengaruh mahasiswa tersebut atau bahkan muncul raso sagan-manyagan sebab calon tersebut juga dari kalangan keluarga sang mahasiswa itu sendiri.
Dari kasus ini mahasiswa yang kelompok pertama sebenarnya sudah mengetahui bahwa akan ada kampanye terselubung di dalam dialog ini, namun dia tetap memberikan kesempatan apakah mahasiswa ini mendapatkan imbalan dari sang calon? Hanya kelompok tersebut yang dapat menjawabnya. Yang jelas tindakan yang seperti ini dapat kita katakan sebagai membohongi idealismenya demi materi. Kelompok kedua hanya bisa mendengarkan bahwa hal ini baik-baik saja. Toh yang didiskusikan seputar daerahnya dan integritas sang calon, yang lain tidak di utarakan pada publik. Sedangkan kelompok ketiga justru hanya diam mendengarkan petuah sang calon tanpa mengkritik, seharusnya sebagai mahasiswa kita harus mengambil sikap akan fenomena ini dan memposisikan diri kita sebagai agen serta agen sosial untuk tidak mudah tergiur akan tawaran meteri, lebih-lebih mengadakan kampanye terselubung dan terlibat dalam politik praktis di kampus.
Mahasiswa yang notabenenya sebagai agen of social control benar- benar harus menjaga idealisnya sebagai mahasiswa. Mengontrol suatu kebijakan elit dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro kepada rakyat. Pesta demokrasi yang sebentar lagi akan dilaksanakan di berbagai daerah yang ada di Indonesia khususnya Sumatera Barat akan banyak menyedot perhatian mahasiswa sebagai suatu kesempatan emas dalam mendekati para calon yang ikut dalam Pilkada serentak tahun 2015 ini. Idealisme mahasiswa di pertaruhkan dengan mengikutsertakan dirinya sebagai tim sukses maupun tim relawan para Paslon tersebut. Ini hal yang sangat memalukan karena mahasiswa sebagai lapisan masyarakat yang harusnya bersikap netral dan harus menempatkan dirinya di luar sistem. Apabila mahasiswa sudah tidak idealis lagi lalu siapa yang harus mampu mengkritisi dan mengkontrol elit dalam menentukan kebijakannya?
Pilkada merupakan momen dimana sebagian orang dengan profesi yang berbeda-beda akan mengeruk keuntungan, mulai dari tukang sablon sampai souvenir. Mereka jelas ada sesuatu yang mereka jual demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tetapi apa yang di jual oleh seorang mahasiswa dalam mencari keuntungan dari momen ini?. Selain idealis mungkin air liur mereka. Ironisnya yang mereka bela adalah Paslon yang nanti (katanya) membela rakyat kecil, dan objeknya rakyat kecil, ini sudah menjadi rahasia umum. Mahasiswa yang benar- benar idealis dan memegang teguh komitmennya untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil sudah jarang, mereka hanya mencari keuntungan semata saja dan mampu mempergunakan kesempatan dengan sebaik- baiknya. Kepada para para mahasiswa (termasuk saya) harus bersikap objektif dalam menyikapi Pilkada tahun 2015 ini, sebab mahasiswa sebagai sasaran empuk sang calon dalam membantunya untuk “membodohi rakyat.”
Sebagai mahasiswa seharusnya kita dapat memposisikan diri kita dalam menghadapi situasi yang seperti ini secara demokrasi dan memberi yang terbaik bagi masyarakat. Pola pikir yang kritis dengan paradigma yang baik harus dikedepankan agar tidak mengarah kepada pragmatis, sebagai benteng pengawal demokrasi kita harus dapat bersikap netral saat ini bukan condong kepada para calon yang mendekati kita. Sungguh sangat disayangkan bila kita mau melacurkan idealisme hanya dengan mengharapkan matrialiastik yang menggiurkan. Ini adalah penipuan yang sangat amoral bagi identitas mahasiswa dan parahnya lagi jika banyak dari pemimpin mahasiswa yang mau menggadaikan organisasinya untuk mengelabui mahasiswa lain yang tidak tahu demi kepentingan materi semata. Beban moral sebagai mahasiswa harus dapat dipikul dengan rasa idealisme murni yang tujuannya adalah memperjuangkan agar rakyat ini sejahtera. Tindakan masuk ke dalam dunia politik praktis tidak perlu dilakukan saat ini, sebab hal itu jika dilakukan sekarang akan memunculkan kekecewaan dari harapan masyarakat sebagai generasi yang senantiasa membela kepentingan rakyat. Sangat disayangkan jika mahasiswa masuk kedalam kelompok-kelompok yang tidak “ber-etika”, melihat permasalahan politik praktis sudah masuk ke kampus. Alangkah bobroknya negeri kita ini jika kelompok intelektual seperti mahasiswa, mudah tergoda dan tergoyahkan idealismenya dengan iming-iming uang. Jika “pelacur idealisme” seperti ini kian tak terbendung, bagaimana kelak ketika ia menjadi pemimpin Negeri ini? Mahasiswa sebagai kelompok intelektual yang penuh idealisme haruslah memandang momentum Pilkada serentak tahun 2015 ini sebagai hal yang penting dan berbeda dari momen sebelumnya. Tahun ini penuh harapan baru, dengan hegemoni penguasa sebelumnya yang terbukti gagal membela kaum-kaum mustad’afin.
Dari beberapa Paslon yang bermunculan tahun ini. Dengan rasa yang percaya diri mereka mengatakan akan amanah dan siap memajukan Nagari ini, ini patut kita pertimbangkan. Setiap mahasiswa tentu bebas menentukan pilihannya. Tetapi yang urgen hari ini adalah partisipasi dalam bentuk hal apa untuk menyambut momentum Pilkada tahun 2015 ini? Mungkin, sebagian mahasiswa sudah ambil andil dalam alek demokrasi tahun ini. Ada banyak peranan teknis yang bisa dilakukan untuk memastikan Pilkada ini berlangsung sesuai harapan, semisal menjadi bagian dari tim pengawas, panitia penyelenggara, kampanye pemilih cerdas, dan masih banyak lagi yang lain. Prinsipnya, apapun sikap politik yang kita ambil haruslah rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Semoga![]
Leave a Review