Oleh: Ka’bati
Bermula kata, sebenarnya saya tidak sedang ingin memperdebatkan ajaran-ajaran mulia dalam agama, khususnya agama Islam, lalu membenturkannya dengan relasi gender yang timpang. Karena asas ‘semula jadinya’ memang tidak ada subordinat antara umat tuhan di muka bumi ini. Laki-laki dan perempuan adalah umat Tuhan yang setara, saling melengkapi tanpa mengenal konsep tinggi dan rendah. Sama, di hadapan tuhan. Namun apa daya, tafsir-tafsir manusia kemudian bersileweran soal relasi kuasa gender ini. Ada yang meletakkan perempuan lebih berkuasa dan ada yang memposisikan perempuan sebagai layak dikesampingkan karena posisinya yang disebut sebagai tulang rusuk. Bahkan kemudian tafsir-tafsir tersebut terus berkembang ke arah politik kekuasaan yang melahirkan budaya maskulin, salah satunya seperti yang terbaca pada setiap perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Pilkada jelas bukan perlombaan oleh kaum laki-laki merebut dan menggiring suara rakyat, layaknya pemain-pemain sepak bola yang berebut bola di lapangan hijau. Idealnya, Pilkada juga bukan semata ajang pertarungan politik tetapi wahana bagi pesta demokrasi bagi seluruh penduduk –laki-laki dan perempuan– Indonesia. Namun kenyataan yang terlihat hari ini, kelakuan kaum laki-laki sudah sama saja antara Pilkada dan sepak bola, terutama kalau dilihat dari kacamata budaya, dimana budaya maskulin melingkupi pesta demokrasi kita ini. Di lapau-lapau, baik lapau virtual maupun lapau konvensional, pembahasan soal Pilkada, soal kontestan, dukung mendukung calon, laki-lakilah yang bermain. Perempuan? Ada, tetapi tak akan didengar suaranya kalau tidak ikut gaya main laki-laki.
Secara sederhana, budaya maskulin dapat diartikan sebagai pertontonan kekuasaan serta dominasi wacana oleh laki-laki atas kelompok lain, terutama perempuan. Dalam hal ini, kelompok perempuan, pikiran dan gagasan-gagasan mereka kemudian termarjinalisasikan oleh dominasi tersebut. Bahkan pada momen tertentu dominasi ini tidak lagi wujud dalam bentuk wacana tetapi sudah merambah ke wilayah kekerasan fisik. Tidak sedikit kontestan politik, misalnya, yang berhutang dan menggadai tanah dan harta pusaka milik kaum perempuan untuk modal bertarung di Pilkada. Begitu kalah, terlilit hutang sekeliling pinggang, emosi meningkat lalu terjadi kekerasan di ranah domestik. Korbannya, perempuan dan anak-anak.
Saya baru saja membaca Chapter ke-10 dari buku Researching Gender Violence Feminist Methodology in Action (Willan Publishing: 2005). Chapter tersebut ditulis oleh Jill Radford dan Eve Hudson berjudul Balls and Permissions: Theorizing The Link Between Football and Domestic Violence. Artikel ini membahas tentang sepak bola sebagai budaya maskulin dan dampaknya terhadap perempuan dan anak-anak. Jill dan Eve mencoba merefleksikan fenomena sosial yang terjadi di sebuah wilayah Inggris, tepatnya di Middlesbrough. Dimana, semenjak era 1990-an kekerasan dalam rumah tangga meningkat. Peningkatan ini kemudian dikaitkan oleh peneliti dengan aktivitas sepak bola sebagai tontonan publik, termasuk pendukungnya. Artikel ini berangkat dari hasil temuan ‘tidak sengaja’ yang mereka peroleh pada setiap musim kompetisi sepak bola, baik tingkat lokal, nasional maupun tingkat dunia. Ketika pihak pemain maupun para pendukung yang mayoritas laki-laki mengalami kekalahan atau kemenangan maka laporan soal tingkat kekerasan dalam rumah tangga pun meningkat. Peristiwa ini terus berulang sehingga menjadi pemakluman bersama bahwa aktivitas olahraga sepak bolalah pemicunya.
Gejala yang sama dengan kasus sepak bola di atas juga terlihat pada pesta Pilkada yang rutin digelar di Indonesia sekali lima tahun. Masalahnya kemudian, kekerasan-kekerasan yang terjadi dan berkaitan dengan persepakbolaan maupun Pilkada ini, ketika menimpa kaum perempuan, maka masyarakat cenderung menganggapnya sebagai bukan kekerasan. Laki-laki yang kalah, secara emosional dianggap wajar menjadi stres, pemarah dan berlaku kasar karena itu mendapat pemakluman. Pemakluman inilah yang disebut sebagai bentuk maskulinitas.
Baca Juga: Stereotip Gender di Minangkabau Perspektif Syekh Sulaiman Arrasuli
Kekerasan yang terjadi berhubungan dengan Pilkada maupun sepak bola, umumnya tidak dikategorikan sebagai kekerasan nyata tetapi sebagai ritual aggro, yaitu kategori kekerasan yang tidak berbahaya. Anggapan ini sudah muncul dalam banyak penelitian sebelumnya seperti Heysal (Brussels) 1985, Hillsborough (Sheffield) 1989 dan Marsh et al. 1978. Pernyataan ini muncul berdasarkan pendekatan teori subkultural tentang gaya sebagai simbol dari cara setiap generasi pemuda kelas pekerja (laki-laki) berupaya untuk menegosiasikan masalah yang berasal dari status mereka; pemuda dan anggota kelas pekerja yang dilanda krisis (Clarke 1973).
Marxisme lewat kriminologi kritis menyebut istilah struktural analisis, yang menjelaskan kekerasan sepak bola sebagai ekspresi protes oleh laki-laki serta penggemar yang merupakan kelas pekerja yang kehilangan haknya oleh perubahan sosial organisasi sepak bola profesional (Taylor 1982). Gangguan mental (emosional) yang berkaitan dengan sepak bola ini diteorikan sebagai reaksi, di pihak penggemar, terhadap ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi pembusukan klub sepak bola sebagai sebuah industri dengan penghasilan jutaan Pound serta pergerakan saham yang kencang. Persoalan lainnya adalah ‘analisis realis baru’ berkaitan rasisme dan fasisme pada pendukung sepak bola (Dunning et al. 1988) yang juga banyak disorot oleh peneliti. Harusnya dalam sistem perpolitikan hal seperti ini tidak muncul. Namun realitasnya hari ini, bukankah sama saja antara sepak bola dan Pilkada?
Analisis kriminologis ala Marxsis ini berfokus pada kekerasan dalam game, lapangan, dan jalan-jalan sekitarnya namun gagal mempertanyakan apa yang terjadi saat fans pulang ke rumah. Sayangnya, teori kriminologi kritis gagal membahas secara serius masalah gender, maskulinitas, atau hubungan apa pun di antara tontonan kekerasan di hadapan publik dan kekerasan di ruang pribadi. Padahal beberapa dari masalah ini telah diangkat oleh Roger Horrocks (1995) yang membahas maskulinitas dalam budaya populer dalam perjalanan sejarah. Olahraga abad kesembilan belas, menurutnya, ditandai dengan budaya maskulinitas, pemujaan terhadap kulit putih, tubuh laki-laki, dan bermain sebagai bagian penting dalam menegaskan kembali dominasi laki-laki. Horrocks (1995: 152) mengkategorikan ini sebagai gejala homoeroticism satu perilaku yang terkait dengan homofobia dan misogini yang intens dan telah ada dalam permainan kaum laki-laki.
Prilaku homoeroticism diidentifikasi berdasarkan hubungan antara karakteristik maskulin dan tanggapan masyarakat yang ambivalen terhadap kekerasan yang terjadi. Para penonton dan komentator televisi lebih menikmati peristiwa kekerasan dan bentrok agresif yang mungkin terjadi di lapangan atau setelah pertandingan, sebagai pelanggaran ringan dibanding mengutuknya. Ambivalensi ini, menurut Horrocks (1995), kemudian menjadi tradisi yang melegitimasi kekerasan terkait olahraga. Dalam hal ini, Horrocks melihat bahwa “izin” untuk melakukan kekerasan oleh laki-laki tidak hanya terbatas dalam militeristik tetapi meluas ke situasi non perang seperti olah raga (sepak bola), inilah yang kemudian disebut sebagai ciri budaya maskulinitas.
Penelitian lain, Crossett (2000: 148) menjelaskan bahwa tidak mungkin memisahkan kekerasan terhadap perempuan dari aspeknya maskulinitas. Demikian pula, sulit untuk membahas maskulinitas tanpa memperhatikan penggunaan olahraga oleh laki-laki untuk membangun dan mempertahankan, identitas maskulin. Penulis artikel mengkritik gagasan Crossett yang cenderung menunjukkan bahwa wacana olahraga populer jarang memunculkan konsekuensi merusak dari budaya maskulin secara historis’. Crossett dianggap alfa melihat kenyataan bahwa salah satu ‘konsekuensi dari dunia yang penuh kekerasan dan hipermaskulin serupa atletik dapat meningkatkan kekerasan terhadap perempuan.
Dalam budaya maskulinitas, pembiaran, penerimaan atau izin untuk perilaku kekerasan bisa lebih eksplisit diantara laki-laki. Mereka kemungkinan kemudian akan membawa pulang ke dunia perempuan dan anak-anak laku kekerasan itu, sementara perlindungan hukum terhadap kekerasan dalam rumah tangga masih belum tegak. Kegagalan produk hukum dalam melindungi perempuan dan anak di ranah privat juga tentunya menyulitkan pihak kepolisian maupun masyarakat dalam menegakkan sanksi secara efektif terhadap si pelaku.
Ada banyak kesamaan antara budaya maskulin yang terorganisir, baik di bidang olahraga, militer maupun bidang politik seperti Pilkada. Seperti struktur di kemiliteran, organisasi sepak bola dan organisasi politik kita juga dicirikan oleh struktur hirarki kekuasaan yang berpusat pada laki-laki. Ketiganya didasarkan pada homoeroticism, misoginis dan representasi seksualitas yang agresif. Kesetiaan bersama diekspresikan melalui persahabatan, pemakaian seragam dan pemberian simbol-simbol identitas. Semua ciri itu difasilitasi melalui konstruksi biner, dimana orang luar adalah pihak lain, kelompok oposisi dan musuh yang akan menjadi sasaran ‘sah’ untuk melakukan agresi dan kekerasan. Bahkan ketika ada upaya memasukkan perempuan ke dalam aktivitas tersebut, baik sebagai bagian dari pemain maupun sebagai pendukung, budaya maskulin tersebut tidak mencair tetapi justru melahirkan budaya maskulinitas baru. Kewajiban melibatkan perempuan dalam sistem politik dengan penentuan batas minimal kuota 30 persen misalnya apakah sudah menjamin keterwakilan ide, wacana dan kepentingan feminis atau justru menjerumuskan perempuan ke dalam budaya maskulin yang keras dan agresif.
Baca Juga: Jilbab dan Wajah Perempuan Muslim di Indonesia
Melihat realitas yang ada, hemat saya, sudah seharusnya diadakan suatu upaya untuk pembongkaran nilai-nilai dalam masyarakat terkait dengan budaya maskulin dengan menganalisa faktor-faktor utama yang menjadi penyebab berlakunya budaya maskulin itu sendiri, yaitu: faktor ekonomi, faktor budaya dan dimensi spritual. Untuk itu, kita harus jeli menyorot adanya upaya-upanya tersistematis yang dilakukan untuk membangun emosional maskulin yang kemudian diarahkan untuk mensupport tim dimana mereka bertransformasi menjadi keluarga atau komunitas. Nah, wujud baru ‘keluarga’ maupun ‘komunitas’ ini bekerja mencintai klub nya, jagoannya ataupun pasangan pemimpin pilihannya. Dimana arti mencintai kemudian menjadi pendorong untuk membenci pihak lawan. Parahnya, tindakan ini mereka payungi dengan aspek kuasi agama alias sok berdalil menggunakan ayat-ayat suci.[]
*Penulis adalah peneliti di Ruang Kerja Budaya (RKB)
Leave a Review