Oleh: Duski Samad[2]
Pindah Agama, Pernikahan dan Hak-hak Lainnya[1]
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ
Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam. Orang-orang yang telah diberi kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Siapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah, sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan(-Nya). (QS, Ali Imran/3: 19).
Kebenaran bahwa Islam satu-satunya agama yang diterima Allah swt, semangkin nyata. Walaupun, pindah agama adalah fenomena yang sudah ada sejak awal peradaban Islam. Realitas sejarah menunjukkan bahwa umat Islam generasi pertama (salafussaleh) adalah umat Islam yang dulunya beragama selain Islam. Setelah mereka beragama Islam, semua kehidupannya diterima oleh Rasul sebagaimana adanya. Pernikahannya tetap berlanjut, anak-anaknya diakui sebagai muslim, harta bendanya dilindungi sebagai haknya. Begitu juga pengakuan perdagangan dan hak-hak sipil lain. Generasi berikutnya perlakuan terhadap umat lain yang pindah ke dalam agama Islam, tentu berlaku seperti apa yang sudah berlangsung sejak awal dalam sejarah kebudayaan dan peradaban Islam.
Dalam kitab fikih klasik tidak banyak pembahasan tentang bagaimana perlakuan terhadap umat lain yang masuk Islam, kecuali bahagian saja dalam pembahasan mengenai hukum umat Islam yang pindah agama lain (murtad). Dalam bab tentang kaifiat mengislamkan orang kafir[3] dituliskan bahwa masuk Islamnya seseorang tidak harus lebih dimudahkan. Orang yang berada dalam daerah al-harb (zona boleh diperangi), bila ia sudah menyatakan muslim dan mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw sudah muslim. Bahkan jika ada orang murtad setelah Islam sebanyak dua kali, masih dapat diterima sebagai muslim, dan tidak boleh dibunuh.
Menurut Malikiyah dan Hanabilah, tidak dapat diterima taubat orang murtad berulang-ulang kali dengan mendasarkan pada surat al-Nisa’ 137).
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ثُمَّ كَفَرُوْا ثُمَّ اٰمَنُوْا ثُمَّ كَفَرُوْا ثُمَّ ازْدَادُوْا كُفْرًا لَّمْ يَكُنِ اللّٰهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيْلًاۗ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, lalu kufur, kemudian beriman (lagi), kemudian kufur (lagi), lalu bertambah kekufurannya, Allah tidak akan mengampuninya dan tidak (pula) menunjukkan kepadanya jalan (yang lurus).
Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar Ali Rayidalahu’anum, artinya…. tidaklah diterima taubat orang yang berulang kali riddat, seperti dzindiq, mereka wajib di bunuh.
Baca Juga: Bolehkah Wali Nikah Beda Agama Menikahkan Seorang Wanita Muslimah?
Pasangan Suami Isteri Masuk Islam
Semangat untuk mengajak manusia menganut agama Islam, begitu jelas dan kuat sekali. Islam yang dibawa Rasul, tentu juga yang dibawa Nabi Muhammad sallahu’alaihi wasalam, adalah memiliki prinsip membawa rahmat bagi semesta.
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
Artinya: Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. Al-Ambiya’/21:107).
Bersamaan itu perlu pula diingat bahwa dakwah Islam adalah mengajarkan prinsip dalam mengajak umat adalah hikmah, mauidzah dan mujadalah, (QS. An-Nahl/16:125), ini pastilah akan memberikan pengaruh pada sistim hukum Islam. Termasuk hukum bagi saudara-saudara seagama yang pindah ke dalam Islam, disebut dalam term Islam dengan muallaf. Secara ekspilisit sebutan muallaf dinyatakan dalam al-Qur;an surat al-Taubah/9 pada ayat ke 60, yang menyebutkan bahwa muallaf adalah salah satu dari 8 (delapan) asnaf penerima zakat.
Perintah perang dalam Islam tidak semerta boleh membunuh orang yang diperangi. Pada ayat lain disebut bahwa memberikan kebebasan bagi mereka yang sudah masuk Islam, adalah keharusan, karena Allah Maha Pengampun dan pengasih.
فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍۚ فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: Apabila bulan-bulan haram telah berlalu,( Yang dimaksud dengan bulan haram di sini adalah masa empat bulan yang menjadi tenggat bagi kaum musyrik pada waktu itu, yaitu mulai 10 Zulhijah (hari turunnya ayat ini) sampai dengan 10 Rabiulakhir.) bunuhlah (dalam peperangan) orang-orang musyrik (yang selama ini menganiaya kamu) di mana saja kamu temui! Tangkaplah dan kepunglah mereka serta awasilah di setiap tempat pengintaian! Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, berilah mereka kebebasan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Surat Tawbah/9:5).
Lebih lanjut patut juga ditelisik bahwa dalam dalam memperlakukan orang kafir yang menyatakan loyalitasnya terhadap Islam, meskipun dengan alasan yang belum pasti, umat Islam harus bersikap positif, berhusnuzhan, tidak mudah menuduh dan melekatkan stigma tidak baik, mencurigainya sebagai tipu muslihat, apalagi jika ada tujuan material.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا ضَرَبْتُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَتَبَيَّنُوْا وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ اَلْقٰىٓ اِلَيْكُمُ السَّلٰمَ لَسْتَ مُؤْمِنًاۚ تَبْتَغُوْنَ عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۖفَعِنْدَ اللّٰهِ مَغَانِمُ كَثِيْرَةٌ ۗ كَذٰلِكَ كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, bertabayunlah (carilah kejelasan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu, “Kamu bukan seorang mukmin,” (lalu kamu membunuhnya) dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Demikianlah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya kepadamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa’/4:94).
Berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat di atas dan dalam bacaan penulis pada beberapa kitab fiqih dapat dipahami bahwa pasangan suami isteri yang bersamaan masuk Islam, maka pernikahannya lanjut sebagaimana aslinya, tetap dan tidak perlu ada pengulangan nikah. Bila suami muslim, sedangkan isteri musyrik maka nikah fasakh, dan dalam istilah lain firaq, begitu pula isteri muslim, suami musrik. Ada pula pendapat bahwa bila suami isteri sama-sama ahlul kitabnya maka pernikahannya tetap, sedangkan suami ahlul kitab, isteri muslim, maka nikahnya fasakh, atau firaq, artinya bubar dengan dasar imannya.
Berkaitan dengan tema bahasan saat ini, hemat penulis perlakuan terhadap pasangan suami isteri yang masuk Islam (mualaf) secara bersama-sama mesti mengacu pada nilai-nilai, norma dan kehendak jelas dari ayat-ayat di atas, yakninya pernikahan mereka tetap berlangsung efektif, tidak ada pengulangan, anak-anaknya yang belum baligh mengikuti keislaman ayah ibunya. Hal yang sama juga berlaku bagi hak-hak waris dan perwaliannya, tentu bila motif, niat dan kehendak keislamannya lurus dan benar. Wallahu’alam.
Ahlul Kitab Itu Muslim?
Segi lain yang terkait dengan kelangsungan pernikahan pasangan muallah adalah tentang pernikahan beda agama, khususnya terhadap mereka yang dikatakan sebagai ahlul kitab, (beragama Yahudi dan Nasrani). Ayat tentang tidak akan pernah ada kesamaan pendapat, saling menyenangi, atau sama sekali tidak bisa ditemukan antara millah Yahud, Nasrani dan Islam, adalah tidak mudah untuk ditafsirkan dan didapat hukum baru, karena begitu ekspilisitnya lafazd dan makna ayat.
وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الْهُدٰى ۗ وَلَىِٕنِ اتَّبَعْتَ اَهْوَاۤءَهُمْ بَعْدَ الَّذِيْ جَاۤءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْرٍ
Artinya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Sungguh, jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari (azab) Allah. (QS. Al-Baqarah/2:120)
Ayat berikutnya dapat menjadi penjelas tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan ahlul kitab itu, yakninya orang yang beriman dan menerima Islam sebagai agamanya.
اَلَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَتْلُوْنَهٗ حَقَّ تِلَاوَتِهٖۗ اُولٰۤىِٕكَ يُؤْمِنُوْنَ بِهٖ ۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ࣖ
Artinya: Orang-orang yang telah Kami beri kitab suci, mereka membacanya sebagaimana mestinya, itulah orang-orang yang beriman padanya. Siapa yang ingkar padanya, merekalah orang-orang yang rugi.( (QS. Al-Baqarah/2:120).
Lebih tegas lagi bahwa Islam adalah agama yang sudah diwariskan oleh nenek moyang penganut agama Yahudi dan Nasrani, artinya ahlul kitab itu mestinya muslim, karena ia berada dari rumpun samawy.
اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ
Artinya; Apakah kamu (hadir) menjadi saksi menjelang kematian Ya‘qub ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu: Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan (hanya) kepada-Nya kami berserah diri.” (QS. Al-Baqarah/2:133).
Baca Juga: Pernikahan Dini dan problematikanya
Perlakuan Terhadap Kafir dan Musrik
Dalam kajian tentang status pernikahan muallaf dan yang terkait dengan pindah agama ini amat sangat patut pula diingatkan akan ketegasan dan tidak boleh bermain-main dengan kepastian hukum bagi orang yang kafir dan musrik. Dalam hubungannya dengan orang kafir yang membiayai perang atau melawan kebenaran agama Islam, dan kemudian ia berhenti, maka di dapat dikembali pada kondisi awal, sebagai orang dalam perlindungan Islam (ahluzzimmi atau dar al-harb).
قُلْ لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِنْ يَّنْتَهُوْا يُغْفَرْ لَهُمْ مَّا قَدْ سَلَفَۚ وَاِنْ يَّعُوْدُوْا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الْاَوَّلِيْنَ
Artinya: Katakanlah (Nabi Muhammad) kepada orang-orang yang kufur itu, “Jika mereka berhenti (dari kekufurannya dan masuk Islam), niscaya akan diampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu. Jika mereka kembali lagi (memerangi Nabi), sungguh berlaku (kepada mereka) sunah (aturan Allah untuk menjatuhkan sanksi atas) orang-orang terdahulu.” (QS. Al-Anfaal/8:38).
Ayat berikutnya menegaskan perang (ketegasan sikap) terhadap musuh agama yang membawa fitnah tidak boleh mengendor, kecuali bila mereka berhenti merusak atau menentang kebenaran Islam, maka mengajak mereka pada jalan Allah adalah keniscayaan.
وَقَاتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهٗ لِلّٰهِۚ فَاِنِ انْتَهَوْا فَاِنَّ اللّٰهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya: Perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah (penganiayaan atau syirik) dan agama seutuhnya hanya bagi Allah. Jika mereka berhenti (dari kekufuran), sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (QS, Al-Anfaal/8:39).
Sebagai bahagian akhir ingin ditegaskan bahwa masalah yang terkait dengan pindah agama, murtad atau konversi agama adalah akan selalu menjadi kajian hangat bagi umat Islam di Indonesia. Factor keragaman agama, kebebasan demokratisasi, tanpa batasnya media sosial, dan pengaruh politik serta kekuasaan adalah menjadi pemicu yang mudah menimbulkan gesekan, bahkan konflik antar umat beragama. Keyakinan beragama yang sudah bagus, sejatinya tidak akan menimbulkan kegaduhan. Namun, factor sosial, ekonomi, budaya dan kepentingan, adalah penyebab utamanya adanya ketidakrukunan umat beragama. Bila internal umat beragama tetap kuat, dan tidak saling mencampuri urusan agama lain, maka kerukunan dan persatuan akan tetap terjamin. Amin. 16062021.
[1]Makalah Muzakarah Hukum Pernikahan orang yang masuk Islam dari agama lain, Muzakarah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Tarbiyah Perti) Sumatera Barat, Rabu, 16 Juni 2021.
[2]Ketua Dewan Pakar Pimpinan Wilayah Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Tarbiyah-PERTI) Provinsi Sumatera Barat, Guru Besar UIN Imam Bonjol.
[3] Abd al-Rahman, al-Jaawziry, Kitab Ridat, Fiqih ‘ala Mazhab al-Arba’ah, Penerbit Maktabah al-Aradiyah, Beirut, 2004, Juz V, hal. 334,
Leave a Review