Perbincangan tentang awal Ramadhan dan Syawal akan tetap menarik selama dilandasi dengan ilmu dan menghormati setiap pendapat yang berbeda. Tapi kalau sudah dirasuki rasa fanatik atau antipati terhadap kelompok tertentu, menggunakan bahasa-bahasa yang tidak pantas, apalagi sampai pada tahap mengancam, tentu hal itu akan menodai diskusi seputar ini yang seharusnya memberikan manfaat dan berfaidah.
Perdebatan tentang mana yang lebih baik; metode ru`yah atau hisab, sepertinya tidak akan pernah selesai karena masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri.
Namun yang perlu diperhatikan secara khusus adalah perjuangan para ulama sejak dulu untuk menyatukan umat Islam dalam awal Ramadhan dan Syawal.
Hal ini karena awal Ramadhan dan Syawal merupakan simbol yang paling tampak terhadap persatuan umat Islam.
Kalau dalam masalah furu’-furu’ kita tidak bisa dan tidak mungkin untuk bersatu, maka dalam masalah awal Ramadhan dan Syawal ini kita bisa dan mesti bersatu. Apalagi umat Islam yang berada dalam satu wilayah dan memiliki pemerintahan yang sah.
Syekh Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari rahimahullah menulis sebuah kitab berjudul Tawjih al-Anzhar li Tauhid al-Muslimin fi ash-Shaum wa al-Ifthar (Mengarahkan Pandangan untuk Menyatukan Kaum Muslimin dalam puasa dan berbuka/Idul Fitri).
Berbagai konferensi internasional telah dilakukan untuk tujuan mulia ini; persatuan umat Islam. Diantaranya konferensi internasional di Malaysia di pertengahan abad 20 yang menghadirkan berbagai ulama dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia yang delegasinya dipimpin oleh Buya Hamka.
Kalau perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal ini terjadi di kalangan umat Islam minoritas yang tinggal di negara-negara Eropa, Amerika, Australia dan sebagainya, mungkin masih bisa dimaklumi, karena pemerintah di sana tidak mengurusi hal-hal seperti ini.
Tapi hal ini terasa ‘janggal’ ketika terjadi di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim dan berada di bawah pemerintahan yang sah dan memiliki kewenangan untuk menetapkan kapan awal Ramadhan dan kapan awal Syawal.
Ini bukan tentang kepatuhan pada pemerintah. Ini lebih tentang persatuan umat Islam. Bahkan ini juga tentang kepatuhan kepada ulama. Bukankah Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa nomor 2 tahun 2003 yang diantara isinya: Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah?
Kita mungkin dalam banyak hal tidak sejalan dengan pemerintah. Tapi ini tidak berarti kita tidak mematuhi apa yang sudah menjadi kewenangan mereka dalam menetapkannya, dan itu direstui oleh ulama.
Imam Sahal bin Abdullah at-Tustari berkata: “Patuhi penguasa (sultan) dalam tujuh hal : mata uang, timbangan, hukum, haji, jumat, hari raya dan jihad.”
***
Kadang terasa aneh ketika sebagian tokoh dan ulama yang menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal berbeda dari pemerintah mengatakan, “Hargailah perbedaan… Kita mesti berlapang dada dengan perbedaan…” dan sebagainya.
Pertanyaannya, kalau memang demikian kenapa bapak-bapak dan para ulama kami di sana tidak legowo saja meninggalkan pendapat pribadi dan atau organisasi lalu bergabung dengan pendapat yang lebih bisa menyatukan umat ini?
Apakah karena perbedaan itu sesuatu yang alami dan tidak dapat dihindari lalu kita melestarikannya dan tidak berusaha untuk menghindarinya?
Ibarat penyakit. Tidak ada orang yang tidak pernah sakit. Itulah sunnatullah. Bahwa sakit itu sesuatu yang pasti terjadi. Tapi apakah kemudian kita pasrah pada penyakit dan tidak berusaha menghindarinya? Atau malah berusaha menciptakannya?
Ketika Khalifah Utsman bin Affan pergi haji, ia tidak menjamak shalat. Ini berbeda dengan apa yang Nabi Saw contohkan. Abdullah bin Mas’ud tidak sependapat dengan Utsman. Menurutnya, mestinya Utsman menjamak shalat sebagaimana sunnah Nabi.
Tapi ketika Utsman shalat dan ia tidak menjamak, Ibnu Mas’ud pun ikut menjadi makmum. Beberapa orang heran melihatnya. Bukankah menurutnya shalat mesti dijamah, tapi kenapa ia tetap mengikuti Utsman.
Ketika hal itu ditanyakan padanya, ia menjawab:
الخلاف شر
“Berbeda itu tidak baik.”
Maka agak aneh ketika kita mengajak umat untuk dewasa dalam melihat perbedaan sementara kita sendiri tidak berusaha menghindarinya, padahal ia sesungguhnya bisa dihindari, khususnya dalam masalah-masalah besar dan menyangkut umat secara keseluruhan seperti penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal.
Bagi saya pribadi, poin utamanya adalah persatuan. Apapun metode yang digunakan pemerintah dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal, itulah yang kita ikuti. Saat ini metode yang dipakai adalah ru`yah. Kalau suatu saat nanti metode yang dipakai adalah hisab, itu pula yang kita ikuti. Meskipun dalam kapasitas ilmu yang saya miliki, metode ru`yah jauh lebih simple dan bisa lebih menyatukan umat.
Ini pula yang disimpulkan Buya Hamka dari konferensi di Malaysia yang ia ikuti:
“Kesimpulan yang didapat waktu itu ialah Rukyah lebih dapat mempersatukan dunia Islam daripada jika memakai hisab. Hisab boleh dipakai untuk melancarkan kita melakukan rukyah.”
Beliau juga menyayangkan kebiasaan organisasi mengumumkan awal Ramadhan dan awal Syawal jauh-jauh hari:
“…Tidakkah nanti mereka akan terus melakukan apa yang mereka lakukan selama ini, yaitu barang sebulan terlebih dahulu sebelum puasa telah membuat maklumat dalam surat-surat kabar bahwa ijtima’ Ramadhan tanggal sekian, Syawal tanggal sekian, sebab itu tanggal sekian mulai puasa, tanggal sekian penutupnya…”
***
Sebagai penutup, ada baiknya kita nukil penutup yang disampaikan Buya Hamka dalam risalahnya yang berjudul “Saya Kembali Ke Rukyah” itu :
1. Muhammadiyah tidaklah melanggar keputusan Tarjihnya kalau dia memulai dan menutup puasa Ramadhan menurut rukyah atau istikmal. Lalu dijadikannya ilmu hisab untuk mempermudah rukyah.
2. Jika kita ingin mempersatukan ibadat kaum muslimin Indonesia, pada memulai dan menutupnya, lebih mudahlah persatuan itu dicapai dengan memakai rukyat atau istikmal. Dan kesatuan ini dipimpin oleh Sulthan (pemerintah) sebagai yang berlaku dalam dunia Islam sejak zaman Rasulullah Saw. Di Indonesia ialah Kementerian Agama Republik Indonesia.
3. Mulai dan menutup puasa berdasarkan rukyat telah dipelopori oleh seorang pemimpin Muhammadiyah yang besar, Almarhum Kiai H. Faqih Usman seketika beliau menjadi Menteri Agama (Kabinet Halim, 1950). Dan orang tidak dihalangi berpuasa menurut keyakinannya dengan hisab, sebagaimana tertera dalam Mazhab Syafi’i.
4. Membuat maklumat sendiri, dari perkumpulan-perkumpulan yang berkeyakinan pada hisab, mendahului maklumat pemerintah, adalah satu hal yang tidak bijaksana, karena secara psycpologis menggambarkan kembali persatuan yang dicita-citakan oleh Umat Islam bersama. Apatah lagi setelah berkali-kali ternyata hasil hisab yang disiarkan itu tidak ada persamaan. Malahan pernah kejadian dari satu perkumpulan, dua macam hisab.
5. Gagasan hendak mempersatukan permulaan dan penutupan puasa yang dicetuskan di Konferensi Islam di Kuala Lumpur, dan diteruskan oleh Arrabithatul ‘Alamil Islamy di Mekkah, sampai dipersoalkan pula oleh Al Majlisul Islami Al-A’la lisy Syu-unil Islamiyah di Mesir dan majalahnya yang terkenal ‘Mimbarul Islam’ adalah satu gagasan yang patut menjadi perhatian.
6. Dan biarkanlah soal kembali kepada hadits Rasul Saw (ru`yah dan istikmal) ini menjadi semata-mata soal ibadat, tidak disangkut-pautkan dengan politik; pro atau kontra pemerintah yang tengah berkuasa atau menteri yang tengah memerintah. Dan tidak pula dijadikan alat politik untuk ‘tunjuk kuasa’ atau ‘tunjuk pengaruh’. Sehingga suasana kita beribadat puasa dan berhari raya dihadapi dengan rasa thuma`nina (tenteram).
***
Semoga cita-cita kita umat Islam Indonesia agar bisa bersama dalam awal puasa dan awal hari raya terwujud dalam waktu yang tidak jauh.
قل عسى أن يكون قريبا وما ذلك على الله بعزيز
[Yendri Junadi]
Leave a Review