Belakangan ini persoalan dan polemik tentang hukum Islam terkait jilbab bagi wanita muslimah di Indonesia kembali hangat dan mengemuka. Banyak diskusi dan perdebatan tentang ini berseliweran di beberapa media internet seperti Facebook dan semisalnya. Saya tidak mau masuk dalam diskusi terkait hal tersebut. Namun yang ingin saya sampaikan di sini adalah fakta sejarah tentang masyarakat Nusantara di Makah pada tahun 1341 H/ 1922 M atau mungkin sebelum tahun itu telah terjadi polemik ini.
Polemik tersebut direkam secara langsung dalam sebuah kitab berjudul Intishar al-Itisham bi Muktamad Kull Mazhab min Mazahib al-Aimmah al-Arbaah al-Alam (pembelaan dalam perpegangan dengan mempedomani setiap mazhab dari mazhab imam yang empat) karya Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki yang merupakan seorang ulama Arab bermazhab Maliki dan pernah menjadi mufti mazhab tersebut di Makah, sebuah jabatan agama tertinggi dalam mazhab fikih. Ia juga merupakan guru bagi banyak ulama Nusantara, seperti Syaikh Hasan Maksum, Syaikh Sulaiman Tambusai, Syaikh Mustafa Husain Mandailing dan lainnya.
Baca Juga: Jilbab dan Wajah Perempuan Muslim di Indonesia
Dalam mukadimah kitab tersebut –sebagaimana yang sudah diposting sebelumnya- bahwa penulisnya mengatakan “pada tahun ini –maksudnya 1341 H- sebagian Jawiyyin (komunitas Nusantara) yang bermazhab Syafi’i menyimpang atas pendapat atba’ (ulama Syafi’i) dalam 5 masalah, 4 mazhab dalam 12 masalah agama –salah satunya dalam masalah jilbab yang menurut mereka, ayat tentangnya hanya untuk penduduk Hijaz (Makah-Madinah). Dengan adanya pendapat yang menyimpang ini menyebabkan terbelahnya dua kelompok Nusantara yang saling berlawanan. Oleh karenanya, sebagian mereka melaporkan hal tersebut kepada penguasa Makah -sebelum kerajaan Arab Saudi sekarang- yang selanjutnya diadakanlah diskusi dan perdebatan antara dua kelompok di depan para ulama besar Makah yang dipimpin oleh qadi al-qudhat (ketua para ulama kadi) yaitu Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman Siraj al-Hanafi dan sekaligus sebagai ketua para ulama Makah dan mufti Hanafi di tempat bernama Darul Hikmah as-Sunniyah dalam beberapa rapat yang akhirnya memutuskan bahwa kelompok tersebut bersalah dan diberikan hukuman takzir. Selain pemberian hukuman, hasil tersebut memberikan rekomendasi agar membuat buku atau kitab yang menjelaskan kekeliruan dan penyimpangan mereka. Oleh karenanya, ulama mazhab Maliki ini kemudian menulis kitab ini.


Kesimpulan tentang persoalan jilbab dalam kitab ini adalah: 1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa semua anggota tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Imam Abu Hanifah menambahkan selain keduanya, mata kaki juga tidak termasuk aurat. Sementara Imam Ahmad dan Abubakar bin Abdul Rahman mengatakan semuanya aurat.
2. Para imam mujtahid mengatakan bahwa ayat hijab dan jilbab bersifat umum- maksudnya berlaku untuk semua wanita muslimah, bukan terbatas kepada penduduk Hijaz. Namun mereka berbeda dalam memaknai kata jilbab dengan beberapa istilah yang sebenarnya sama yaitu “pakaian yang menutup badan.” Jilbab tersebut diartikan rida’ (pakaian lebar yang berada di atas pakaian- dalam hal ini termasuklah kata jubah, pakaian ihram dan pakaian yang menutup bagian atas dalam arti ini). Selain rida’, jilbab juga diartikan dengan qina’ (penutup muka).
3. Maksud dari penggalan ayat “yudnina alaihinna” (hendaklah mereka memanjangkan sebagian jilbab mereka) adalah “mereka menutupi kepala di atas khimar. Sebagian yang lain menafsirkan dengan “mereka menutupi wajah sehingga yang nampak hanya mata kiri.
4. ‘Illat (alasan hukum) atas masalah ini agar diketahui mereka adalah perempuan muslimah dari budak perempuan melalui ujung ayat “dzali adna an yufrafna fala yu’zain” (yang demikian ini agar mereka diketahui sehingga tidak diganggu).
kitab ini diberi taqrizh (endorsmen) oleh para ulama besar Makah saat itu: Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman Siraj al-Hanafi (mufti Hanafi), Syaikh Abdullah bin Muhammad Saleh Zawawi (mufti Syafi’i), Syaikh Muhammad Abid bin Husain al Maliki (mufti Maliki), Syaikh Umar Bajunaid as Syafi’i (wakil mufti Hambali), Syaikh Said bin Muhammad al Yamani, dan Syaikh Muhammad Jamal al Maliki. []
Medan, Selasa 21 Januari 2020 M
Tulisan ini pernah dimuat di halam Facebook penulis, dimuat ulang di website ini untuk alasan pembelajaran.
Leave a Review