scentivaid mycapturer thelightindonesia

Polemik Kafa’ah (Kesepadanan antara Suami-Isteri) Pernikahan Keturunan Nabi SAW di Nusantara

buku Polemik kafa'ah keterunan nabi , alawiyah di nusantara
Ilustrasi/Dok. Penulis

Kafa’ah

Keturunan nabi Muhammad saw dikenal dengan sebutan habib, sayyid, syarif dan begitu juga dengan para perempuannya yang disebut sayyidah, syarifah dan habibah yang secara umum mereka dikenal dengan keturunan Alawiyah melalui jalur Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah ra.

Dalam tradisi dan komunitas keluarga beliau yang mulia, sudah menjadi hukum yang berlaku bahwa seorang yang berstatus syarifah secara kafa’ah harus menikah dengan syarif juga, sehingga tidak boleh mereka menikah dengan laki-laki non-sayyid (syarif). Polemik tentang boleh-tidaknya pernikahan antara syarifah dengan non-sayyid setidaknya pernah terjadi di Nusantara antara 4 orang ulama: Syekh Ahmad Surkati, Syekh Ahmad Aqib (keduanya dari ormas Al-Irsyad), Syekh Abdullah Dahlan dan Syekh Alawi al-Haddad (pernah menjadi mufti kerajaan Johor Malaysia) dan karya-karya mereka.

Baca Juga: l-Madzhab Kitab yang Merekam Perdebatan Kaum Tua Vis a Vis Kaum Muda di Nusantara di Awal Abad ke 20 M

Polemik ini berawal dari kunjungan Syekh Ahmad Surkati ke kota Solo pada tahun 1913 M untuk menghadiri pertemuan dengan para tokoh Arab dengan statusnya sebagai kepala sekolah Jamiat al-Khair yang beranggotakan masyarakat Arab dari keturunan Alawiyah. Dalam pertemuan itu, muncul pertanyaan kepadanya dari seorang yang bernama Umar Sungkar yang berbunyi: “Bolehkah seorang syarifah dinikahkan dengan seorang laki-laki bukan dari keturunan Alawiyah?” Jawaban yang diberikan olehnya bahwa pernikahan tersebut dibolehkan menurut hukum syariat. Ia tak menduga bahwa jawaban yang diberikannya berakibat fatal kepada dirinya sehingga ia keluar dari Jamiyat al-Khair dan mendirikan jamiyah baru yang dikenal dengan Al-Isryad. Hangatnya persoalan ini membuat sebuah surat kabar Suluh Hindia meminta kepada Syekh Ahmad Surkati agar memberikan fatwa terkaitnya secara lengkap untuk dimuat di edisi khusus surat kabar tersebut, sehingga ia menulis fatwanya dengan judul Surah al-Jawab (bentuk Jawaban/ fatwa). Belakangan kitab fatwa tersebut diterbitkan secara terpisah dalam 16 halaman. Konten kitab ini adalah jawabannya atas pertanyaan tersebut, dimana ia menguatkan pendapatnya yang di kota Solo sebelumnya dengan menampilkan beberapa argumentasi dari ayat al-Qu’ran dan hadis nabi Muhammad saw. beserta 8 contoh pernikahan beberapa sahabat keluarga nabi dengan sahabat yang tidak sepadan dari segi kedudukan sosial, seperti pernikahan Zainab binti Jahsy, putri dari bibi Nabi saw. yaitu Amimah binti Abdul Muthallib dengan seorang sahabat bernama Zaid bin Harisah. Tidak diragukan lagi, kitab karya Syekh Ahmad Surkati tersebut menuai kritik dan respons dari ulama Arab lain yang bernama Syekh Abdullah Sadaqah Dahlan dalam sebuah kitab berjudul Irsal al-Shihab ala Shurah al-Jawab. Kitab yang terakhir ini juga dibantah oleh Syekh Ahmad Aqib dengan judul Fashl al-Khitab fi Ta’yid Shurah al-Jawab yang menguatkan pendapat gurunya, Syekh Ahmad Surkati. Tidak berhenti disitu, kitab ini juga dibantah oleh ulama keturunan Alawiyah bernama Sayyid Alawi bin Thahir al-Haddad dalam jumlah halaman 1374 dalam 2 jilid terbitan Maktabah Shabbah berjudul Al-Qaul al-Fashl fima li Bani Hasyim wa Quraish wa al-Arab min al-Fadhl. Dalam kitab terakhir, penulisnya tidak hanya membantah karya Syekh Ahmad Aqib tetapi juga menyinggung pandangan Syekh Ahmad Surkati guru dari Syaikh Ahmad Aqib.

Dalam kata pengantarnya, Prof. Dr. Mahmud Said Mamduh, seorang ulama Mesir dan murid Syekh Yasin Padang menjelaskan bahwa ia heran, mengapa seorang Syekh Ahmad Surkati yang pernah belajar di Mekah selama 14 tahun dan berguru kepada Sayyid Muhammad Husain al-Habsyi, seorang ulama Alawiyah dan pernah menjadi mufti di Mekah, dan hidup dengan komunitas ulama dan masyarakat Alawiyah di kota Mekah, tidak mengetahui tradisi dan praktik persoalan pernikahan ini di kalangan mereka.

Syekh Ahmad Surkati (1874-1943 M) adalah seorang ulama asal Sudan dan lahir di negara tersebut. Kemudian ia menuntut ilmu di Mekah selama kurang lebih 14 tahun, yang mana setelah menamatkan pelajarannya ia disuruh gurunya Sayyid Muhammad Husain al-Habsyi agar pergi ke Batavia (Jakarta) guna menjadi guru dan ulama. Sesampainya di Batavia, ia bergabung dengan Jamiyah al-Khair yang beranggotakan masyarakat Arab keturuan Alawiyah dan lainnya. Akibat fatwanya di Solo, ia kemudian keluar dari jamiyah tersebut dan mendirikan Al-Irsyad. Sementara Syekh Ahmad Aqib adalah sahabat sekaligus muridnya. Dalam pandangan yang berlawanan, Syekh Abdullah Sadaqah Dahlan adalah ulama Mekah yang banyak melakukan perjalanan ke Nusantara dan ia merupakan keponakan Syekh Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Syafi’i di Mekah dan guru bagi banyak ulama Nusantara. Sementara Sayyid Alawi Thahir al-Haddad adalah ulama Alawiyah yang pernah menjadi mufti kerajaan Johor Malaysia.

Sebelum polemik antara ulama-ulama di atas, persoalan kafa’ah tersebut sudah pernah dibahas oleh Sayyid Usman Betawi (1822-1914 M) dalam 2 karyanya: Al-Qawanin al-Syar’iyah li Ahl al-Majalis al-Hukmiyah wa al-Ifta’iyah yang ditulisnya sebagai pedoman dalam peradilan hukum Islam bagi Qadi-qadi Nusantara di pemerintahan Hindia Belanda. Pembahasan yang lebih panjang disebutkan oleh Sayyid Usman Betawi di kitabnya yang berjudul Al-As’ilah allati waradat ala Sayyid Usman wathuliba minhu al-Jawab (beberapa pertanyaan yang dilontarkan kepada Sayyid Usman yang dimintakan Fatwanya) berupa 5 fatwanya termasuk masalah kafa’ah dalam pernikahan di lingkungan keluarga sayyid, dimana persoalan ini memuat separuh dari isi kitab ini. []

Medan, 4 Februari 2020

kafa’ah

Ahmad Fauzi Ilyas
Ahmad Fauzi Ilyas Peneliti dan Dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ar-Raudlatul Hasanah, Medan.