Polemik Tarekat
Tanah Minangkabau Sumatera Barat (dulu Sumatera Tengah) secara khusus akhir abad 19 dan awal 20 banyak melahirkan ulama-ulama besar. Keilmuan dan keulamaan mereka diakui oleh dunia internasional saat itu. Sebut saja misalnya Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan para muridnya di daerah ini, seperti Syekh Khatib Ali Padang, Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekh Abdul Karim Amrullah dan lainnya. Dari daerah ini lahir gerakan pembaruan pemikiran Islam di Nusantara (Indonesia) yang dikenal dengan ulama Kaum Tua-Kaum Muda, walaupun polemiknya dalam kerangka masalah-masalah cabang agama, seperti mengucapkan ushalli dan lain sebagainya.
Adalah diantara polemik keagamaan tersebut masalah kedudukan dan keabsahan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Persoalan ini terjadi sekitar tahun 1324 H/ 1906 M ketika Syekh Ahmad Khatib Minangkabau menulis sebuah kitab berjudul “Izhar Zagl al-Kazibin fi Tasyabbuhihim bi as-Shadiqin” dalam tulisan Jawi (Arab Melayu). Kitab ini berisikan jawaban penulis atas 5 pertanyaan yang dilontarkan muridnya, Syekh Abdullah Ahmad berupa:
1) adakah dasar syariat bagi Tarekat Naqsyabandiyah, 2) sampaikah sanadnya kepada rasulullah saw, 3) adakah dasar tidak mengkonsumsi daging ketika melakukan suluk, 4) adakah dasar syariat bagi penetapan waktu tertentu ketika bersuluk, dan 5) adakah dasar syariat bagi rabithah. Kelima pertanyaan tersebut yang berusaha dijawab oleh Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, yang jawabannya menunjukkah posisinya secara eksplisit sebagai orang yang berlawanan.
Saya tidak ingin membahas rincian jawaban Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dalam masalah ini di dalam kitab tersebut. Pembahasan yang sangat mendalam sudah pernah dibahas oleh Prof. Muhammad Sanusi Latif dalam disertasinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dulu berjudul “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau dalam Bahasa Indonesia yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh Kementerian Agama pada tahun 2012. Saya juga telah menulis tema ini dalam sebuah jurnal UIN Sumatera Utara yang terbit pada tahun 2017. (Silahkan dikunjungi web tersebut dan jangan lupa sitasinya ya).
Pengaruh dari tersebarnya kitab ulama besar Minangkabau tersebut di tanah kelahiran penulisnya cukup besar dan berdampak serius bagi ulama-ulama daerah ini dimana secara umum, Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah adalah ibarat pakaian bagi mereka. Iklim polemik yang ditimbulkan juga memicu “suhu panas” antara kedua belah pihak yang berlawanan. Tidak tanggung-tanggung, polemik ini melahirkan banyak karya:
1. Izhar Zagl al-Kazibin fi Tasyabbuhihim bi as-Shadiqin karya Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (jawaban 5 pertanyaan Syekh Abdullah Ahmad).
2. Al-Ayat al-Bayyinat li al-Munshifin fi Izalah Khurafat Ba’dh al-Mutha’asibin karya Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (bantahan atas karya Syekh Muhammad Saad Mungka berjudul “Irgam Unuf al-Muta’annitin fi Inkarihin Rabithah al-washilin).
3. Al-Saif al-Batar fi Mahq Kalimah Bad’h Ahl al-Igtirar karya Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (bantahan atas surat Syekh Abdullah al-Khalidi).
4. Tanbih al-Awam ala Tagrirat Ba’dh al-Anam karya Syekh Muhammad Saad Mungka (bantahan atas kitab Al-Ayat al-Bayyinat li al-Munshifin fi Izalah Khurafat Ba’dh al-Mutha’asibin karya Syekh Ahmad Khatib Minangkabau).
5. Miftah as-Shiddiqiyah fi Istilah an-Naqsyabandiyah karya Syekh Khatib Ali Padang (di dalamnya ada bantahan atas kitab Izhar Zagl al-Kazibin fi Tasyabbuhihim bi as-Shadiqin karya gurunya, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau yang menurut penulisnya bahwa posisi gurunya yang sebenarnya tidak anti Tarekat Naqsyabandiyah).
6. Miftah al-Din li al-Mubtadi’ karya Syekh Khatib Ali Padang (ada sedikit pembahasan tentang fatwa gurunya dari pertanyaan yang diajukan kepadanya).
7. Al-Taragub ila Rahmatillah karya Syekh Muhammad Dalil Bayang.
8. Penerangan Tentang Asal-Usul Tarekat Naqsyabandiyah (mendukung pendapat gurunya, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau).
9. Lisan Naqsyabandiyah Untuk Memberantas Risalah Bagi Syaikh Ahmad Khatib karya Syekh Yahya Laksamana.
10. Permata Intan dan Intan Permata karya Syekh Muda Wali asal Aceh.
Alhamdulillah, beberapa hari yang lalu saya dapat kiriman 2 karya Syekh Abdul Karim Amrullah tentang Tarekat Naqsyabandiyah dari Buya Apria Putra Abiya Hilwa di Limapuluh Kota Sumatera Barat. Dua kitab tersebut berisi dukungan penulis atas pendapat gurunya, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau:
1) Izhar Asatir al-Mudhillin fi Tasyabbuhihim di al-Muhtadin dan
2) Al-Suyuf al-Qati’ah fi al-Dawa’I al-Kazibah (bantahan atas karya Syaikh Khatib Ali Padang yang berjudul Miftah al-Shadiqiyah fi Isthilah al-Naqsyabandiyah).
Terima kasih kepada Buya Apria Putra Abiya Hilwa atas kirimannya. Dua kitab ini akan menambah bahan ilmiyah yang kaya akan diskusi seputar polemik Tarekat Naqsyabandiyah bagi saya.[]
Medan, 22 Februari 2020 M/ 27 Jumadil Akhir 1441 H
Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima sumbangan tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com
Leave a Review