scentivaid mycapturer thelightindonesia

Polemik Tentang Mengaji Sifat 20 Tahun 1340 H/ 1921 M di Nusantara (Sumbangan Dua Karya Ulama Nusantara; Syekh Hasan Maksum Deli dan Syekh Janan Thaib Minangkabau)

Polemik Tentang Mengaji Sifat 20 Tahun 1340 H 1921 M di Nusantara (Sumbangan Dua Karya Ulama Nusantara; Syaikh Hasan Maksum Deli dan Syekh Janan Thaib Minangkabau)
Ilustrasi/Dok. ganaislamika.com

Dalam beberapa kesempatan, saya banyak mendapatkan pertanyaan dan bahkan pernyataan bahwa mengaji sifat 20 yang sudah menjadi kegiatan wajib seorang muslim di Nusantara dan belahan dunia Muslim, oleh beberapa orang dianggap bidah, sesat, dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Pertanyaan dan pernyataan seperti ini juga dapat ditemukan di beberapa media sosial seperti Youtube dan sejenisnya.

Kalau dibolehkan kembali ke belakang, polemik tentang ini di Nusantara sebenarnya sudah ada dan direkam dalam karya-karya ulama Nusantara. Diantaranya adalah 2 kitab berbahasa Jawi karya Syekh Hasan Maksum di Medan dan Syekh Janan Thaib Minangkabau yang berasal dari Bukittinggi.

Karya Syekh Hasan Maksum berjudul Tanqih al-Zhunun ‘an Masa’il al-Maimun; Pada Menyatakan Wajib Percaya Dengan Ulama dan Kitabnya, dan Hukum Nikah Tahlil (Cina Buta), dan Berdiri Barzanji, dan Membaca al-Qur’an dengan Tiada Tahun Bahasanya, dan Mengaji Sifat 20, dan Talqin, dan Hukum Melafalkan Niat Sembahyang. Sementara kitab karya Syekh Janan Thaib berjudul Al-Muqmi’ah al-Dhikham fi al-Radd ala Man Ankara Ilm al-Kalam.

Kedua kitab ini sama-sama merekam data sejarah tentang adanya sekelompok aliran keagamaan di Nusantara pada tahun 1340 H/ 1921 M yang menganggap belajar sifat 20 bagian dari perbuatan bidah dan sesat, sehingga ulama tersebut membantahnya dalam sebuah kitab khusus.

Baca Juga: Polemik Tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau Awal Abad 20 Sumbangan 2 Karya Syekh AbduL Karim Amrullah Ayah Buya Hamka

Syekh Hasan Maksum

Dalam karya tersebut, Syekh Hasan Maksum menjelaskan dalam mukadimah bahwa pada pada tahun 1340 H ada sekelompok masyarakat Mandailing di Sungai Rampah Bedagai (Sungai Ular atau Sei Rampah) yang berguru kepada seorang ulama bernama Syekh Mahmud al-Khayyat mempunyai 7 pandangan keagamaan tertentu dan bahkan mempersoalkannya. Ketujuh pandangan tersebut menyalahi pendapat-pendapat dalam mazhab Syafi’i yang sudah berlaku di Nusantara.

Pandangan-pandangan tersebut sampai kepada Sultan Deli saat itu, Sultan Makmun al-Rasyid Perkasa Alamsyah, sehingga ia memerintahkan para pejabat dan ulama agar membuat sidang guna membahas persoalan-persoalan tersebut menurut Mazhab Syafi’i di Istana Maimun. Hasil sidang tersebut memuat bahwa pandangan-pandangan keagamaan yang disebutkan tidak dibenarkan. Syekh Hasan Maksum dalam sidang tersebut mewakili kesultanan. Hasil perdebatan tersebut dibukukan oleh penulisnya dalam bentuk kitab ini.

Karya Syekh Hasan Maksum berjudul Tanqih al-Zhunun ‘an Masa’il al-Maimun
Dokumen Penulis

Pembahasan tentang mengaji sifat 20 ada pada halaman 48-53. Menurut beliau, memang istilah ini tidak ada pada masa Nabi saw, tetapi bukan berarti ilmu ini tidak ada. Sebab Nabi dan sahabatnya langsung memahami dalil-dalil tersebut, dimana mereka menyaksikan turunnya ayat ataupun hadis secara langsung. Istilah ilmu ini lahir, sebab masa setelahnya banyak lahir aliran dan kelompok yang menyimpang, seperti muktazilah dan lainnya, sehingga diperlukan pembuatan ilmu ini dalam bentuk kaidah dan keilmuan yang baku.

Syekh Muhammad Saad al-Khalidi Mungka Tuo Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi danPolemik Tarekat Naqsyabandiyah

Syekh Janan Thaib

Dalam mukadimah kitabnya, Syekh Janan Thaib menjelaskan alasan penulisan karya ini bahwa pada tahun 1340 H, tepat dimana penulisnya sedang berada di Mesir sebagai santri di Al-Azhar, beliau menerima sebuah kitab dalam bentuk nazam dari Minangkabau karya Syekh Muhammad Karim Sumpur.

Setelah membacanya, beliau menemukan bahwa karya tersebut memuat beberapa pernyataan yang mengatakan larangan mempelajari sifat 20 dan menganggapnya bidah seperti yang disebutkan pada kitab sebelumnya. Oleh karenanya, beliau menulis kitab ini dan membantah setiap tulisan yang dianggap keliru.

karya Syekh Janan Thaib berjudul Al-Muqmi’ah al-Dhikham fi al-Radd ala Man Ankara Ilm al-Kalam.
Dokumen Penulis

Kedua ulama Nusantara tersebut adalah ulama besar. Syekh Hasan Maksum belajar di Mekah kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau selama 21 tahun. Dapat dibayangkan bahwa waktu tersebut merupakan waktu penuh seorang murid belajar kepada gurunya, dimana ia belajar semenjak gurunya tersebut masih muda sampai meninggal. Sebab, Syekh Hasan Maksum kembali ke tanah air pada tahun 1334 H/ 1916 M, tahun dimana gurunya meninggal dunia.

Pujian gurunya kepada beliau terlihat jelas di akhir lampiran endorsmen (taqrizh) kitab Syekh Hasan Maksum tentang bantahannya atas pendapat Syekh Abdul Karim Amrullah, ayah Buya Hamka terkait mengucapkan ushalli (sebagian ada yang keliru dalam polemik ini, bahwa polemiknya antara beliau dengan Buya Hamka. Kekeliruan tersebut bahkan sampai terjadi di tingkat akademik tertinggi dan telah disidangkan. Alhamdulillah, setelah diberitahu, penulisnya akhirnya merevisi kembali).

Selain gurunya asal Minangkabau, pujian juga berasal dari Syekh Abdul Qadir Mandailing, dimana gurunya tersebut memujinya di depan jamaah di Medan ketika beliau melakukan kunjungan ke kota tersebut di rumah Syekh Muhammad Yaqub pada tahun 1925 M, beliau mengatakan bahwa “Deli ini telah kejatuhan sebutir bintang yang gilang-gemilang. Akan tetapi penduduk belum mengetahuinya. Tambah lama bintang zhahra tersebut semakin memancarkan sinarnya. Dan mudah-mudahan dapatlah kerajaan Deli ini seorang pujangga Islam yang jarang didapati” yang menunjuk kepada sosok Syekh Hasan Maksum.

Terbukti, tidak lama setelah itu, ia akhirnya diangkat menjadi Imam Paduka Tuan kesultanan Deli. Dari beliau, lahir ulama-ulama besar generasi selanjutnya yang secara umum pendiri Al-Washliyah dan Al-Ittihadiyah. Sebagian lain, termasuk ulama-ulama awal NU di tanah Mandailing Sumatera Timur

Sedangkan Syekh Janan Thaib adalah ulama asal Bukittinggi yang belajar di Mesir dan Mekah. Aktivitasnya di Mesir sebagai ketua persatuan organisasi mahasiswa asal Nusantara yang dibentuk pada tahun 1924 M. Ketika di Mekah juga mendirikan sekolah bagi pelajar Indonesia.

Medan Jumat, 28 Februari 2020


Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima sumbangan tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com

Ahmad Fauzi Ilyas
Ahmad Fauzi Ilyas Peneliti dan Dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ar-Raudlatul Hasanah, Medan.