scentivaid mycapturer thelightindonesia

Puasa Rajab: Hadis Lemah Tidak Berarti Substansinya Tak Boleh Diamalkan

Puasa Rajab Hadis Lemah Tidak Berarti Substansinya Tak Boleh Diamalkan
Ilustasi/Dok.https://prelo-wordpress.s3.amazonaws.com/blog/2017/05/Bulan-Rajab-Image-Shacma.jpg

Diskusi hangat tahunan tentang hukum puasa Rajab sebenarnya sangat bagus untuk mengembangkan potensi dan kemampuan para thalibul ‘ilm (pencari ilmu) dalam memahami dalil, mengaji kekuatannya dan metode istinbath (melahirkan) hukum dari dalil tersebut. Namun sayangnya, debat tahunan ini tak jarang berubah menjadi ajang pamer ‘keangkuhan’ dan ‘merasa paling benar’.

Memang, para ulama hadis sendiri mengakui bahwa tidak ada hadis yang sahih yang menganjurkan untuk berpuasa di bulan Rajab secara khusus. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah:

لم يرد فى فضل شهر رجب ولا فى صيامه ولا فى صيام شيء منه معين ولا فى قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة

“Tidak ada hadis sahih yang bisa dijadikan sebagai hujah (dasar hukum) tentang keutamaan bulan Rajab, puasa di bulan Rajab (secara penuh) atau pun puasa di beberapa harinya, tidak juga tentang qiyam di malam-malam tertentu di bulan Rajab.”

Tapi pertanyaannya, apakah ketika tidak ada hadis yang sahih tentang keutamaan atau kebolehan puasa di bulan Rajab, lalu puasa di bulan Rajab menjadi tidak boleh dilakukan atau bahkan bid’ah, begitu?

Baca Juga: Mengapa Dinamakan Bulan Syakban

Di sinilah letak kerancuan dalam memahami dalil. Kenapa?

Pertama, yang tidak ada itu adalah hadis khusus atau spesifik tentang kebolehan puasa di bulan Rajab. Adapun hadis yang bersifat umum tentang itu, ada. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

صم من الحرم واترك

“Puasalah di bulan Haram dan tinggalkan…”

Kalimat ini diulang oleh Rasulullah Saw sebanyak tiga kali. Dan, bulan Rajab termasuk diantara bulan Haram (bulan-bulan Haram adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab). Adapun maksud dari “… dan tinggalkan” adalah jangan dipuasakan secara penuh. Syekh Sindi mengatakan: “Sebaiknya puasa tiga hari lalu tinggalkan tiga hari.”

Kedua, anggaplah tidak ada satu hadispun yang bisa diterima tentang puasa Rajab, tapi itu tidak berarti bahwa puasa Rajab menjadi sesuatu yang bidah. Kenapa? Karena puasa sunah secara umum adalah sesuatu yang dianjurkan. Ini yang ditegaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah:

لم يثبت في صوم رجب ندب ولا نهي بعينه ولكن أصل الصوم مندوب

“Tidak ada anjuran untuk berpuasa di bulan Rajab, tapi tidak juga ada larangan untuk itu secara spesifik. Namun demikian, berpuasa tetap sesuatu yang dianjurkan.”

Ketiga, yang diwanti-wanti oleh para ulama adalah jangan sampai berpuasa di bulan Rajab dengan ‘keyakinan’ bahwa puasa di bulan ini dianjurkan oleh Nabi Saw. Kenapa keyakinan seperti ini tidak dibolehkan? Karena dikhawatirkan seseorang terjebak pada ‘mengada-adakan’ sesuatu atas nama Rasulullah Saw.

Tapi berpuasa saja, dengan mengharapkan pahala dari Allah karena puasa adalah ibadah yang dianjurkan, tentu tidak apa-apa.

Keempat, ketika ada hadis yang dinilai lemah, atau bahkan palsu, tidak berarti kita tidak boleh mengamalkan substansinya, dengan catatan kita mengamalkan itu bukan atas dasar hadis yang lemah tadi.

Misalnya, ada hadis tentang terung “Terung adalah obat untuk segala penyakit.” Jelas kalau hadis ini palsu. Tapi apakah dengan begitu kita tidak boleh makan terung? Apalagi kalau ternyata terung mengandung banyak vitamin dan protein? Tentu tidak. Kita boleh-boleh saja makan terung, asalkan jangan disebabkan oleh hadis yang palsu tadi. Apalagi sampai mengatakan makan terung itu sunah karena ada hadisnya. Ini lebih repot lagi.

Kelima, dalil yang digunakan para ulama tidak hanya hadis saja. Mereka memiliki perangkat yang sangat kompleks dalam melakukan istinbath sebuah hukum. Para ulama tidak ‘selugu’ sebagian besar ustadz dan da’i sekarang dalam memahami hadis. Ketika hadisnya lemah langsung saja diberikan vonis: bid’ah mengamalkannya.

Baca Juga: Hukum Beramal dengan Menggunakan Hadis Daif Bagian III

Tulisan ini hanya untuk menjawab beberapa pertanyaan yang ditujukan pada saya. Barangkali saja ada manfaatnya kalau di-share di sini. Walaupun sesungguhnya saya pribadi, dan mungkin juga banyak orang, merasa ‘jenuh’ dengan perdebatan semacam ini setiap tahun (kecuali kalau jadi bahan diskusi ilmiah yang serius dan beretika).

Terkadang saya berpikir, orang-orang yang getol mengatakan bahwa puasa di bulan Rajab adalah bid’ah, dengan dalih hadis-hadis tentang itu dinilai lemah, tidakkah mereka khawatir akan dicap oleh Allah Swt sebagai penghalang orang melakukan ketaatan?

Boleh jadi mereka menjawab: “Kami justru menghalangi orang untuk melakukan dosa bid’ah puasa di bulan Rajab.”

Kita katakan, “Saudaraku, apa yang Anda nilai sebagai sesuatu yang bid’ah, tidak demikian oleh para ulama, dan mereka bukan orang sembarangan. Jadi kenapa Anda tidak legowo saja dalam masalah ini. Kalau Anda tidak terima dalil-dalil para ulama dan enggan untuk berpuasa di bulan Rajab, silahkan, itu hak Anda. Tapi tolong jangan jadi batu penghalang bagi mereka yang ingin beramal mengikuti para ulama yang membolehkannya.”[]

Wallahu a’lam

Yendri Junaidi
Alumni Perguruan Thawalib Padangpanjang dan Al Azhar University, Cairo - Egypt