Makna kata pulang di sini ialah mengembalikan ilmu ke pangkalnya, yaitu Canduang. Kenapa Canduang? Karena Canduang ialah representasi dari Ahlussunnah wal Jama’ah dalam i’tikad, Mazhab Syafi’i dalam furu’ fiqih, dan tasawuf sunni/ thariqat mu’tabarah dalam suluk menuju maqam ihsan.
Menulis nama “Canduang” bukan berarti mendiskreditkan pusat-pusat keilmuan lain, yang juga bertebaran dan mempunyai kekhasan di Minangkabau ini. Canduang disebut, karena di sana disepakati berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah oleh ulama-ulama terkemuka awal abad 20. Di antara pendirinya ialah Maulana Syekh Sulaiman Arrasuli al-Khalidi Canduang (1871-1970), ulama besar yang fotonya selalu dicatut sebagai foto Syekh Ahmad Khatib Minangkabau itu. Dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, adalah organisasi yang “membentengi” akidah Ahlissunnah wal Jama’ah, bermazhab dalam fiqih, dan bertasawuf sunni/ thariqat mu’tabarah terutama Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah.
Sosok Maulana Syekh Sulaiman Arrasuli, patut kita renungkan bersama. Beliau faqih dan ushuli, yang ilmu fiqih dan ushulnya dipelajari dari Syaikh Abdullah Halaban dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Beliau juga seorang sufi, pengamal dan mursyid dalam Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang dipelajari/ diijazahkan oleh Syekh Muhammad Arsyad Batuhampar (w. 1924).
Syaikh Sulaiman Arrasuli juga salah seorang “pendekar” Aswaja. Beliau membela amal dan ilmu Ahlussunnah wal Jama’ah bukan hanya lewat lisan, juga melalui tulisan. Dalam membendung ulama modernis, beliau bahkan pernah bermuzakarah dengan Syaikh Thahir Jalaluddin di Mesjid Bonjo Alam.
Baca Juga: Berziarah ke Makam Syekh Sulaiman Arrasuli
Bukan hanya membentengi diri dari paham modernis itu, beliau juga meluruskan amal/thariqat yang tidak sesuai dengan pandangan beliau. Pandangan itu tentunya yang merujuk pada kitab-kitab mu’tabar, dan mu’tamad, dari kalangan sufi, serta apa yang beliau dapatkan dari guru-guru beliau dalam ilmu tasawuf yang sanadnya mu’an’anah sampai pada Junjungan Alam.
Inilah posisi Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak hanya “keras” membentengi dari paham “luar”, tapi juga tetap meluruskan mana-mana ilmu/amal yang tidak sejalan dengan “warih nan bajawek, pusako nan ditolong” itu; artinya juga tetap “keras” pada paham “intern” yang keluar koridor. Tidak pilih-pilih, dan tidak berdasarkan dogma-dogma, tapi betul-betul bertumpu pada syari’at.
Di antara contohnya, bagaimana beliau keras meluruskan thariqat “keras” yang digunakan untuk tahan lading dan pisau, di sebuah daerah. Beliau juga mengkritik seorang mursyid asal Maninjau dalam kitabnya “Tablighul Amanah”. Ini semua menunjukkan bawa “nan bana tagak sandiri-nyo”.
*******
Di makam Syaikh Canduang saya berpikir, alangkah baiknya bila kita “kembali ke Canduang”, dalam ilmu dan amal. Jangan sampai terpesong oleh alam yang berupa-berupa warna dan kilau, sehingga kaji dibelakangi, dan adab ditinggal sudah. Tasa’ub dipakai, akal dan ilmu dilupakan.
Terima kasih Uda dan Uni, yang datang berkunjung. Pertemuan yang menyiratkan makna dan rasa.
Lama saya tertegun setelah beliau berdua pamit melanjutkan perjalanan, hati berkata: “sudahkah kita kembali ke Canduang, atau sedang membelakanginya?”[]
Baca Juga: Maulana Syekh Sulaiman Arrasuli Ulama Tangguh Pembela Mazhab Syafi’i
*******
*Siang tadi saya dikunjungi oleh Uda Adi Yadi Syamsuryadi dan Uni Anggi Dwinda Putri , pertemuan membahagiakan dan membuat kita yakin dengan kalimat ukhuwah dalam ayat. Kami berdiskusi cukup lama, setelah diawali dengan ziarah kepada Syekh Canduang.
Leave a Review