Qunut Terus Menerus Adalah Bidah?
Sebenarnya saya ‘enggan’ untuk ikut-ikutan membicarakan masalah-masalah khilafiyyah yang sudah dikaji dan diperdebatkan para ulama sejak dulu. Siapa saya sampai terlalu lancang memasuki wilayah ijtihad para ulama besar.
Tapi apa yang saya tulis beberapa pekan terakhir ini secara rutin di laman Face Book, sesungguhnya lebih didorong oleh hasrat untuk berbagi dan berdiskusi. Karena tidak semua orang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk mengaji kitab-kitab para ulama. Maka dengan segala keterbatasan ilmu, saya mencoba mengambil peran untuk mengaji beberapa masalah fikih lalu menyajikannya dengan bahasa sederhana semoga bisa dinikmati dan diambil manfaatnya oleh banyak orang.
Tidak ada niat lain, insyaallah, kecuali ingin beroleh doa dari mereka yang mendapatkan faedah dan pencerahan dari tulisan-tulisan itu, baik doa yang dituliskan maupun yang dipanjatkan di dalam hati. Karena, bagi saya, satu ucapan doa yang tulus dari saudara se-Islam sangatlah berharga nilainya.
Termasuk juga dalam konteks ini, tulisan saya terakhir tentang makna ungkapan Imam Syafii –رحمه الله- “Jika hadisnya sahih maka itulah mazhabku.” Sebab utama saya menulis tentang itu adalah ucapan seorang ustadz dalam sebuah video bahwa Imam Syafi’i rujuk dari pendapatnya dalam masalah qunut subuh.
Saya sendiri sebenarnya tidak rutin melakukan qunut setiap salat Subuh. Saya hanya akan qunut ketika menjadi makmum di belakang imam yang qunut, atau menjadi imam di tempat dimana masyarakatnya sudah terbiasa qunut.
Tapi mengatakan bahwa Imam Syafi’i rujuk dalam masalah itu hanya karena hadis yang dijadikannya sebagai dasar ternyata hadis yang lemah menurut sebagian orang, tentu ini pemahaman yang keliru. Karena itulah saya menulis masalah tersebut.
Karena tujuan saya hanya ingin berbagi ilmu, maka fokus saya lebih kepada dalil serta argumen, dan menghindari menyebut seseorang atau suatu kelompok.
Tapi kemudian ada seseorang mengomentari tulisan tersebut. Awalnya hanya dalam bentuk pertanyaan. Tentu sesuatu yang wajar ketika ada diskusi dalam setiap wacana yang diketengahkan, apalagi dalam hal yang debatable seperti ini. Walaupun pandangan kawan kita ini berbeda dengan apa yang saya tulis, tapi saya merespons pertanyaannya dengan baik. Beberapa sahabat dan asatidz yang lain juga ikut meresponsnya.
Saya kira selesai sampai di sini. Ternyata tidak. Kawan kita ini menyalin tulisan Ust Yazid Jawwas –حفظه الله- yang menyatakan bahwa semua hadis tentang qunut subuh secara terus-menerus adalah lemah. Kawan ini kemudian mengutip sebagian dari tulisan itu pada komentarnya di status saya.
Sampai di titik sini saya kira tidak ada yang perlu dilanjutkan. Karena memang masalah ini sudah menjadi perdebatan di kalangan para ulama sejak dahulu.
Namun yang membuat saya ‘terusik’ adalah apa yang ditulisnya di bagian akhir kutipannya. Ia menulis, “Di akhirat nanti hanya ada dua golongan yaitu golongan kanan (sesuai sunah) dan golongan kiri (ingkar sunah) dan tidak ada golongan netral. Perlu diketahui mereka yang mengamalkan bidah nantinya mereka masuk golongan kiri.”
Bagi saya ini bukan pernyataan sepele. Pernyataan ini bermakna bahwa orang-orang yang melakukan qunut secara terus-menerus berarti ia melakukan sesuatu yang bidah, karena hadis tentang itu lemah. Kalau begitu, dimana tempat mereka di akhirat kelak? Karena di akhirat hanya ada dua golongan yaitu golongan kanan dan golongan kiri, dan golongan kanan adalah untuk orang yang melakukan amalan sesuai sunah (versi mereka tentunya), sementara yang tidak beramal sesuai sunah adalah golongan kiri, berarti orang-orang yang melakukan qunut adalah golongan kiri, dan itu artinya mereka akan berada di neraka.
Saya berbisik dalam hati, “Ya Allah… begitu beranikah ia dan orang-orang yang sepemikiran dengannya ‘menentukan’ nasib kaum muslimin yang melakukan qunut subuh secara rutin di akhirat kelak bahwa tempat mereka adalah neraka? Atas dasar apa? Atas dasar mereka melakukan qunut subuh secara terus-menerus yang didasarkan kepada hadis yang lemah. Karena hadisnya lemah berarti amalan itu adalah bidah, dan pelakunya pantas dilemparkan ke neraka.
Setelah ia menyampaikan pernyataan ‘berani’ itu, tak ada artinya ia menutup dengan kalimat, “Apa yang menjadi pilihan anda itu hak anda, jangan sampai karena beda pilihan kita jadi bermusuhan bahkan memandang orang beda dengan kita salah dan kita merasa lebih pintar.” Kalimat ini mungkin tampak indah kalau tidak didahului dengan vonis di atas. Siapa sebenarnya yang mengajak bermusuhan? Apakah orang yang beribadah sesuai dengan apa yang diterimanya dari para ulamanya tanpa menyalahkan orang lain yang tidak mengamalkan seperti apa yang ia amalkan, ataukah orang yang mencap amalan orang lain sebagai sesuatu yang bidah lalu memvonis para pelakunya sebagai ahli neraka?
Terus terang, setelah membaca kalimat ‘berani’ itu saya merasa dipanggil untuk kembali menulis masalah ini. Bukan untuk menyerang kawan kita itu, karena saya tahu ia sebenarnya hanya menukil dari orang lain. Bukan juga untuk menyibukkan umat dengan perkara-perkara khilafiyyah yang tak akan pernah ada ujungnya. Melainkan untuk mengingatkan kawan kita itu dan orang-orang yang sepemikiran dengannya bahwa bukan seperti ini cara menyikapi perbedaan pendapat. Tidak semudah itu mem-judge kaum muslimin dengan vonis yang berbahaya seperti ini. Sekaligus saya juga ingin menepis keraguan yang mungkin hinggap dalam pikiran sebagian orang, apakah benar hadis yang dijadikan dasar oleh kalangan syafi’iyyah tentang qunut subuh adalah hadis yang lemah? Kalau begitu, tidak benar pernyataan Imam Syafi’i bahwa ‘Jika hadisnya sahih maka itulah mazhabku’?
Allah –سبحانه وتعالى- yang tahu bahwa sebenarnya saya malu untuk kembali membahas hal ini di tengah berbagai musibah dan problematik yang dihadapi umat Islam saat ini yang jauh lebih berat. Namun, vonis ‘berani’ yang disampaikan kawan tadi, dan mungkin juga orang-orang yang sependapat dengannya, perlu mendapat respons. Mana tahu saja banyak yang bisa mengambil manfaat dari ulasan ini.
Dikarenakan keterbatasan ruang dan waktu, kita hanya akan fokus pada satu masalah utama saja, yaitu benarkah hadis yang digunakan para ulama syafi’iyyah –رحمهم الله- tentang qunut subuh secara terus-menerus adalah hadis yang lemah?
Hadis yang dimaksud di sini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bazzar, Abdurrazzaq, ad-Daruquthni, ath-Thahawi, al-Baihaqi, dan yang lainnya, dengan sanad mereka dari Abu Ja’far ar-Razi, dari ar-Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik –رضي الله عنه-
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهُ، فَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتْ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Nabi –صلى الله عليه وسلم- qunut selama sebulan, mendoakan musibah terhadap mereka (suku Ri’il dan Dzakwan) kemudian beliau meninggalkannya. Adapun pada salat subuh beliau senantiasa melakukan qunut sampai meninggal.”
Hadis ini dihukum sahih oleh Imam al-Hakim sebagaimana dinukil oleh Imam al-Baihaqi, disahihkan juga oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’ (ia juga menyebutkan bahwa beberapa huffazh juga menghukum hadis ini sahih, termasuk diantaranya Imam Abu Abdillah al-Balkhi), Imam Ibnu Daqiq al-‘Ied, Imam Ibnu al-Mulaqqin (guru Imam Ibnu Hajar) dan lain-lain. Imam al-Haitsami setelah mencantumkan hadis ini dalam kitabnya Majma’ Zawaid berkata: “Para rawinya dinilai tsiqah”.
Adapun ulama yang secara tegas menghukumnya sebagai hadis yang dhaif (lemah) adalah Imam Ibnu al-Jauzi, Ibnu at-Turkmani, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Juziyyah. Adapun Imam az-Zaila’i dalam Nashbur Rayah dan Ibnu Hajar dalam Talkhis Habir, tidak secara tegas menghukum hadis ini lemah.
Ulama hadis kontemporer yang menjadi rujukan utama oleh teman-teman salafi dimana penilaiannya terhadap hadis selalu menjadi acuan utama mereka yaitu Syekh Albani –رحمه الله- secara tegas mengatakan bahwa hadis ini munkar. Alasannya karena di dalam sanad hadis ini terdapat rawi bernama Isa bin Mahan, kun-yahnya Abu Ja’far ar-Razi. Ia dinilai sebagai rawi yang lemah oleh banyak ahli jarah wa ta’dil. Di samping itu, hadis ini bertentangan dengan hadis-hadis lain yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tsiqah. Oleh karena itulah hadis ini dikatakan sebagai hadis munkar. Ini bisa dilihat dalam bukunya Silsilah Ahadits Dha’ifah (III/384 nomor hadits 1238).
Baca Juga: Ragam Bacaan I’tidal dalam Salat
Karena sahabat kita tadi hanya menukil dari Ust Yazid Jawwas, dan Ust Yazid pun hanya menukil dari Syekh Albani (beliau menyebutnya sebagai Imam Albani), maka kita akan lewati dua orang ini dan langsung ke ‘sumber masalah’.
Untuk membuktikan bahwa Abu Ja’far ar-Razi ini adalah rawi yang lemah, Syekh Albani menukil keterangan Ibnu Turkmani tentang jarah (sisi lemah) Abu Ja’far ar-Razi yang dinukilnya dari Imam Ahmad dan an-Nasa`i , keduanya berkomentar: ليس بالقوي “ia bukan seorang yang kuat hafalannya”. Kemudian ia juga menukil dari Imam Abu Zur’ah, ia berkata: يهم كثيرا “ia banyak salah”, dari al-Fallas, ia berkata: سيء الحفظ “hafalannya buruk”, dan dari Ibnu Hibban ia berkata: يحدث بالمناكير عن المشاهير “ia menyampaikan hadis-hadis yang munkar dari rawi-rawi terkenal.”
Syekh Albani juga menukil dari Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya Zadul Ma’ad dari Imam Ali bin al-Madini bahwa ia berkata: كان يخلط “ia sering lupa ingatan.”
Di bagian akhir, Syekh Albani menyebutkan sosok Abu al-Hasan al-Karaji, seorang ulama bermazhab Syafi’iyyah yang tidak melakukan qunut (kisahnya juga saya cantumkan dalam tulisan sebelumnya), lalu beliau berkata, “Sikap Abu al-Hasan ini (dengan tidak melakukan qunut) menunjukkan bahwa ia seorang yang berilmu dan objektif, dan ia termasuk orang-orang yang diselamatkan Allah –سبحانه وتعالى- dari fanatisme mazhab.”
Seolah-olah Syekh Albani –عفا الله عنه وسامحه- ingin mengatakan bahwa orang-orang yang tetap mengamalkan qunut (tak terkecuali ulama sekelas Imam Nawawi, Imam as-Subki dan lain-lainnya), bukanlah orang yang berilmu dan objektif, dan mereka adalah orang-orang yang fanatik terhadap mazhab.
Kita kesampingkan dulu ‘tuduhan berani’ tanpa dasar Syekh Albani terhadap para ulama yang berpendapat bahwa qunut subuh adalah sunah bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak berilmu dan objektif. Kita kembali kepada pokok permasalahan, benarkah hadis tersebut adalah hadis yang lemah?
Kita sudah lihat bahwa inti masalahnya terdapat dalam status rawi yang bernama Isa bin Mahan yang berkun-yah Abu Ja’far ar-Razi. Kita juga sudah lihat bagaimana Syekh Albani menukil dari banyak ulama hadis sisi jarah yang dialamatkan kepada sosok Abu Ja’far ar-Razi.
Saya bisa mengatakan di sinilah problem utama dalam penilaian Syekh Albani terhadap seorang rawi, khususnya dalam kasus Isa bin Mahan Abu Ja’far ar-Razi. Beliau hanya menukil sisi jarah terhadap si rawi saja dan tidak menukil sisi ta’dil-nya. Padahal, kalau mau objektif, semestinya beliau menukil kedua-duanya; jarah dan ta’dil.
Lebih parahnya, ketika menukil jarah tentang Abu Ja’far ar-Razi dari para ulama jarah wa ta’dil, beliau tidak menukilnya secara utuh, melainkan bagian yang menguatkan asumsinya saja bahwa Abu Ja’far ini memang seorang yang dha’if. Padahal beliau tentu tahu, bahwa pendapat seorang ahli jarah wa ta’dil tentang seorang rawi bisa jadi tidak hanya satu tapi mungkin beragam, sesuai riwayat kepada sang ahli. Imam Yahya bin Ma’in misalnya, pendapat-pendapat beliau tentang seorang rawi ada yang datang dari riwayat ad-Duri, ada dari ad-Darimi, ada juga yang datang dari Ibnu Muhriz, dan masing-masing riwayat itu boleh jadi berbeda-beda.
Ini terkait erat dengan amanah dalam menukil pendapat seorang ulama. Untuk membuktikan hal ini mari kita perhatikan penjelasan berikut.
Syekh Albani menukil dari Ibnu al-Qayyim dari Imam Ali bin al-Madini komentarnya tentang sosok Abu Ja’far ar-Razi dengan mengatakan : كان يخلط “ia sering lupa ingatan.” Padahal sebenarnya Ibnu al-Madini mengatakan: ثقة كان يخلط “ia tsiqah, sering lupa ingatan“ seperti yang dinukil Imam adz-Dzahabi dalam Mizan I’tidal. Kenapa komentar Imam Ali bin al-Madini bahwa Abu Ja’far ar-Razi juga tsiqah tidak dinukilkan? Apakah memang ada kesengajaan untuk mengabaikan kalimat itu guna mempertahankan hipotesanya bahwa Abu Ja’far ar-Razi memang seorang yang lemah?
Di samping itu, Syekh Albani juga mengabaikan tawtsiq yang disampaikan oleh banyak para ulama jarah wa ta’dil yang lain. Diantara ulama jarah wa ta’dil yang menilai Abu Ja’far sebagai rawi yang tsiqah adalah Imam Yahya bin Ma’in, Abu Hatim ar-Razi, Ibnu ‘Adiy, al-Maushiliy, al-Hakim, dan Ibnu Abdil Barr (Silahkan lihat Tarikh ad-Duri ‘an Ibn Ma’in IV/358, al-Kamil fi adh-Dhu’afa` II/243, Mizan al-I’tidal III/320, Lisan al-Mizan VII/457 dan Tahdzib at-Tahdzib XII/57).
Setiap pelajar hadis tentu tahu bagaimana ketatnya (tasyaddud) Imam Yahya bin Ma’in dan Imam Abu Hatim ar-Razi dalam masalah rijal. Kalau mereka sudah mengatakan seorang rawi tsiqah, maka dugaan terkuat rawi tersebut memang tsiqah.
Imam Ibnu ‘Adiy yang termasuk ketat dalam masalah rijal, juga mengatakan:
لأبي جعفر الرازي أحاديث صالحة مستقيمة يرويها وقد روى عنه الناس وأحاديثه عامتها مستقيمة وأرجو أنه لا بأس به
“Abu Ja’far ar-Razi memiliki hadis-hadis yang baik dan lurus yang ia riwayatkan dan diriwayatkan banyak orang darinya. Rata-rata hadisnya lurus, dan saya berharap ia tidak apa-apa.”
Kalau begitu, kenapa sebagian ulama hadis menilainya lemah? Di sinilah diperlukan ketelitian dalam mengaji seorang perawi hadis. Jika dicermati lebih seksama komentar para ahli jarah wa ta’dil, kita akan melihat bahwa ternyata Abu Ja’far ar-Razi dinilai sebagai rawi yang lemah, sering salah, dan pernah lupa ingatan dalam konteks periwayatannya dari Mughirah.
Ini tampak jelas dari apa yang dinukil Ibnu Hajar dalam Tahdzib at-Tahdzib dari Imam Yahya bin Ma’in:
قال الدوري عن ابن معين ثقة وهو يغلط فيما يروي عن مغيرة
“Ad-Duri menukil dari Ibnu Ma’in: (ia) tsiqah, tapi sering salah dalam hadis yang diriwayatkannya dari Mughirah.”
Juga yang ia nukil dari Imam Ali bin al-Madini:
وقال عبد الله بن علي بن المديني عن أبيه هو نحو موسى بن عبيدة وهو يخلط فيما روى عن مغيرة
“Abdullah bin Ali bin al-Madini, dari ayahnya (Ali bin al-Madini) ia berkata: Ia (Abu Ja’far ar-Razi) sama dengan Musa bin Ubaidah, sering lupa dalam hadis-hadis yang diriwayatkannya dari Mughirah.”
Karena itulah, di dalam kitabnya yang sangat monumental; Taqrib at-Tahdzib, Ibnu Hajar menyimpulkan status Abu Ja’far ar-Razi dengan kalimat:
صدوق سيء الحفظ خصوصا عن مغيرة
“Ia jujur, hafalannya buruk terutama (dalam riwayatnya) dari Mughirah.”
Jelaslah bahwa sisi jarah (lemah) yang ditujukan kepada sosok Abu Ja’far ar-Razi adalah hadis-hadis yang diriwayatkannya dari Mughirah. Sementara hadis tentang qunut yang kita bahas di sini diriwayatkannya dari ar-Rabi’ bin Anas, bukan dari Mughirah.
Setelah ini semua, apakah masih mudah kita mengatakan bahwa hadis yang dipakai para ulama Syafi’iyyah tentang qunut terus-menerus adalah lemah, dan dengan begitu berarti amalannya bidah? Apakah masih berani kita mengatakan bahwa orang yang melakukan qunut secara terus-menerus adalah pelaku bidah, dan dengan demikian mereka termasuk golongan kiri dan kelak akan menjadi penghuni neraka?
سبحانك هذا بهتان عظيم
Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima sumbangan tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com
Leave a Review