Identitas merupakan salah satu bentuk ciri atau tanda pengenalan eksistensi, dimana ciri-ciri tertentu tersebut seseorang ingin dikenal oleh yang lain dan yang lain pun dapat mengenali seseorang tersebut. Hal serupa tentu juga berlaku dalam bentuk skala yang lebih besar seperti kebudayaan masyarakat, berdasarkan tradisi yang ada di dalamnya. Bila dikaitkan dengan ranah alam Minangkabau, maka budaya yang inherent dengan kehidupan masyarakat dapat dipandang sebagai salah satu bentuk yang khas dari sebuah identitas, ketika ia membumi dalam beragam bentuk tradisi. Namun sayangnya ketika “Minangkabau” berperan sebagai sebuah identitas yang mengejawantah dalam bentuk budaya atau tradisi tersebut, ia acapkali cenderung menjadi pemerkosa, pencabulan, yang dalam bahsa ilmiah bersifat eksklusif, pasif, serta destruktif.
Bentuk “pencabulan” atau eksklusivitas tradisi Minangkabau yang terlabelkan dalam slogan “adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” atau “agama mangato adaik mamakai” dipahami secara keliru dengan membuat penampilan yang berbeda (ekstrim) ketika berada didalam lingkungan orang-orang yang tidak biasa melihat dan mengerti arti dari identitas Minangkabau yang sesungguhnya. Sebagian dari masyarakat Minang berasumsi bahwa fashion yang sudah menjadi adat dan falsafah Minang tersebut bersifat sakral sebagai sebuah identitas.
Konsep masyarakat terbaik dijadikan klaim kebenaran yang terbentuk dalam pandangan slogan adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah tersebut. Dengan merasa paling benar, dan menganggap yang lain kurang benar, akan membangkitkan konflik karena timbulnya rasa tidak nyaman dikalangan masyarakat atau budaya lain. Pandangan seperti itu akan mengarahkan manusia pada pemikiran yang sempit, kerdil, dengan dalih mencari dan menemukan identitas yang sesungguhnya dari sebuah kebudayaan. Artinya ia akan beranggapan bahwa selain golongan yang tidak sepaham dengan kebudayaan mereka, harus diberantas dan dilenyapkan dari tanah yang katanya menjunjung tinggi adat dan agama.
Perda Syaraih, Antara Identitas dan Sakralitas
Masyarakat harus sebari di sajikan kesadaran, bahwa identitas kebudayaan Minangkabau – bahkan slogan adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sekalipun – yang termanifestasikan ke dalam syara’ mangato adaik mamakai, merupakan proses panjang hasil akulturasi antara adat dan agama di ranah alam Minangkabau. Islam sebagai sebuah agama memang memiliki andil dalam proses pembentukan identitas budaya Minagkabau, namun bukan berarti secara otomatis identitas masyarakat Minang, yang terakumulasi ke dalam sebuah kebudayaan menjadi patokan otoritatif identitas Islam, dengan bergegas membuat dan mensyahkan Perda Syariah di ranah minang. Sebab dalam pemikiran saya – dan dari berbagai diskusi yang membahas tentang Perda Syariah di Surau Tuo Yogyakarta, memberi sinyal negatif dan positif dalam proses konstruksi atau rekonstruksi identitas Minangkabu.
Untuk kedepan bisa jadi dengan disahkannya beragam peraturan daerah, terkhusus menyangkut Perda Syariah, akan mempertontonkan jamaknya masyarakat Minangkabau yang menjadi PSK di negeri sendiri, menjadi guru ngaji yang suka mencabuli muridnya, serta menjadi bapak yang acapkali melahap anak kandung sendiri yang masuk perangkap Perda. Sehingga media massa sebagai power dunia ketiga pun tidak tinggal diam dalam mengekspos dan memberitakan maraknya prostitusi di ranah Minang. Pada konteks ini semua orang terdiam dan membisu, termasuk yang pro dan kontra tentang keberadaan Perda Syari’ah, yang pada kahirnya mancabiak baju didado, dengan memperceraikan identitas budaya Minangkabau itu sendiri. Artinya untuk menemukan eksistensi sebenarnya dari identitas kultural Minangkabau, tidak semudah membalikkan telapak tangan, dengan membuat beragam Perda, semisal Perda Syariah. Dibutuhkan proses (being qua process) yang panjang dan pemikiran yang matang, guna menggali, agar identitas tersebut tidak mudah terkoyak dan di cabik oleh kebudayaan lain.
Alam Takambang Jadi Guru, “Yes” Alam Takambang Jadi Asbak, “No”
Secara kultural penulis setuju dengan filosofi adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, dimana bahwa syara’ mangato adaik mamakai hanya akan bermakna jika dilanjutkan dengan tindakan. Dengan begitu, identitas kultural Minangkabau dapat dikatakan bermakna ketika terjadi sebuah proses yang menjamin ter-transformasikannya kebaikan, keadilan, dan kesejahteraan sosial di tengah masyarakat. Selain itu, ketika terdapat pertanyaan, Identitas kebudayaan Minangkabau dibangun atas dasar apa? Maka jawaban sederhana penulis adalah atas dasar filosofi alam takambang jadikan guru, dan kearifan lokal, yang berarti (ilmu) dan tindakan (amal), karena identitas tercermin dalam keilmuan dan tindakan tersebut.
Namun yang sangat disayangkan adalah kaitannya dengan masalah identitas itu sendiri di Minangkabau, dimana sekalipun doktrin agama Islam tidak pernah absen dalam proses pembentukan kebudayaan Minang, tapi aktualisasinya dalam berbagai dimensi kehidupan tidak selalu menjadi kenyataan. Keikutsertaan Islam belum tentu terkait dengan perilaku masyarakat dalam kiprah kesejarahannya. Dengan kata lain, Islam dapat saja menjadi proses sejarah menjadi Minangkabau yang mandul. Sebab konteks sejarah awal, filosofi Alam takambang jadi guru merupakan kekuatan penggerak sejarah yang dahsyat, yang lebih bisa dan meyakinkan keberadaannya sebagai salah satu ciri Minangkabau, ketimbang syara’ mangato adaik mamakai. Kekuatan yang ada dalam filosofi alam takambang jadi guru bukan untuk menghancurkan kebudayaan dan keberadaan orang lain, tapi untuk mengarahkannya kepada tujuan dan nilai kemanusiaan yang berbudi luhur.
Akan tetapi dipihak lain, saat ini masyarakat Sumatera Barat yang tercaver dalam “urang awak” dihadapkan dengan pilihan yang sulit antara identitas pluralistik (seperti “Nasionalis” atau “Sosialis”) dengan identitas Islam yang kaaffah. Kedua kecenderungan identitas tersebut, sama-sama memiliki resiko komulatif dalam proses pencarian eksistensi yang sesungguhnya dari sebuah kebudayaan. Identitas pluralistik memiliki resiko terjerumus pada banyaknya melakukan akomodasi dengan unsur-unsur lain yang pada akhirnya aspek kultural Minangkabau yang unik dan khas itu hilang dan identitas bisa menjadi semakin tidak manusiawi dan Minangi. Disisi lain, kecenderungan monolitik untuk menegaskan kembali nilai-nilai Islam ke dalam draft peraturan daerah hanya akan mengalienasi masyarakat lemah dan kecil, semisal masyarakat non-Minang, non-Islam, tetapi mereka berdomisili di ranah alam Minangkabau. Bila ada dari masyarakat yang terisolasi dari keberadaan sebuah peraturan, maka gebrakan tersebut akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan beragam gesekan dan perasaan, serta bersifat eksklusif, yang amat dimungkinkan lahirnya sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu di Minangkabau. Hal tersebut dibuktikan dengan sejarah kultural Minangkabau yang selalu ada konflik internal dan eksternal dalam proses mentransformasikan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas, seperti Perang Paderi yang meninggalkan luka sejarah traumatis di tengah masyarakat Minang hingga sekarang. Apalagi tantangan pada saat ini dalam menemukan identitas bisa menyebabkan pudarnya rasa saling memiliki terhadap kultural Minangkabau hingga merambah dalam ranah konflik sosial, jika setiap pengambilan kebijakan tidak akomodatif dan transparan.
Sedangkan penyusupan nilai-nilai Islami kedalam identitas kultural Minangkabau, secara ilmu politik merupakan bentuk identitas tersamar, dengan pengertian bahwa meski tidak sepenuhnya “Islam”, namun dapat diketahui berdasarkan tindakan politik bahwa pada dasarnya yang diusung adalah nilai-nilai (idea-moral) Islami. Dan belakangan ini, pasca otonomi daerah diberlakukan di Indonesia tahun 1999, pemerintah daerah Sumatera Barat pun sibuk mencari dan membentuk beragam peraturan daerah, tak terkecuali dengan peraturan yang berlabelkan agama Islam, yang termaktub dalam Perda Syariah. Usaha identitas Islam ditampilkan secara jelas, akan tetapi dibalik identitas tersebut tersembunyi ambisi politik untuk meraih tujuan tertentu demi melanggengkan legitimasi kekuasaan dan kesenangan diri. Sehingga jika itu yang terjadi, Islam sebagai identitas hanya dijadikan sebagai kendaraan tunggangan untuk dapat mencapai kepentingan, yang sekaligus identitas kultural Minangkabau ikut tercerabut keberadaannya ulah kurang dewasa berpikir dalam transformasi nilai-nilai Islami dan kemanusiaan kepada masyarakat. Dengan begitu, dapat terlihat bahwa problem utama yang terjadi dengan identitas kultural Minangkabau adalah ketika identitas tersebut dijadikan sebagai jembatan bagi kehidupan bermasyarakat.
Oleh karenanya, hal yang sangat penting yang perlu diperhatikan untuk memahami adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah dalam menentukan identitas kultural Minangkabau, selain bersumber pada alam takambang jadikan guru, juga yang tidak boleh terlupakan adalah kesadaran kearifan lokal. Alam takambang jadikan guru yang dimaksudkan disini adalah satu sisi dapat dipandang sebagai kesadaran manusia terhadap Tuhan sebagai pencipta alam secara vertikal dan horizontal. Dalam tataran vertikal, manusia sadar akan kehambaannya di hadapan Tuhan yang berada dalam kawasan transendental, sehingga ia tidak akan sombong diri dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Dengan kata lain, ada kontrol diri dalam semua perbuatannya karena sadar akan keberadaan Tuhan sebagai Khaliq. Sedangkan secara horizontal, mugi-mugi (diharapkan) manusia sadar akan fungsi dirinya sebagai khalifatullah di muka bumi ini untuk menyebarkan kebaikan dan kasih sayang untuk seluruh umat manusia dan alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Kesadaran kearifan lokal dimaksud adalah bahwa adanya identitas kultural Minangkabau tidak disalahpahami sebagai sebuah perbedaan eksklusif dan kekerasan dari budaya lain. Artinya masyarakat minang menurut perspektif penulis perlu mendulang kembali empat prinsip filosofi yang mungkin bisa mengantarkan kepada kearifan lokal tersebut, yaitu identitas kultural bersifat humanis yang disertai kesadaran egaliter, inklusif yang diikuti oleh kesadaran empatik, pluralis yang memiliki kesadaran multikultural, dan liberatif yang diiringi oleh kesadaran inovatif. Dengan begitu, Minangkabau sebagai identitas kultural akan menampakkan wajahnya yang ramah dan tidak lagi tampil dengan wajah suram. Sehingga segala bentuk identitas kultural yang ada….mau… dan akan…. dalam masyarakat dapat direalisasikan secara konstruktif, yang merupakan modal dasar untuk mengukuhkan identitas kultural Minangkabau kedepan. Semoga!
Bahan Pertimbangan
Abdullah, Taufiq, Adat dan Islam: An Exmanation of conflik in Minangkaba,Ithaca, Ny Cornel University Press, 1999.
Althuser, Louis, Essays on Ideology, London, Verso, 1984
Hakimy, Idrus, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, Bandung, Remaja Karya, 1978
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1985
Kuntowijoyo, Identitas Politik Masyarakat Islam, Bandung : Mizan, 1997
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam: Kekuatan dan kegamangan Masyarakat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997
Misrawi, Zuhairi dan Novrianto. Doktrin Islam Progresif; Memahami Islam sebagai Ajaran Rahmat, Jakarta: LSIP, 2004
Navis, A.A, Alam Takambang Jadi Guru: Adat Kebudayaan Minangkabau, Jakarta, Grafiti Press, 1984
Perdue, D Williem, Sociological Theory Explanation, Paradigm and Ideology, California, Mayfield Publishing Company Palo, 1986
**Tulisan Ini pernah dimuat di Jurnal Guridam Surau Tuo tahun 2007. Dimuat di web ini alasan pendidikan.
Leave a Review