Raba’a atau hari Rabu terakhir di bulan Sapa (sapar) memiliki ciri khusus bagi sebagian kecil masyarakat muslim Indonesia. Ditandai dengan adanya ritual-ritual khusus yang dilakukan pada hari itu. Di Jawa misalnya, hari Rabu terakhir pada bulan Syafar ditandai dengan sebuah ritual yang mereka sebut dengan “Rebo Wekasan”. Beberepa upacara keagamaan dilakukan pada hari itu seperti selametan, makan tumpeng, puasa, salat sunnah, dan lain sebagainya.
Biasanya, ritual-ritual ini lazim terjadi di masyarakat muslim yang mendapati agama Islamnya melalui proses akulturasi, atau peleburan Islam dengan budaya setempat (animisme dan dinamisme). Ritual-ritual itu dilaksanakan sebagai bentuk penerjemahan atas hadis Nabi dan pendapat ulama yang mengatakan bahwa ada ribuan bahkan jutaan bala yang turun pada hari Rabu terakhir bulan Syafar. Sehingga, dibutuhkan ritual-ritual khusus untuk menolak bala tersebut.
Tak hanya di Jawa, ritual khusus pada hari Rabu terakhir bulan Syafar ini juga ada di Minang, namun sedari awal masyarakat Minang memang tidak memberi nama khusus untuk hari dan ritual yang mereka lakukan saat itu. Sesedikit pengetahuan Saya, ritual itu diselenggarakan di Minang oleh pemeluk ajaran tarekat Syathariyah. Indikasinya, sebagaimana yang diceritakan guru Saya, Syekh Zulhamdi Tuangku Kerajaan nan Saliah bahwa yang mempopulerkan ritual Rabu ini adalah Syekh Aminullah Mato Aie. Hal tersebut beliau lakukan karena menurut beliau bahwa pada hari Rabu tersebut ada 12.000 bala yang turun dengan cara; Setan-setan meracuni seluruh hulu air yang akan digunakan manusia.
Untuk menangkal bala tersebut, menurut sejarahnya Syekh Aminullah Mato Aie juga mengajak jamaah kala itu untuk melakukan tindakan preventif dengan cara menyetok air sejak hari selasa untuk keperluan hari Rabu sampai Kamis. Menurut beliau hal itu dilakukan agar sedapatnya masyarakat menghindar dari menggunakan air pada hari Rabu itu. Lalu beliau juga mengajak masyarakat untuk libur bekerja di sawah, ladang, sungai, laut, dll. pada hari itu.
Tak hanya itu, beliau juga memberi jalan keluar bagi orang yang tidak bisa menghindar dari air pada hari Rabu itu. Yaitu dengan cara menenggelamkan kertas yang bertuliskan 7 ayat yang diawali lafal “Salamun” ke dalam tempat-tempat air yang akan digunakan, dilakukan dengan cara diiringi bacaan-bacaan lain seperti salawat dan doa pada hari Selasa malam (Malam Rabu). Disinyalir hal ini juga banyak diamalkan oleh para ulama sebelum dan sesudah beliau di seluruh dunia.
Selanjutnya beliau juga menganjurkan untuk melakukan salat sunnah mutlak 4 rakaat dengan tata cara pelaksanaan sebagaimana yang diajarkan Syekh Al-Dairabi yang juga diamalkan oleh kebanyakan orang pada hari itu. Yaitu dengan cara membaca surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, dan Mu’awwizatain masing-masing 1 kali di tiap-tiap rakaat. Lalu setelah itu beliau juga menganjurkan untuk melakukan salat sunnah mutlak lagi 6 rakaat dengan cara membaca Ayat Kursi dan Surat Al-Ikhlas di setiap dua rakaatnya.
Juga terkait dengan Rabu yang banyak bala itu, salah satu ulama Syathariyah lain juga melaksanakan ritual khusus. Yakni Buya Ungku Saliah Karamat. Di zaman kehidupannya beliau mengajak murid dan jamaahnya untuk melakukan “Basapa” (Bersafar) di Makam Syekh Burhanudin Ulakan pada hari Sabtu terakhir bulan Syafar. Hal itu beliau lakukan karena menggabungkan dua ritual khusus sekaligus; Basapa dan Tolak Bala Rabu terakhir bulan Syafar.
Basapa adalah sebuah ritual yang dijadikan sebutan untuk prosesi ziarah di Makam Syekh Burhanuddin. Awalnya dilakukan di seluruh hari sepanjang tahun, namun pada tahun 1316 H, ulama-ulama tarekat Syathariyah se-Minangkabau sepakat untuk melaksanakannya pada hari Rabu setelah tanggal 10 Syafar. Tanggal itu dipilih juga untuk memperingati Haul Syekh Burhanudin. Seiring berjalannya waktu dan meningkatnya populasi, para ulama merasa perlu untuk membagi prosesi Basapa menjadi dua gelombang. Sehingga Rabu setelahnya dipilih sebagai hari pelaksanaan Basapa gelombang kedua. Jika yang pertama disebut Basapa Gadang, maka yang kedua disebut dengan Basapa Ketek.
Namun uniknya, Buya Ungku Saliah memilih hari yang berbeda lagi dari kedua hari itu, beliau memilih hari Sabtu terakhir bulan Syafar. Dalam rangkaian kegiatannya pun beliau berbeda, khusus untuk Basapanya Buya Ungku Saliah, selain berziarah di makam, beliau mewariskan ritual menyembelih Kerbau untuk menebus kesalahan kepada Syekh Burhanudin, dan tolak bala di komplek makam dengan cara membaca Ratibul Haddad bersama-sama. Untuk yang terakhir ini tidak ditemukan dalam prosesi Basapa lainnya. Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan beliau memilih seperti itu; (1) karena beliau meyakini bahwa Sabtu adalah hari Bersatu, dan (2) karena ingin mendekati hari Rabu terakhir bulan Syafar yang diyakini banyak bala, sehingga harus dilaksanakan tolak bala pada hari yang diyakini baik dan dekat dengan Rabu terakhir.
Terlepas dari segala bala yang ada pada hari Rabu, toh para ulama telah mendesain sedemikian rupa baiknya ritual-ritual penangkal bala tersebut. Sehingga satu-satunya bala Rabu yang belum ada penangkalnya sampai sekarang adalah RABU = Rasanya Aku Butuh kamU.
Ringan-ringan,
Rabu Terakhir Safar 1444 H
Foto: Nurul Yaqin El Imrany
Leave a Review