Pertalian Adat dan Syarak
Ketika bersilaturahimi dengan salah seorang buya muda pengamal tariqah Naqsyabandi dan peminat kajian filologi, saya berkesempatan mendengar uraian beliau tentang besarnya semangat orang-orang muda di daerahnya untuk belajar tariqat. Buya muda ini tinggal di salah satu nagari yang terkenal banyak melahirkan ulama tariqah di Kab. 50 Kota. Dia mencermati perkembangan mutakhir dunia pendidikan, terutama pendidikan Islam di daerahnya. Di sana belakangan ini banyak berdiri sekolah-sekolah “Islam Terpadu” dengan haluan paham yang berbeda dari haluan pendidikan agama Islam yang lebih awal berkembang di sana. Di sekolah-sekolah ini para murid dididik dengan kurikulum mutakhir sekaligus dibekali dengan disiplin dan aturan khas pesantren modern. Mereka harus menghapal al-Quran, shalat berjamaah, belajar Bahasa Arab untuk percakapan, dan sebagian besar harus tinggal di asrama. Meski perkembangan lembaga pendidikan Islam modern ini demikian pesat di daerah itu, namun minat kalangan muda dengan rentang usia 20-40 tahun untuk belajar tariqah di surau-surau yang lebih “tradisional” dibanding sekolah-sekolah terpadu tadi tetap besar.
Buya ini menjelaskan pengamatannya tentang alasan orang muda mau belajar di surau-surau itu. Mereka ingin belajar agama meski sedang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan umum yang disediakan negara atau swasta, atau bahkan sudah bekerja di berbagai sektor. Di surau-surau itu mereka belajar pada seorang “inyiak” surau (kiai-nya) tentang amalan-amalan zahir ibadah sehari-hari lewat pembacaan kitab-kitab fiqh standar tentang amalan-amalan batin lewat tariqat. Selain alasan belajar ilmu agama, mereka juga ingin mempelajari ilmu dan keterampilan yang tidak selalu bisa dibicarakan dan dibuka secara terang-terangan di depan publik. Ilmu dan keterampilan ini misalnya silat, ilmu kanuragan, ilmu pengobatan tradisional untuk penyakit zahir dan batin. Istilah sehari-hari untuk jenis ilmu dan keterampilan ini adalah ilmu pamaga badan (ilmu pembentengi diri).
Bagi Buya yang saya temui sebagai teman sekaligus guru tersebut, tidak ada kekhawatiran bahwa khasanah pengetahuan yang sudah berkembang di masyarakat Minangkabau di daerahnya akan tergusur oleh khasanah pengetahuan baru yang dibawa oleh sekolahsekolah mentereng yang muncul belakangan. Dari pembicaraan dengan dia, tidak sedikit pun muncul pendapat dan pernyataannya yang menunjukkan bahwa ada pertentangan antara ilmu agama Islam di satu sisi dengan ilmu/keterampilan yang bukan Islam seperti ilmu “ambuih-ambuih” (ilmu hembus-hembus. Disebut demikian karena salah satu ritual yang harus dilakukan berdasarkan ilmu jenis ini adalah menghembuskan napas/meniup obat yang telah dirapali doa dan mantra sebelum diberikan kepada si sakit). “Bagi mereka yang belajar ilmu agama ke surau, tidak ada pertentangan antara keduanya. Adat dan syarak itu tidak bisa dipisahkan. Saya berkeyakinan demikian, karena guru-guru sayalah yang mengajarkan. Sanad keilmuan agama saya bersambung dengan inyiak-inyiak, buya-buya, ulama-ulama dulu yang ahli agama sekaligus ahli adat,” kata Buya ini menegaskan.
Surau adalah lembaga penting dalam transformasi pengetahuan keagamaan Islam di Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau surau adalah tempat di mana orang belajar agama Islam dan sekaligus belajar adat.
Cerita singkat di atas adalah cuplikan dari suatu gambaran umum tentang kondisi keberagamaan di Minangkabau. Dari berbagai literatur yang ada, surau adalah lembaga penting dalam transformasi pengetahuan keagamaan Islam di Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau surau adalah tempat di mana orang belajar agama Islam dan sekaligus belajar adat. Inilah fungsi utama surau, setidaknya di masa lalu1. Sedangkan masjid, yang dalam bahasa sehari-hari sering disebut dengan “sidang” berfungsi sebagai tempat untuk membahas hal-hal yang lebih umum dan menyangkut kepentingan bersama. Makanya diistilahkan dengan “sidang”, karena masjid sering dipakai untuk memusyawarahkan masalah-masalah bersama selepas salat Jumat. Dalam keseharian, adalah hal yang biasa misalnya seorang ibu berkata pada anaknya “Pai lah lai ka surau mangaji” (Berangkatlah ke surau untuk mengaji) di mana mengaji di sini yang dimaksud adalah belajar membaca al Quran. Dalam kesempatan lain, biasa pula kita jumpai percakapan antaribu-ibu yang bertanya pada sesamanya “Bilo wak mangaji lai di surau” (Kapan kita mengaji lagi di surau?) di mana yang dimaksud mengaji di sini adalah mendengarkan ceramah dari inyiak surau atau buya yang didatangkan dari luar kampung. Di lain kesempatan pula, para pemuda biasa mempercakapkan soal pelajaran silat atau pelajaran keterampilan pasambahan (pepatah-petitih adat yang dipakai dalam kesempatan-kesempatan formal seperti acara pernikahan dan kematian) yang mereka pelajari di surau.
Gambaran umum ini sama sekali tidak memperdengarkan adanya pertentangan antara apa yang disebut dengan pelajaran-pelajaran agama Islam dan pelajaran-pelajaran adat. Sebab dalam konteks praktik, keduanya sudah membaur begitu rupa. Ketika seorang Minang melakukan suatu tindakan positif (tidak bertentangan dengan nilai yang berlaku di lingkungannya), dia akan kesulitan menjelaskan apakah tindakan itu berdasarkan ajaran Islam atau ajaran adat.
Bagi orang Minang, setidaknya bagi saya, patokan yang diajarkan paling awal untuk menjalani hidup adalah adat. Di sini adat adalah takaran patut-tidaknya suatu tindakan berdasarkan alua jo patuik (asas prosedural dan asas kepatutan). Ada kalanya suatu tindakan sudah sesuai alur (prosedur), namun tidak patut, maka tindakan itu tidak pantas menurut adat. Sebaliknya, ada kalanya suatu tindakan sudah sangat patut, namun karena tidak mengikuti prosedur, dia juga keliru menurut adat. Inilah yang jadi bekal awal seorang Minang menjalani hidup sehari-harinya, baik di kampung maupun di rantau. Ini berarti yang dimaksud dengan adat di sini bukanlah hukum dan aturan yang terkodifikasi secara Formal seperti regulasi-regulasi yang dapat dilihat dalam arsip Lembaran Negara.
Dalam proses transformasi nilai oleh masyarakat maupun oleh keluarga kepada seseorang, ajaran Islam atau hukum-hukum seperti yang ada dalam khasanah fiqh tidak disebut secara eksplisit, karena dia sudah inheren dalam transformasi pengetahuan adat dalam pengertian alua jo patuik tadi. Dalam pandangan orang Minang, tindakan menyalahi adat yang dilakukan seorang laki-laki Minang, misalnya tidak menjaga kehormatan saudara perempuan dengan membiarkannya bebas ditemui oleh teman laki-lakinya atau tidak peduli dengan pendidikan kemenakan (anak saudara perempuan), adalah otomatis juga menyalahi ajaran Islam. Seorang laki-laki Minang yang menggebuki teman cowok saudara perempuannya karena berteman dengan cara yang menyalahi alur dan patut tidak akan bisa menjelaskan alasannya menggebuki si cowok itu, apakah karena ajaran adat atau karena ajaran Islam.
Ilustrasi-ilustrasi di atas ingin menyatakan bahwa dalam kehidupan nyata (wacana sehari-hari) masyarakat Minangkabau yang saya hayati, hubungan adat dan Islam tidak ada masalah. Keduanya dipandang berhubungan baik-baik saja.
Sekarang persoalannya adalah hubungan adat dan Islam ini ketika dibicarakan di wacana lain yang formal seperti wacana akademis dan politis, keduanya tidak sedang baik-baik saja.Dalam pembicaraan di wacana-wacana itu, keduanya bertengkar dan sampai saat ini tetap bertentangan. Hal ini akan langsung terasa dalam wacana akademis yang memakai perpektif historis.
Sampai di sini muncul pertanyaan mengapa di wacana-wacana formal, adat dan Islam dibicarakan sebagai dua hal yang bertentangan dalam masyarakat Minangkabau. Apa faktor-faktor yang melahirkan paradigma konflik yang mengerangkakan wacana formal ketika membicarakan adat dan Islam di Minangkabau? Dua pertanyaan ini akan saya coba jawab dengan lebih dahulu menjawab yang pertama karena lebih konkret.
Wacana formal dalam artian pembicaraan/pembahasaan yang memiliki bentuk-bentuk yang relatif teratur tentang hubungan adat dan Islam di Minangkabau sebagaimana yang ditemukan dalam wacana akademis mulai terbentuk sejak masyarakat Minangkabau kedatangan orang Barat. Pada mulanya mereka datang untuk berdagang, lalu memonopoli perdagangan, lalu berkuasa. Singkatnya, formalisasi hubungan seteru keduanya sebagai sebuah topik kajian disiplin akademis berawal dari proses pencatatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawai kolonial, entah itu pegawai administratif ataupun ahli-ahli ilmu tentang masyarakat yang di-“hire” oleh pemerintah kolonial, entah itu Belanda, Inggris maupun portugis. Pencatatan ini pada awalnya adalah perekaman atas segala sesuatu yang dilihat dan diamati oleh penjajah. Karena saat itu bentuk perekaman yang paling lazim adalah dalam bahasa verbal atau sketsa-sketsa, maka laporan-laporan mereka ke pusat otoritas baik di Nusantara maupun di Eropa biasanya berupa surat-surat, catatan lapangan, catatan harian dan lain-lain.
Berdasarkan catatan-catatan itulah kemudian segala sesuatu dipetakan. Analisis-analisis ilmiah maupun analisis kebijakan atas catatan-catatan itu memetakan berbagai macam hal mulai dari hubungan kekerabatan, kelembagaan-kelembagaan, mata pencaharian untuk memenuhi hajat hidup, hukum dan aturan, konflik-konflik kekuasaan, kepercayaan dan ekspresi seni, dan lain sebagainya. Tulisan-tulisan tentang Minangkabau yang terbit pada masa kolonialisme, sekitar awal abad 16 sampai Indonesia merdeka pada intinya berisi penggambaran dan pemetaan! Semua hal dideskripsikan dan dipetakan, baik yang zahir maupun yang batin. Misalnya buku J.C. Beelhouwers yang terbit 1841 berjudul Herinneringen van mijn verblijf op Sumatra’s Westkust guderende de jaren 1831-1834 (Kenangan-kenanganku Semasa Hidup di Pantai Barat Sumatera pada 1831-1834), buku William Marsden berjudul The History of Sumatera (terbit 1811), atau buku P.W. Korthals berjudul Topografische schets van een gedeelie van Sumatra (Sketsa Topografis Salah Satu Bagian Sumatra, terbit 1847).
Proses ini berlangsung terus menerus selama masa kolonisasi orang Barat, terutama Belanda, sehingga melahirkan tulisan-tulisan yang jadi babon. Tulisan-tulisan ini mau tak mau harus dirujuk oleh mereka yang ingin membahas Minangkabau, termasuk ketika ingin membahas apa yang jadi panduan orang Minangkabau dalam menjalani hidupnya. Dalam tulisan-tulisan tersebut terbacalah bahwa orang Minangkabau hidup dengan dua macam panduan, adat dan Islam, di mana menurut analisis para penulis tadi, keduanya bertentangan. Buku-buku babon itu mulai dari H.A. Steijn Parve berjudul De Secte der Padaries (Kaum Paderi,1853); L.C Westenenk berjudul De inlandsche Berstuurshoofden ter sumatra’s westkust (Kepemimpinan Pribumi di Pantai Barat Sumatera, terbit 1913) atau De Minangkabausche Nagari (Nagari di Minangkabau, terbit 1913), buku A.W.P Pistorius Verkerk berjudul Studien over de inlandsche huishouding in de padangsche bovenland (Studi atas Rumah Tangga Pribumi di Dataran Tinggi Padang, terbit 1871)2 sampai ke tulisan-tulisan yang lebih belakangan seperti karya B.O. Schrieke, Ph. S. van Ronkel, Josselin de Jong, dan masih banyak lagi.
Kolonialisme secara faktual adalah faktor terpenting dalam formalisasi wacana hubungan adat dan Islam di Minangkabau.
Kolonialisme secara faktual adalah faktor terpenting dalam formalisasi wacana hubungan adat dan Islam di Minangkabau. Proses formalisasi itu pada awalnya berlangsung demi kepentingan administratif, namun lambat laun berjalin berkelindan dengan kepentingan akademis-ilmiah. Dalam sejarah kolonialisme, hubungan saling menguntungkan antara kepentingan politik dengan akademis ini sudah tak bisa lagi dimungkiri. Diakui atau tidak, keduanya saling topang!
Faktor selanjutnya adalah peristiwa sejarah akibat perubahan sosial, baik karena perubahan situasi ekonomi maupun situasi politik-kekuasaan. Kedua situasi ini saling berkaitan sehingga mengatakan yang satu jadi penyebab yang lain selalu masih bisa diperdebatkan. Perubahan sosial-ekonomi akibat berkembangnya ekonomi uang, makin intensnya pergaulan masyarakat Minangkabau dengan masyarakat-masyarakat dari luar budayanya, membuat penguasa kolonial menetapkan kebijakan-kebijakan yang merugikan hajat hidup orang banyak. Keresahan sosial pun timbul dan kemudian dibungkus dengan konflik antarpandangan hidup. Inilah yang jadi pendapat Christine Dobbin dalam bukunya tentang Perang Paderi.
Di lain pihak, kebijakan politis penguasa kolonial juga menyebabkan keresahan sosial. Misalnya, pengoeloe ordinantie (peraturan tentang penghulu yang harus ada besluit [SK] dari pemerintah Belanda) atau guru ordonantie (peraturan tentang guru agama yang harus punya besluit). Kebijakan-kebijakan ini pertama-tama bukan diambil untuk mendamaikan adat dan agama maupun memperuncing konfliknya, melainkan untuk membuat patuh semua orang. Namun dampaknya adalah tatanan sosial-ekonomi yang sudah ada jadi goyang sehingga menimbulkan keresahan. Ada hak warga masyarakat yang dirampas dan ada pula keistimewaan yang muncul dari kebijakan ini, baik untuk pihak yang dianggap mewakili adat maupun yang mewakili kaum agama.
Faktor-faktor historis ini kemudian diamati, dicatat, dilaporkan dan dianalisis oleh para ahliahli colonial sehingga makin memantapkan pandangan mereka bahwa adat dan Islam adalah dua hal berbeda dan diametrikal di Minangkabau. Karena berbeda, masyarakatnya selalu berproses menyelaraskan keduanya.
Faktor kolonialisme dan faktor sosio-historis ini telah melahirkan berbagai teks yang begitu banyak. Kumpulan teks ini membentuk suatu formasi wacana, yakni kumpulan pernyataanpernyataan yang saling terkait secara mutualistik –baik saling mengafirmasi ataupun saling mengkritik. Kumpulan pernyataan ini melahirkan efek yang sama, yakni menyodorkan pemahaman kepada pembaca/pendengar bahwa adat dan Islam bersimpangan. Secara konkret di dalam praktik, terbentuknya formasi wacana itu terjadi melalui proses saling kutip dan saling rujuk.
Di lain pihak, selain dua faktor tadi, terdapat faktor ketiga yang juga bersifat faktual-historis, namun berlangsung dalam skala yang lebih luas. Kolonialisme dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi selama kolonialisme melahirkan proyek modernisasi dan purifikasi pemahaman keagamaan Islam di belahan dunia lain. Pengaruh gerakan ini terasa ke tengah masyarakat Minangkabau karena pergaulan dengan dunia luar, baik karena merantau semisal ke Makkah dan wilayah lain di Timur Tengah maupun karena terpapar melalui media cetak.
Kesan pertentangan adat dan Islam diperkuat di satu sisi dengan menyatakan keislaman yang berkembang di tengah masyarakat tidak lagi murni karena sudah bercampur dengan “kepercayaan dan peribadatan lokal”
Faktor modernisasi dan pemurnian ini mencapai puncaknya di awal abad kedua puluh di Minangkabau. Lewat faktor ketiga ini, wacana hubungan bersitegang antara adat dan Islam yang semula hanya pemetaan dan deskripsi sosiologis dan antropologis mendapat pasokan alat analisis baru yang intinya berpijak pada asumsi bahwa ada yang asli baik dalam hal adat maupun Islam. Kesan pertentangan adat dan Islam diperkuat di satu sisi dengan menyatakan keislaman yang berkembang di tengah masyarakat tidak lagi murni karena sudah bercampur dengan “kepercayaan dan peribadatan lokal”, dan di sisi lain praktikpraktik adat yang ada dianggap sebagai rekayasa kolonial dalam politik adu-dombanya.
Pendek kata, adat dan Islam yang berlaku di tengah masyarakat dipandang bukan yang sebenarnya. Oleh karena itu keduanya harus dibersihkan, diperbarui dan dimajukan.
Setelah uraian faktor-faktor penyebab munculnya formasi wacana yang mempertentangkan adat dan Islam di atas, berikut ini kita akan membahas pertanyaan mengapa wacana pertentangan itu yang muncul, mengapa bukan wacana asimiliasi, atau wacana di mana salah satu mengalahkan yang lain?
Pertentangan antara adat dan Islam muncul sebagai implikasi epistemik di tataran wacana. Wacana ini adalah hasil pencatatan kolonial atas perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Perubahan-perubahan sosial itu ditimbulkan oleh kolonialisme Belanda. Kehidupan masyarakat yang guncang akibat penjajahan melahirkan perseteruan berbagai pihak dan kepentingan dengan beraneka bungkus. Sistem pengetahuan di era-era awal penjajahan hanya memungkinkan pencatatan berdasarkan pemetaaan hitam-putih. Positivisme seperti inilah yang dengan gampang mendeteksi adanya perseteruan vis a vis antara adat dan Islam, antara kaum adat dan kaum ulama. Pemetaan, taksonomi, kategorisasi, dan formalisasi struktur adalah langkah analitik lanjutan dari penggambaran deskriptif yang lahir dari buah pena para pelancong, pegawai, ilmuwan pemerintah kolonial yang melakukan “riset lapangan.”
Catatan dan kajian-kajian awal para ahli kolonial tentang masyarakat Minangkabau adalah kajian-kajian rintisan yang kemudian menimbulkan hegemoni epistemik di tingkat wacana. Artinya, orang yang datang belakangan tidak dapat tidak harus berpikir, berbicara, membahas, menganalisa, berdebat melalui semacam pakem yang telah dicetuskan oleh para perintis ini.
Memang, kajian-kajian ilmiah mengalami perkembangan sedemikian rupa. Tidak mungkin wacana-wacana akademis yang membahas masyarakat Minangkabau masih sama dengan era abad 18 dan 19. Namun karena sifatnya yang hegemonik, pernyataan-pernyataan yang lahir dari formasi wacana ini tak mungkin menghindar dari asumsi awal bahwa adat dan Islam bertentangan di Minangkabau. Pertentangan ini adalah cetusan kajian-kajian rintisan yang terus menerus dan berulang-ulang dirujuk. Mereka selalu dirujuk karena perjalanan waktu yang dilewati formasi wacana konflik antara adat dan Islam ini telah memberi mereka otoritas! Otoritas inilah yang membuat mereka tak dapat tidak harus selalu diacu jika seseorang masih ingin berbicara, mengeluarkan pernyataan, ber-statement, di dalam bentuk wacana ini. Proses historis rujuk-merujuk dan pemberian otoritas pada kajian-kajian perintis inilah yang membuat wacana konflik adat dan Islam di Minangkabau ter-formalisasi sehingga ketika seseorang akan bicara dalam lingkup wacana formal ini, dia tak dapat punya bahasa lain selain mengandaikan keduanya bertentangan. Berikut adalah beberapa contoh bagaimana proses rujuk-merujuk itu terjadi.
Buku berjudul Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-political Structure in Indonesia adalah salah satu acuan utama dalam wacana akademis ketika berbicara struktur sosial dan politis Minangkabau. Penulisnya, Josselin de Jong, mengutip Snouck Hurgronje yang menyanggah penulis lain (Westenenk) yang memandang orang Minang belum muslim, melainkan masih menganut “pagan”. de Jong mengutip Hurgronje dengan simpatik karena menurut dia, Hurgronje mencoba melihat lebih dalam lagi pertentangan antara adat dan Islam yang tergambar lewat praktik-praktik yang menurut Westenenk masih pagan. Pernyataan retoris Hurgronje yang dikutip de Jong dari Verspreide geschriften (Serbaneka Tulisan) vol. IV hlm. 23-24 berbunyi:
Before we grant you the right to call the inhabitants of the Archipelago bad Muslims because the broad masses are attached to externals, and understand little or nothing of the true nature of their religion, we demand that you show us one nation on earth of which the masses have progressed further in knowledge of their religion.3
Nada simpatik Hurgronje ketika melihat pertentangan adat dan Islam di tengah masyarakat jajahan Belanda ini juga dikutip oleh ahli kelahiran Minangkabau sendiri. Taufik Abdullah menulis dalam artikel klasiknya “Adat and Islam: An Examination of Conflik in Minangkabau” sebagai berikut:
As the ideal pattern of behavior in Minangkabau society, adat consists of all the elements that have been absorbed into one undifferentiated value system. Snoυck Hurgronje addressed himself to a similar phenomenon in his classic book on Atjehnese society when he criticized a commentator who argued that, because the Atjehnese are Moslem, conflict within their society arises not from questions of ideology, but from human weaknesses. According to Snouck, people –as individuals or as a community– experience the religious and the non-religious elements of their lives as an inseparable development. Consequently, he argues that it is not sufficient to look only at the dogma —and for that matter the ideal pattern of behavior— but to “observe also the Muslim as the individual and as a member of a community, as a social being, and see what happens to the teaching of Islam in the practice of every day life.” Thus Snouck stresses the cleavage between the ideal pattern of behavior and the actual practice, subtracting from the social system the non-Islamic elements —the adat, used in its narrower sense.4
Menurut Taufik Abdullah, pandangan Hurgronje tentang konflik adat dan Islam di masyarakat Aceh penting diperhatikan dan dipakai untuk melihat konflik adat dan Islam di Minangkabau. Di paragraf selanjutnya dia menulis sembari juga mengutip Schrieke, ilmuwan Belanda lain yang juga ahli Minangkabau. Kutipannya adalah sebagai berikut:
In the Minangkabau context the distinction make by Snouck Hurgronje is certainly a crucial one. Not only is adat supposed to be contradictory to Islam but it is also assumed that in Minangkabau society the individual as well as the community are divided into two opposing systems of behavior. It is assumed that a person’s attitude toward fellow members of the society is mostly governed by adat, while his relation to the transcendental being is determined by religion. The inability of individuals to reconcile these two opposing values may result in social fragmentation. Thus it is assumed that in Minangkabau there is a continuing struggle between the adat and the religious groups, a conflict which is called by Schrieke the “political myth” of Minangkabau.5
Contoh selanjutnya dapat pula kita lihat dalam karya putra Minangkabau lain, Azyumardi Azra. Dalam karyanya berjudul Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Pada Bab 2 yang berjudul Surau Minangkabau: Latar Belakang Historis, Sosiokultural” pada Subbab “Minangkabau: Adat dan Islam,” Azra menulis demikian:
“Dengan demikian, meskipun Islam secara aktif dipraktikkan di kebanyakan surau, tapi kedatangannya tidak mengakibatkan hapusnya takhayul dan kepercayaan terhadap magik dan jimat di kalangan masyarakat muslim. Sebaliknya, praktik-praktik ini jalin-menjalin dengan agama secara luas. Sebuah manuskrip mendeskripsikan Wilayah Darek Minangkabau ‘sebagian besar masih pagan atau lebih tepatnya tanpa agama, dengan pengecualian para tokoh terkemukakanya yang menganggap diri mereka sebagai pengikut Muhammad.’”6
Di akhir kutipan di atas, Azra membubuhkan catatan kaki menerangkan bahwa karya yang dia kutip adalah karya Ph. S. van Ronkel, Rapport Betreffende de Godsdienstige Verschijnselenter Sumatra’s Westkust (Laporan tentang Fenomena Keagamaan Orangorang di Pantai Barat Sumatera). Patut diperhatikan, karya van Ronkel ini juga dikutip Taufik Abdullah dalam artikel tadi, tepatnya di catatan kaki nomor 2.
Di paragraf yang sama, Azra juga merujuk artikel Christine Dobbin berjudul “Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the Nineteenth Century.” Artikel ini adalah semacam rangkuman dari buku utama Dobbin berjudul Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784-1847. Dalam versi bahasa Indonesia buku ini, yang diterbitkan Komunitas Bambu, Dobbin menulis:
“Islam adalah agama luar yang masuk ke dalam dunia Minangkabau. Hal inilah yang menjadi pusat perhatian kita di sini. Agama ini harus menghadapi beberapa faktor yang hampir menjamin bahwa ia tidak akan berhasil di terima di dalam masyarakat.”7
Selain mengutip van Ronkel dan Dobbin, Azra juga mengutip buku William Marsden The History of Sumatra hlm. 346 ketika menyatakan “Kecuali bagi para pemimpin keagamaan, menurut Marsden, kaum Muslimin Minangkabau pada umumnya jarang melakukan kewajiban-kewajiban agama, seperti salat dan puasa; dan masjid-masjid juga jarang sekali dihadiri.8
Contoh-contoh di atas berasal dari karya-karya babon. Artinya, karya-karya utama yang dipandang otoritatif ketika membahas hubungan adat dan Islam di masyarakat Minangkabau. Hegemoni epistemik dari formasi wacana pertentangan adat dan Islam tempat karya-karya babon ini bernaung membuat nyaris seluruh pembahasan tentang Minangkabau merasa haram hukumnya jika tidak mempersoalkan hubungan kisruh antara adat dan Islam. Untuk membuktikan hal ini, kita baca saja bagian-bagian awal skripsi, tesis dan disertasi yang membahas Minangkabau dari aneka rupa perspektif dan topik kajian.
Menurut hemat saya, hubungan antara adat dan Islam di Minangkabau menjadi menarik dan mempesona secara akademis maupun secara politis bukan karena pada dirinya memang ada yang sangat waww! Melainkan karena formasi wacana yang ada dengan hegemoni epistemiknyalah yang menetapkan demikian. Sebab di dalam formasi wacana inilah berbagai pihak terus menerus merumuskan pertanyaan, mengumpulkan data, mencari jawaban lewat analisa, mempublikasikan jawaban yang ditemukan, lalu mengulangi langkah awal dengan merumuskan pertanyaan baru sehingga menciptakan sebuah siklus yang berputar terus menerus.
Pada pertengahan 1990-an, artinya sekitar 150-an tahun setelah generasi perintis kajiankajian tentang Minangkabau, seorang pemuda Amerika meneliti ke Sumatera Barat. Hasil penelitiannya ini kemudian ditulis jadi disertasi. Disertasi ini kemudian diterbitkan tahun 2008 oleh Cornell University Press dengan judul Muslim and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism. Buku ini kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Freedom Institute pada 2010 dengan judul Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Agama dan Kolonialisme di Minangkabau.
Di bagian Pengantar edisi Indonesia penulis menulis dalam bahasa Indonesia demikian:
Terjemahan ini adalah suatu perbaikan dibandingkan dengan aslinya yang berbahasa Inggris. […] saya bisa mengganti judul asli (yang dipaksakan oleh departemen pemasaran penerbit [edisi Inggris]) dengan judul yang selalu saya inginkan. Sengketa Tiada Putus diambil dari schoolschrift yang menggambarkan “sangketo nan tiada poetoes” dalam sebuah perkawinan, dan saya pikir ini adalah metafora sempurna untuk sengketa dan debat tiada putus yang membuat Minangkabau begitu enak dipelajari.9
Kata “enak” dalam kutipan di atas dengan persis menggambarkan kelezatan yang dilahirkan oleh hegemoni epistemik formasi wacana adat dan Islam di Minangkabau. Setelah hampir dua abad lebih orang menulis dan membahas secara akademik masyarakat Minangkabau, namun hubungan adat dan Islam tetap saja jadi “gosip” yang asyik diperbincangkan. Penyebabnya adalah hegemoni epistemik dalam formasi wacana ini tidak memungkinkan orang membahas hal lain, karena memang tidak ada kosa kata yang tersedia untuk mewakili bahasan lain itu.
Selanjutnya, ketika memperhatikan tumpukan “teks” yang ada dalam lingkup formasi wacana pertentangan adat dan Islam di Minangkabau ini, kita dapat mengelompokkan setidaknya tiga gugus tuturan atau cara-ungkap.
Pertama, tuturan yang disuarakan para ahli kolonial di masa lalu dan ahli dari luar negeri di masa Minangkabau pasca 1945. Satu saja yang mencirikan tuturan asing ini: adat dan Islam di Minangkabau ibarat minyak dan air. Manalah mungkin keduanya bersatu. Kalaupun ada terlihat keduanya berbaur, itu karena yang berhubungan dan bercampur sama-sama tidak asli lagi. Dengan kata lain, tuturan jenis pertama ini mengandaikan ada Islam yang asli dan adat Minangkabau yang asli. “Yang asli” ini sama-sama dianggap telah atau dapat dikenali oleh para ahli tersebut. Inilah yang ditunjukkan oleh pandangan Snouck Hurgronje yang dikutip sebelumnya ketika dia mendebat pandangan sejawatnya: “Sebelum kami memberi hak pada Anda untuk menyebut masyarakat Kepulauan Nusantara ini sebagai muslim yang buruk karena mereka masih terikat pada hal-hal di luar Islam dan sedikit atau bahkan tak paham sama sekali tentang agama mereka, kami minta Anda untuk menyebut satu saja masyarakat di muka bumi ini yang pengetahuan mereka tentang agama mereka sendiri telah mengalami kemajuan.” Di sini berarti Hurgronje yakin dia punya patokan yang jelas untuk mengenali pengetahuan suatu masyarakat tentang agama mereka sudah maju atau belum.
Kedua, tuturan cerdik pandai yang merupakan anak nagari Minangkabau sendiri. Tuturan ini adalah turunan dari wacana rintisan ahli-ahli kolonial di masa sebelumnya, sebab para cerdik pandai ini adalah murid mereka. Para cerdik pandai ini, sesuai ajaran guru mereka di sekolah, memanglah memandang adat dan Islam itu ibarat dua orang sepayung yang berjauhan hati. Hanya saja mereka tak mau berhenti pada sekadar menyatakan keduanya berkonflik. Sebab pengalaman hidup sebagai anak nagari Alam Minangkabau menuntut mereka untuk mencari akal. Mereka tak mau berhenti pada ajaran guru tanpa mempersoalkan apa langkah maju yang dapat ditempuh kalau adat dan Islam itu memanglah bertentangan. Dua teks dari putra Minangkabau yang telah dikutip di atas adalah contoh dari tuturan cerdik pandai ini.
Adapun tuturan ketiga disuarakan oleh para ulama. Inyiak-inyiak surau ini menguasai ilmu agama Islam sekaligus juga memiliki pengetahuan adat. Bagi beliau-beliau adat dan Islam itu bak aur dengan tebing. Bulat keyakinan mereka bahwa jika rumpun aur dibongkar, tebing akan runtuh; jika tebing diruntuhkan, aur akan mati. Tak ada yang istimewa dalam posisi mereka ini sebenarnya, kecuali bahwa tuturan mereka tak lain tak bukan adalah respon terhadap dua tuturan pertama. Kalau lah tak ada rintisan kajian-kajian para kolonialis dan modifikasi sana-sini oleh murid-murid mereka atas formasi wacana hubungan adat dan Islam di Minangkabau, para ulama tak akan membahas-bahas masalah ini. Urusan mereka hanya beribadah pada Allah, mengabdi pada ummat. Mana mungkin ikan di air jernih akan susah payah menguraikan hakikat dan seluk-beluk air, kalau tak ada yang bertanya padanya tentang apakah air itu?
Perlu sedikit digarisbawahi bahwa yang saya maksud dengan ulama di sini adalah sosok yang mengerti dan menghidupi agama Islam dan adat sekaligus, bukan sekadar orang yang pernah belajar agama Islam secara formal akademis namun terasing dari masyarakatnya di mana adat Minangkabau itu dihidupi. Catatan ini bertujuan untuk memasukkan salah seorang anak nagari Minangkabau yang rentan disalahkaprahi sebagai sosok yang termasuk ke kelompok kedua di atas karena diwacanakan berpaham pembaharu. Beliau adalah HAMKA.
Dalam buku, Islam dan Adat Minangkabau, Bab “Hubungan Timbal Balik Adat dan Syara’ dalam Kebudayaan Minangkabau, Buya HAMKA menulis demikian:
Kalau terjadi sikap keras kadang-kadang dari Kaum Agama, terutama dengan timbulnya Perang paderi, bukanlah karena Islam memerangi orang kafir. Kaum Adat yang diperangi Tuanku Nan Renceh atau Tuanku Imam Bonjol bukanlah orang kafir. Dan Tuanku-tuanku itu bukan pula orang-orang yang tidak beradat. … Melainkan [karena] Kaum Ulama kadang-kadang bersikap menantang adat apabila adat itu telah membeku atau digosokgosok dan dihasut-hasut oleh pihak luar, terutama pihak penjajahan Belanda untuk menghalangi proses peragamaan dan per-Islaman Adat Minangkabau.10
Sementara salah satu contoh par excellence dari sosok ulama yang bertutur tentang hubungan adat dan Islam itu bagai aur dengan tebing adalah Syeikh Sulaiman Arrasuli. Beliau mengarang kitab berbahasa Arab Melayu berjudul Pertalian Adat dan Syara’, sebuah karya ke mana tulisan ini dipersembahkan. Dalam kitab ini, di bawah bab pendek berjudul “Pasal Perdamaian antara Adat dan Syara’,” beliau menjelaskan perselisihan antara ulama dan kaum adat yang masih mempraktikkan hal-hal yang dilarang agama Islam. Perselisihan ini akhirnya didamaikan lewat jalan “kebijaksanaan pengulu-penghulu, tuangku-tuangku, alim-ulama,tetua cerdik-pandai di alam Minangkabau.” Perdamaian antara adat dan Islam itu menurut beliau ditempuh dengan cara arif-bijaksana (moderat). Cara moderat ini diungkapkan dengan ibarat:
Bak cando mamalu ula dalam baniah, tungkek pamalu jan patah, tanah dipalu jan lumpang, baniah dan kanai jan rusak, ula dipalu iyo mati. (Bagaikan memukul ular dalam persemaian [padi]. Tongkat pemukul jangan patang, tanah yang terpukul jangan berlubang, benih padi yang terkena jangan rusak, ular yang dipukul dapat mati.11
Hasil perdamaian tersebut menghasilkan hubungan harmonis antara adat dan Islam yang tergambar dalam pepatah yang beliau karang sebagai berikut:
Babelok jalan ka rambau Bakotat ayam di parak Dari parak tabangka barat Elok aturan di Minangkabau Adatnyo disandi syarak Syara’nyo ditolong dek adat | Berbelok jalan ka Rambau Berkotek ayam di parak (ladang) Dari parak terbang ke barat Elok aturan diMinangkabau Adatnya disandi Syarak Syara’nya ditolong oleh adat. |
Babelok jalan karambau Luruih labuah ka Talawi Di kida parak si Hasim Elok aturan di Minangkabau Tubuahnyo adat nan kawi Jiwanyo syara’ yang lazim. | Berbelok jalan ka Rambau Luruslah jalan ke Talawi Di kiri parak si Hasim Elok aturan diMinangkabau Tubuhnya adat nan kawi Jiwanya syarak yang lazim |
Babelok jalan ka rambau Baparak sabalah ka banda Pananam kacang balimbiang Elok aturan di Minangkabau Adat jo syara’ sanda manyanda Umpamo aua dengan tabiang. | Berbelok jalan ka Rambau Berparak (berladang) sebelah bandar (selokan) Ditanami kacang belimbing Elok aturan diMinangkabau Adat dan syarak sandar menyandar Umpama aur dengan tebing |
Babelok jalan karambau Bararak mambao bangkai Elok aturan di Minangkabau Syara’ mangato adat mamakai | Berbelok jalan ka Rambau Beriringan membawa bangkai Elok aturan di Minangkabau Syarak mengata adat memakai |
Babelok jalan ka rambau Parak si Hasim nan ditinjaunyo | Berbelok jalan ka Rambau Parak (ladang) si hasim yang dilihatnya |
Elok adat di Minangkabau Syara’ yang lazim suluah bendangnyo.12 | Elok aturan diMinangkabau Syarak yang lazim suluh-bendangnya |
***
Berparak (berladang) sebelah bandar (selokan)
Ditanami kacang belimbing
Elok aturan diMinangkabau
Adat dan syarak sandar menyandar
Umpama aur dengan tebing
Babelok jalan karambau
Bararak mambao bangkai
Elok aturan di Minangkabau
Syara’ mangato adat mamakai
Berbelok jalan ka Rambau
Beriringan membawa bangkai
Elok aturan di Minangkabau
Syarak mengata adat memakai
Babelok jalan ka rambau
Parak si Hasim nan ditinjaunyo
Berbelok jalan ka Rambau
Parak (ladang) si hasim yang dilihatnya
Elok adat di Minangkabau
Syara’ yang lazim suluah bendangnyo.12
Elok aturan di Minangkabau
Syarak yang lazim suluh-bendangnya
***
Tujuan saya dalam bahasan ini bukanlah untuk menyatakan bahwa adat dan Islam di Minangkabau sama sekali tidak bertentangan atau pernah bertentangan namun kemudian akur; bukan pula meneguhkan pendapat-pendapat yang sudah jelas-jelas menyatakan pertentangan. Masalah saya adalah bahwa sebagai orang yang ketika berbicara dalam wacana formal akademis-ilmiah, saya tidak punya bahasa lain selain memakai kosa kata dari bahasa-bahasa penulis yang ada. Mereka telah merumuskan hubungan konfliktual antara keduanya dengan beragam variasi, mulai dari bahasa penuh kepentingan seperti Hurgronje dan sejawatnya, bahasa yang keras seperti Dobbin, sampai bahasa yang moderat seperti para ulama.
“jangan-jangan hubungan konfliktual antara adat dan Islam itu ada gara-gara wacana yang proses pembentukannya telah dirintis ratusan tahun lalu sebagai salah satu ekses kolonialisme.”
Persoalan pokok yang ingin dipicu oleh bahasan ini adalah soal kemungkinan menemukan bahasa lain untuk membicarakan hubungan adat dan Islam di Minangkabau di tingkat wacana formal selain bahasa konfliktual tersebut. Pertanyaan ini muncul dalam diri saya karena dalam keseharian sebagai orang Minangkabau, baik ketika di ranah Minang maupun di rantau, pertentangan antara keduanya tidak terasa, tidak terartikulasi dengan konkret. Kasarnya, saya baru tahu kalau keduanya bertentangan atau pernah bertentangan lalu berdamai setelah membaca! Di titik ini di kepala saya muncul pikiran “jangan-jangan hubungan konfliktual antara adat dan Islam itu ada gara-gara wacana yang proses pembentukannya telah dirintis ratusan tahun lalu sebagai salah satu ekses kolonialisme.”Artinya konflik itu ada karena wacana, bukan sebaliknya.
Saya menilai masalah ini perlu ditelusuri lebih jauh karena implikasinya tidak sederhana. Antara lain, saya tidak memiliki bahasa lain untuk mengisahkan diri sendiri sebagai orang Minangkabau selain yang tersedia dalam formasi wacana yang mempertentangan adat dan Islam. Saya harus meminjam mulut orang lain untuk menceritakan diri saya. Implikasi selanjutnya adalah formasi wacana formal yang ada cenderung memosisikan adat sebagai sesuatu yang beroposisi dengan ortodoksi Islam. Dalam wacana formal keagamaan Islam misalnya, kaum adat dicap sebagai kaum yang menyempal dari aturan-aturan agama. Sementara dalam keseharian yang konkret dan riil, setiap orang Minang akan marah besar jika dikatakan orang yang “tidak beradat”.
Keambiguan subjektif di tengah formasi wacana hubungan adat dan Islam ini kemudian melahirkan implikasi berikutnya yang jadi kecenderungan umum orang Minangkabau, setidaknya menurut penilaian saya pribadi, yakni menduga ada yang asli dan karena itu berkeinginan kuat untuk menemukannya. Kecenderungan inilah yang ada di balik gelombang purifikasi dalam paham keagamaan Islam dan di balik semangat baliak ka nagari (kembali ke sistem pemerintahan Nagari) yang dimungkinkan oleh era otonomi daerah belakangan ini.
Kecenderungan inilah yang ada di balik gelombang purifikasi dalam paham keagamaan Islam dan di balik semangat baliak ka nagari (kembali ke sistem pemerintahan Nagari) yang dimungkinkan oleh era otonomi daerah belakangan ini.
Saya akui, tugas berat menemukan bahasa lain untuk mengisahkan diri sebagai orang Minang selain bahasa yang tersedia dalam formasi wacana hubungan konflik adat dan Islam tidak mampu saya lakukan dalam kesempatan ini. Alangkah baiknya, jika saya dan pembaca tolong-menolong dalam menemukan bahasa tersebut dengan cara bertukar pikiran.
*Tulisan Ini Juga Pernah dimuat di langgar.co
Wallahu a’lamu bi al-shawwab.
1. Azyuarmadi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernitas, Jakarta: Logos, 2003.
2. Buku-buku dari abad 18 ini dapat dilihat antara lain di daftar pustaka buku Muhamad Radjab, Perang Paderi, Jakarta: Perpustakaan Keguruan Kementerian PP&K, 1954.
3. De Jong, Josselin, Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-political Structure in Indonesia, Den Haag:Martinus Nijhoff Uitgeverij, 1980, hlm. 26.
4. Taufik Abdullah, “Adat and Islam: An Examination of Conflik in Minangkabau,” Indonesia, 2 (1966), hlm. 2
5. Taufik Abdullah, “Adat and Islam: An Examination of Conflik in Minangkabau,” Indonesia, 2 (1966), hlm. 3
6. Azyuarmadi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernitas, Jakarta: Logos, 2003, hlm. 62.
7. Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008, hlm. 188.
8. Azyuarmadi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernitas, Jakarta: Logos, 2003, hlm. 63-64.
9. Jeffrey Hardley, Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Agama dan Kolonialisme di Minangkabau, Jakarta: Freedom Institute, 2010, hlm. xiv.
10. HAMKA, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 1984, hlm. 133-134.
11. Syeikh Sulaiman Arrasuli, Pertalian Adat dan Syarak, (edisi transliterasi), Jakarta: Ciputat Press, 2003, hlm. 23.
12. Syeikh Sulaiman Arrasuli, Pertalian Adat dan Syarak, (edisi transliterasi), Jakarta: Ciputat Press, 2003, hlm. 24.
Leave a Review