Rantau Kaji Anaksiak: antara Surau dan Timur Tengah Rantau Kaji Anaksiak: antara Surau dan Timur Tengah
Banyak dari anaksiak bencita-cita untuk melancong rihlah keilmuan ke negeri Timur Tengah, sebut saja Madinah, Makkah, Mesir, dan daerah jazirah Arab (middle east) lainnya. Dalam pandangan masyarakat Minangkabau merantau itu sangatlah wajar. Orang Minangkabau sendiri sudah identik dengan tradisi merantau itu. Anak-anak siak (santri), terlebih laki-laki pula, cenderung merantau, baik merantau ke luar/dalam Indonesia dalam rangka keilmuan Islam.
Mengapa hal ini dibicarakan? Tentu karena fenomena kepulangan mereka belakangan ini yang banyak diantara mereka justru datang membawa keragu-raguan di tengah kampung. Orang-orang di kampung jadi bertanya-tanya. “kok aneh ya si fulan, balik dari tanah Arab kajiannya berbeda dengan kaji surau?” “si fulan sekarang sudah berubah dari kaji, pakaian, dan kesehariannya” dan malahan ada yang merespons dengan nada tinggi “si fulan ini tidak sopan, suka menyalahi kaji orang kampung yang berasal dari ulama-ulama tua kita”.
Nah, bagi orang-orang yang belajar dari surau ke surau dan ikut pula menimba ilmu dari akademik kampus adalah suatu hal yang wajar jika ada suatu temuan atau kajian yang baru. Temuan itu menjadi kritik atau memperkuat terhadap temuan dan kajian lama. Kritik terhadap orang-orang surau yang dilakukan oleh alumni dari Timur Tengah memang sering terjadi. Sejak zaman dahulu kala pula. Ambil saja zaman ulama terkemuka seperti Syekh Ahmad Khatib al-Mingkabawi. Beliau sendiri adalah ulama dan dipercaya sebagai imam besar di Masjidil Haram pada akhir tahun 1800 hingga awal 1900 an sudah banyak melakukan kritik atas beberapa pemhaman kelompok masyarakat Minang yang berbasis di surau.
Kita bisa berasumsi, bahwa semenjak zaman beliau sudah ada pertarungan pikiran antara kajian Timur Tengah dengan kajian surau Minangkabau. Tak sedikit dari beliau berdebat melalui tulisannya tentang keislaman Minangkabau. Selisih pemahaman mereka dalam tarekat, fikih, dan kajian muamalah. Pertentangan beliau selalu dibalas oleh ulama-ulama kaum tua di Minangkabau yang berbasis di surau. Buktinya banyak ditemukan sumbangan pikiran dalam manuskrip-manuskrip dari kaum tua maupun Syekh Ahmad Khatib tentang hal yang mereka perdebatkan.
Sekarang, masalah yang dihadapi oleh kita tidak jauh berbeda. Sama-sama berselisih kaji antara surau dan kaji yang dibawa dari Timur Tengah. Lalu apa yang membedakan sekarang dengan dahulu kala itu apa? Mereka bertempur bukan ‘peluru dibalas peluru’ tapi ‘kitab dibalas kitab’. Pertentangan mereka tidak mendatangkan keraguan-raguan dalam sebuah pesoalan terhadap umat masa itu. Perselisihan dalam pikiran mereka seperti itu adalah kemulian terhadap keilmuan Islam.
Syarak Mangato Adaik Mamakai
Kerap dijumpai orang-orang yang kembali dari Timur Tengah memiliki pemahaman yang begitu murni. Seolah-seolah selain Islam tidak bisa menjadi pedoman hidup. Tapi tahukah kita, bahwa Islam sendiri adalah agama yang tidak instruktif? Islam tidak menjadi agama dikarenakan berisi perintah-perintah amal makruf, nahi, mungkar belaka itu saja, tapi Islam menjadi agama dikarenakan begitu kooperatif.
Minangkabau melahirkan konsep syarak mangato adat mamakai adalah bentuk dari kolaborasi dari Islam dan adat Minangkabau. Sangat kooperatif sekali konsep ini bukan? Kesalahpahaman dari kaji Timur Tengah yang dibawa ke surau tadi hanya kekurangantepatan dalam membawakan diri. Bagaimana kaji Timur Tengah tidak diterima pada komunitas adat (kampung) adalah karena kurangnya memahami medan (objek) eksekusi. Mereka tidak menyadari bahwa adat dalam masyarakat Minangkabau adalah motor (penggerak).
Saya pernah mendengar suatu kalimat dalam sebuah perbincangan “untuk menerima sesuatu yang baru harus meninggalkan sesuatu yang lama”. Hal ini terjadi kepada orang-orang yang belajar ke Timur Tengah. Mereka terpaksa untuk tidak memakai adat kampungnya ketika di tanah rantau. Setelah semakin lama di rantau mereka lupa untuk menjemput apa yang telah ditinggalkan ketika di rantau dahulu.
Apabila sekarang datang seorang dari Timur Tengah membawa kajian ke surau dan berbeda syurah kajinya, pasti ujung-ujungnya bertikai. Kita sering bertolak tunda dengan mereka, belum mereka selesai menjelaskan kita sudah mengusirnya keluar surau. Ya, sebenarnya ada pembenaran dalam keadaan seperti itu untuk orang-orang surau. Mereka melakukan self-defense (pertahanan diri) untuk menjaga jamaahnya dan itu lahir dari insting, pasti lumrah.
Baca Juga: Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Wahhabi
Makanya, sulit membawa kaji yang ditempa di tanah rantau tadi untuk direalisasikan ke kampung. Sekali lagi, untuk menekankan bahwa kajian mereka di Timur Tengah tidaklah salah. Kaji yang dibawa adalah kaji yang dituntut kepada ulama-ulama di sana yang dihasilkan dengan jalan ijtihad. Mereka hanya lupa terhadap pepatah adat. “lain padang lain ilalang, lain lubuak lain ikannyo”.
Itulah tantangan kepada kajian Timur Tengah. Untuk masuk dalam lingkaran kampung Minangkabau mesti bisa merasakan adat. Kalau hanya sekadar tahu bagaimana adat Minangkabau tidak menjadi jaminan, karena hal itu sudah dibantu dengan teknologi infomasi sekarang. Jadi, apa sebenarnya dari merasakan adat itu? Adalah hafal jalan dari hulu ke muara, paham apa sebab dan akibat. Mengetahui porsi dari sebuah permasalahan, bukan sekadar mendengar kabar yang hanya meninggalkan keraguan-raguan antara salah dan benar.
Perbincangan kita adalah murni dari sebuah perselisihan kajian. Permasalah politik, dominasi, dan ideologi kelompok tidak masuk dalam pembahasan ini.[]
Leave a Review