Oleh: Fauzan Inzaghi
Untuk menjadi seorang muslim, tidak cukup dengan “bersaksi tiada Tuhan selain Allah”, tapi juga “bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Imam Ghazali menulis kitab Faisal Tafriqah untuk menjelaskan makna dari “Muhammad Rasulullah”. Banyak orang yang bisa memahami arti dari bertuhan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Tapi, Muhammad Rasulullah? Bahkan di kalangan muslim sendiri di zaman now, banyak yang sulit memahami apa arti Rasulullah. Dalam bayangan kita selama ini, “Rasul” hanya tentang seorang “manusia suci”, sehingga tidak boleh tersentuh.
Saat memahami bahwa Rasul sekadar “manusia suci”, maka manapun manusia yang dianggap suci oleh seseorang juga harus dihormati sama dengan rasul, walaupun dia tidak mengaku sebagai Rasul, tinggal selera saja mana yang mau kita ikuti atau kita lahir di keluarga mana. Pemahaman tentang kerasulan yang seperti ini membuat seorang bisa mengatakan semua agama sama. Alasannya macam-macam:
Pertama, bagi sebagian orang agama hanya masalah ritual yang diajari oleh orang suci yang turun-temurun harus diikuti. Saat agama dipahami dari sudut pandang ini, yaitu ritual yang diajari oleh orang yang dianggap suci maka wajar seorang menganggap semua agama sama. Toh, intinya mengikuti ritual orang yang dianggap suci versi masing-masing. Jadi tidak ada bedanya, cuma selera saja dan kata orang terdekat saja.
Baca Juga: agaimana Kerukunan dalam Islam?
Kedua, versi sebagian orang yang menganggap bahwa agama itu sekadar spiritualitas, di mana orang suci tadi berperan hanya sebagai “orang yang telah sukses mencapai puncak spiritualitas sehingga jadi suci”. Manusia yang memang butuh sisi spiritualitas dan ingin mendapatkannya hanya membutuhkan “orang suci” sebagai “mentor meditasi” untuk memenuhi kebutuhannya tersebut, baik dengan π³πͺπΊπ’π₯π©π’π©, dll. Jika mereka mendapatkan sisi ini, maka di luar meditasi itu mereka bisa meninggalkan sang mentor. Makanya bertuhan pun kadang tidak penting bagi yang melihat agama hanya dari sudut pandang spiritualitas ini. Masalah pilihan mentor? Mana yang cocok di hati saja.
Ketiga, mereka yang melihat tidak dari sisi ritual atau spiritual, tapi karena ikut arus saja. Mereka yang ikutan saja karena doktrin bahwa “semua agama sama” ini biar tidak ribut. Toh, masing-masing ada orang suci yang disukai, dan dia belum menemukan orang yang bisa menjelaskan kebalikan dari doktrin itu, bahkan kadang dia tidak minat mengetahui yang sebenarnya. Agama tidak terlalu penting. Jadi baik semua sama atau tidak sama maka tidak penting. Semua sama.
Terakhir, yang kecewa pada agama atau pelaksana agama, tapi tidak enak pada dunia sekitar, karena “orang suci” itu begitu diagungkan. Dan mereka bingung karena tidak mendapatkan agama itu sempurna “menurut keinginannya”, padahal Tuhan itu sempurna, ini bertentangan dengan ketidaksempurnaan pada agama, mereka tidak menemukan kesinkronan antara Tuhan dan agama. Walau begitu mereka masih melihat sisi baik dan ajaran baik dari agama. Mereka mengira bahwa agama lain juga sama. Ya sudah, saling hormati saja. Tapi ada sebagian dari mereka yang mencoba mengambil titik tengahnya dari masing-masing agama, ambil yang baik-baik dari semua agama yang tidak sempurna untuk saling menyempurnakan. Jadi, agama win win solution.
Sebenarnya ada beberapa lagi, cuma secara garis besar itu. Di sini kita tidak mengatakan bahwa pemahaman di atas benar atau salah. Tapi sekadar menjelaskan efek dari pemahaman bahwa Rasul itu hanya “sekadar manusia yang dianggap suci oleh manusia lainya”. Tentu, ini bertentangan dengan konsep Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Bagi kita, Rasul itu bukan terletak pada “ke-orangsuci-annya”, bukan juga pada anggapan manusia, tapi seorang “utusan Allah”. Jika memahami arti dari utusan Allah, maka kita akan memahami arti dari “Rasulullah” dan betapa dalam maknanya. Agar kita memahami, Apa arti dari utusan? Apa arti dari Allah? Kenapa juga kita harus percaya kalau dia utusan Allah? Apakah dia punya bukti kalau dia benar dari Tuhan? Apa bedanya dia sama kita? Dari mana kita tahu kalau dia tidak menipu? Bisa kamu jelaskan secara logis? Lalu apa tugas dia? Apa pula pentingnya dia bagi kita?
Menjawab pertanyaan di atas dengan benar bisa membuat kita memahami hakikat Rasul, dan mendapatkan jawaban memuaskan atas pertanyaan yang selama ini berputar dalam diri kita. Seperti kenapa banyak agama? Siapa yang benar? Bagaimana jika di agama ada orang baik? Apakah agama sebelah tidak ada kebaikan? Lalu Tuhan itu sebenarnya beragama yang mana? Atau jangan-jangan Tuhan diciptakan oleh tokoh agama? Jadi aku seharusnya memilih agama mana? Jika ternyata aku salah memilih bagimana? Seandainya ada dua Rasul yang ajarannya bagaimana? Kalau beda ajarannya bagaimana? Bisakah beragama tanpa spiritual? Atau berspiritual tapi tidak mempercayai Rasul atau Tuhan? Apa yang bisa dilakukan jika Rasul tidak pernah ada atau tidak ditemukan? Dan apa yang tidak bisa dilakukan? Dll. Tentu saja tiga pertanyaan besar filsafat, saya dari mana? Ngapain di dunia ini? Dan akan kemana? Apakah bisa dijawab oleh akal? Atau dijawab oleh meditasi? Atau yang lainnya?
Baca Juga: Larangan Melaknat Pemuda Pemabuk Zaman Rasulullah
Nah, ilmu kalam atau ilmu akidah itu adalah ilmu yang diramu para ulama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Sudah seharusnya bagi setiap muslim mempelajari ilmu akidah sesuai dengan maqam masing-masing, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas yang kerap terlintas di pikiran dan hati kita, sehingga tidak membeku, di mana itu suatu saat bisa saja membuat hati menjadi hitam dan syubhat menyambar-nyambar pikiran. Saat itu terjadi, maka seorang muslim tidak akan memahami maqam kenabian dan arti dari seorang Nabi yang menjadi rukun kedua dari syahadatnya, alias setengah dari inti keislaman tidak dia kenali, jelas ini sangat berbahaya. So, sudah kewajiban kita mempelajarinya dan mengajarkannya pada keluarga, tergantung dengan maqam masing-masing. Wallahualam.
Tulisan ini juga dimuat di Serambi Salaf
Leave a Review