Oleh: Desmayuni, Guru Pada MAN 4 Agam
Terletak di Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam, Bayur adalah salah satu nagari di lingkung Danau Maninjau yang bak Kuali Besar. Tanahnya merupakan penurunan bukit yang menelonjor ke Danau Maninjau. Terdiri dari perbukitan, persawahan, dan tepian danau. Menurut legenda, Bayur adalah salah satu nagari peninggalan Bujang Sambilan yaitu Panglimo Bayua, digambarkan dengan karakter penduduk yang ramah, tenang, dan suka bermufakat.
Di nagari ini banyak terlahir ulama terkenal, seperti Syekh Muhammad Salim al-Khalidi, Buya H. Sulthani Abdullah Dt. Rajo Dubalang. Keduanya merupakan pendiri Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PPMTI) Bayur. Ulama selanjutnya adalah Buya Muhammad Taher Dt. Rajo Endah (Buya Jambu). Gelar adat yang disandangkan kepada nama ulama ini, memperlihatkan dwi fungsi ulama sekaligus pemangku adat, sehingga tak heran di nagari ini terasa kental nuansa adat yang mencerminkan implementasi sistem kepercayaan kepada syara’ (agama Islam). Hal ini Sesuai falsafah adat itu sendiri adat basandi syara’, syara basandi kitabullah.
Pepatah mengatakan lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain balalang, lain nagari lain pulo adatnyo. Di nagari terluas di Kecamatan Tanjung Raya itu, dikenal tradisi Ratik Tulak Bala yang dilaksanakan bila ada musibah berkepanjangan melanda nagari. Tradisi ini sudah dikenal dan dilaksanakan sejak lama oleh masyarakat, dan sudah dipandang sebagai salah satu tradisi. Menurut Yasril Efendi Imam Panjang, Ketua MUI Kecamatan Tanjung Raya, ulama pertama yang mengajarkan Ratik ini kepadanya adalah Buya Muhammad Taher Dt. Rajo Endah (Buya Jambu). Sementara Buya Jambu ini merupakan salah seorang murid Syekh Sulaiman ar Rasuli atau yang dikenal dengan Inyiak Candung, pendiri Persataun Tarbiyah Islamiyah. Bila dihubungkan kepada syarat kesahihan ilmu dengan menjaga sanad ilmu itu sendiri yang selalu menjadi perhatian para ulama ini dalam mengambil ilmu, maka dapat dipastikan bahwa Ratik Tulak Bala juga diajarkan oleh Buya Syekh Sulaiman Arrasuli Candung.
Ratik Tulak Bala biasanya dilaksanakan karena musibah berkepanjangan dan sudah dikategorikan sebagai kejadian luar biasa. Salah satu musibah yang sering melatarbelakangi tradisi Ratik adalah musibah yang ditimbulkan oleh angin kencang atau yang disebut Angin Darek. Angin ini merupakan angin musiman yang pada satu periode berhembus bisa berlangsung selama lebih kurang satu bulan. Dampak yang ditimbulkannya dapat menumbangkan pohon, menerbangkan atap rumah, menggagalkan panen tanaman, memicu kebakaran rumah dan menyebabkan tubo Danau Maninjau sehingga berakibat kematian ikan massal.
Baca Juga: Syekh Salim Bayur: Ulama Besar dari Tepian Maninjau
Tetapi menurut pengalaman Yasril Efendi Imam panjang bersama Buya Jambu, Ratik juga dilakukan untuk memohon pertolongan orang karam di danau, longsor, kemarau panjang dan sebagainya. Inilah yang disebut bahwa Tradisi Ratik seperti dituturkan oleh Yasril Efendi Imam Panjang, merupakan aktualisasi pengharapan pertolongan dan ridha Allah, upaya untuk menguatkan tauhid dan penyadaran diri manusia yang lemah tanpa bantuan Allah SWT. Biznillah biasanya sesudah pelaksanaan Ratik Tulak Bala ini, musibah akan berhenti.
Menurut Nasrul Kari Mangkuto, murid dari Buya Sulthani Abdullah Dt. Rajo Dubalang, istilah Ratik berasal dari bahasa Arab yaitu rattaba-yurattibu-tartiban yang kemudian dalam bahasa Minangkabau disebut taratik atau ratik berarti sangat teratur, tersusun dan berurutan. Hal ini menyimpulkan bahwa prosesi Ratik Tulak Bala di Bayur memiliki urutan tersendiri sebagaimana yang telah diajarkan oleh buya atau guru.
Ratik biasanya dilaksanakan tiga malam berturut-turut setelah shalat Maghrib sampai selesai. Dimulai oleh satu jorong kemudian dilanjutkan oleh jorong yang berdekatan, begitu seterusnya. Ratik dilaksanakan berjamaah dengan berjalan kaki. Berawal dari mesjid/mushalla berakhir pada suatu tempat yang setiap malamnya berbeda-beda sekira-kira batas jorong tersebut dengan daerah lain, seperti di Hulu Air, Lurah atau Banda atau Ujuang Labuah (jalan). Bagi jamaah yang tidak ikut memulai Ratik dari mesjid/mushalla, mereka akan bergabung di tempat mana saja mereka bertemu dengan jamaah Ratik yang telah lebih duluan dari mereka sehingga hampir seluruh masyarakat ikut serta dalam Ratik ini.
Seperti yang dipaparkan oleh Indra Mayani Sutan Sinaro, berdasarkan pengalamannya saat memimpin Ratik, bahwa Ratik dimulai dengan niat memohon pertolongan Allah atas musibah yang dihadapi. Kemudian beristighfar, membaca surat al-Fatihah, surat al-Mau’izatain. Dan mengucapkan tahlil di sepanjang perjalanan. Kemudian ditutup dengan membaca doa-doa penolak bala.
Apa yang dibaca dalam Ratik Tulak Bala, esensinya adalah ayat-ayat al-Qur’an, istighfar, tahlil dan doa. Semua itu includ dalam istilah zikir sebagai upaya mengekspresikan sifat kehambaan kepada Allah. Pada dasarnya kumpulan zikir itu sudah dilegitimasi oleh nash yang suci baik al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah SAW. Firman Allah dalam QS. Al Ahzab: 41
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.
Sementara itu terdapat banyak isyarat dalil yang menjadi payung keabsahan membaca zikir pada moment-moment tertentu seperti ketika mendapat musibah. Rasulullah secara gamblang mengajarkan doa-doa yang dibaca saat tertimpa bala. Bahkan diantara doa itu disebutkan lebih spesifik, seperti memohon perlindungan ketika angin ribut.
عَنْ عَاءِشَةِ كَانَ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِذَاعَصَفَتِ الرِّيْحُ قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَمَا فِيْهَا وَخَيْرَمَا أَرْسَلْتَ بِهِ وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّمَا أَرْسَلْتَ بِهِ . رواه مسلم
Artinya: dari ‘Aisyah ia berkata; adalah nabi SAW apabila angin bertiup kencang, biasanya beliau mengucapkan Yaa Allah aku mohon diberi kebaikannya, kebaikan yang terkandung padanya dan kebaikan yang Engkau kirim dengannya, dan aku berlindung kepadaMu dari keburukannya dan dari keburukan yang Engkau kirim dengannya. (HR. Muslim)
Karena berzikir dalam kondisi dan waktu apapun pada hakikatnya dapat dilakukan. Maka kemungkinan akan ditemui formulasi Ratik Tulak Bala yang sedikit berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, perbedaan itu bukan pada hal esensial. Di Nagari Bayua misalnya, Ratik dilaksanakan dengan berjalan kaki menuju suatu arah tertentu di dalam kampung. Tentu ada kemaslahatan yang ingin dicapai melalui cara ini. Setidaknya masyarakat akan lebih menyatu dengan lingkungannya yang harus dijaga dan dirawat. Sesama masyarakat akan terjalin silaturrahim dan terwujud nagari yang baldatun thayyibatun ghafur. Hal itu dipa ndang masih dalam koridor nash, karena Allah berfirman diantaranya dalam QS. An Nisa’: 103
فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْ ۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ ۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا
Artinya: Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (an Nisa’: 103).
Baca Juga: Manjalang Guru: Tradisi Memuliakan Urang Siak
Demikianlah sekelumit tentang Ratik Tulak Bala di Nagari Bayur. Esensinya adalah zikrullah yang diekstrak dari nash yang sahih, sebagai wujud penghambaan kepada Allah SWT. Kita berharap Ratik ini diajarkan dari generasi ke generasi agar ia tetap lestari, tidak tergerus oleh gelombang zaman. Dipegang kokoh menjadi adat nan dak lakang dipaneh, dak lapuak di hujan.
DAFTAR SUMBER PENULISAN
Abbas, Sirajuddin. (2000), 40 Masalah Agama I. Cet. Ke-30. Pustaka tarbiyah, Jakarta
Akhyar, Kifayatul. (2019), Catatan Sejarah dan Masyarakat Negari Bayur. Diakses pada tanggal 13 November 2021 dari Keislaman Terlengkap Android https://s.id/nounlineiOs https://s.id/nounline_ios
An Nawawi, Imam Yahya bin Syarif ad Din. Matan al Arba’in an Nawawiyah fi al hadits al Shahih an Nawawiyah. Syarikat Maktabah al Madaniyyah, Indonesia
Sabiq, Sayyid. (1997), Fikih Sunnah 4 Terjemahan. Cet. Ke-12. Al Ma’arif, Bandung
Shahih Muslim,
Leave a Review