scentivaid mycapturer thelightindonesia

Realisasi Konsep Maqāṣid al-Sharī’ah Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam Pemahaman Hadis Nabawi

Realisasi Konsep Maqāṣid al-Sharī’ah Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam Pemahaman Hadis Nabawi
Ilustrasi Dok. Istimewa

Wacana pembumian maqāṣid al-sharī’ah sebagai sebuah manhaj al-fikr (metodologi berfikir) semakin mendapat ruang di kalangan akademisi muslim kontemporer.[1] Hal itu terbukti dengan diadakannya sebuah seminar international yang bertajuk Maqāṣidal-Sharī’ah dan Usaha Pembumiannya dalam Masyarakat Kontemporer di Malaysia pada Agustus 2006 yang lalu. Dalam seminar tersebut, puluhan sarjana menulis berbagai tema seputar relasi maqāṣid dengan persoalan-persoalan umum kemasyarakatan seperti kaitan maqāṣid dengan teori-teori transaksi ekonomi dan perbankan, hubungannya dengan ilmu-ilmu politik, undang-undang pidana dan perdata, hukum-hukum keluarga, ilmu dan teknologi informasi, krisis lingkungan, serta problematika pemahaman masyarakat terhadap teks-teks agama.[2]

Terkait dengan tema yang terakhir, penulis tertarik untuk mendalami sebuah artikel yang ditulis oleh Khālid ibn Mansūr al-Dāris[3] dengan judul Athr Maqāṣidal-Sharī’ah fi Fahm al-Ḥadith al-Nabawi; al-Imām Ibn Taymiyyah Namūzajan. Dalam penelitiannya, Khālid menyimpulkan bahwa Ibn Taymiyyah merupakan salah seorang pioner maqāṣid yang layak untuk diapresiasi, karena ia dianggap telah berhasil mengkompromikan dua kecendrungan umat Islam yang ektrem dalam pemahaman keagamaan, yaitu mereka yang terlalu berpegang kepada makna literal teks (tekstual) di satu sisi dan mereka yang terlalu bebas dalam menginterpretasikannya (kontekstual) dengan dalih mengedepankan maqāṣid al-sharī’ahdi sisi yang lain.[4] Namun Ibn Taymiyyah mempunyai konsep maqāṣid al-sharī’ah sendiri, khususnya dalam memahami teks-teks Hadis Nabawi yang menjadi fokus penelitian tersebut.

Penelitian serupa dalam tema yang sama juga telah ditulis oleh Muḥammad al-Badawi dalam disertasinya yang berjudul Maqāidal-Sharī’ah ‘Inda Ibn Taymiyyah pada tahun 2000 yang lalu. Penelitian yang ia lakukan jauh lebih paripurna dan mencoba untuk memetakan pemikiran Maqāid Ibn Taymiyyah secara utuh dan sistematis, khususnya dalam memahami teks-teks al-Qur’an dan Hadis.[5] Hal ini akhirnya mendorong Samīḥ‘Abd al-Wahhab al-Jundi menulis disertasi yang sama tapi dengan tokoh yang berbeda pada tahun 2008. Dia menulis Maqāidal-Sharī’ah ‘Inda Ibn Qayyim al-Jauziyyah, yang tidak lain adalah murid dari Ibn Taymiyyah sendiri. Hanya saja penelitian yang ia lakukan lebih cendrung kepada peletakan dasar-dasar teori ketimbang aplikasi. Dan dalam metodologi penulisannya pun tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh al-Badawi.[6]

Tulisan ini pada dasarnya ingin menggabungkan nalar dua penelitian di atas, yaitu makalah Khālid ibn Mansūr al-Dāris yang berjudul Athr Maqāṣidal-Sharī’ah fi Fahm al-Ḥadith al-Nabawi; al-Imām Ibn Taymiyyah Namūzajan dengan penelitian yang ditulis oleh Samīḥ‘Abd al-Wahhab al-Jundi lewat disertasinya Maqāṣidal-Sharī’ah ‘Inda Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Penelitian ini penulis beri judul Realisasi Konsep Maqāṣidal-Sharī’ah Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam Pemahaman Hadis Nabawi. Hal baru dalam penelitian ini hanyalah pencantuman contoh-contoh aplikatif dari konsep maqāṣid al-sharī’ah Ibn Qayyim yang dikutipkan langsung dari pandangan-pandangannya terhadap berbagai persoalan, khususnya dalam hal pemahaman Hadis Nabawi pada beberapa karyanya seperti I’lam al-Muwaqqi’īn, Aḥkām ahl al-Dhimmah, Syifā’ al-‘Alīl, Miftaḥ Dār al-Sa’ādah dan lain-lain.

Baca Juga: Menimbang Maqashid Syariah sebagai Metodologi

Konsep Maqāid al-Sharī’ah Ibn Qayyim al-Jauziyyah

Secara epistemologis, Ibn Qayyim tidak mempunyai buku utuh yang khusus membahas konsep maqāṣid, namun ia mempunyai beberapa buku yang dinilai oleh sementara peneliti seperti Ismā’il al-Ḥasani, Jāser ‘Audah, Aḥmad ibn Mas’ūd al-Yūbi, dan lain-lain sebagai buku praktis yang mengandung spirit maqāṣid.[7] Di antaranya buku I’lam al-Muwaqqi’īn, Syifā’ al-‘Alīl, Aḥkām ahl al-Dhimmah, dan Zād al-Ma’ād. 

Salah satu bukti hal tersebut di atas sebagaimana di kutip oleh al-Yūbi dalam bukunya Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah wa ‘Alāqatuhā bi al-Adillah al-Shar’iyyah adalah pandangan Ibn Qayyim terkait dengan konsep maslahat. Ibn Qayyim berkata “Syariat Islam dibangun berdasarkan asas hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.Ia merupakan keadilan yang bersifat mutlak, kasih sayang, kemaslahatan, dan hikmah. Oleh karenanya, setiap persoalan yang bertolak belakang dari keadilan menuju kezaliman, kasih sayang menuju kekerasan, maslahat menuju kemudaratan, serta hikmah menuju sesuatu yang bernilai sia-sia, maka itu semua bukanlah bagian dari syariat, sekalipun ditafsirkan sebagai syariat.[8] Selain itu ia juga menegaskan bahwa “Syariat Islam pada hakikatnya adalah keadilan, kasih sayang, perlindungan, serta kebijaksanaan Allah SWT terhadap para makhluk-Nya yang mencerminkan eksistensi dan kebenaran utusan-Nya, Muhammad SAW. Syariat Islam merupakan cahaya Allah yang dengannya manusia dapat melihat, petunjuk yang dengannya manusia memperoleh hidayah, obat penawar yang menjadi obat bagi mereka yang sakit, serta jalan lurus yang ditapaki oleh para pencari kebenaran. “[9]

Terkait dengan ungkapan tersebut, Yūsuf al-Qarāḍawi berkomentar dalam bukunya Madkhal li Dirāsah al-Sharī’ah al-Islāmiyyah “Perkataan ini harus kita pegang teguh dan sodorkan terhadap mereka yang simpati terhadap Ibn Qayyim dan gurunya Ibn Taymiyyah, namun tidak membawa spirit dan pandangan ini (maslahat) dalam pemahaman keagamaan mereka. Pada dasarnya maslahat merupakan salah satu faktor penting dalam konsep perubahan fatwa karena disebabkan oleh perubahan ruang dan waktu yang mengitarinya.Sementara manusia pada hakikatnya harus menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan serta kemaslahatan-kemaslahatan yang digariskan oleh syariat lewat hukum-hukumnya.”[10]

Berdasarkan data di atas dan data-data lain yang tersebar dalam buku-buku karyanya dapat diambil kesimpulan bahwa maqāid al-sharī’ah perspektif Ibn al-Qayyim adalah kumpulan dari hikmah-hikmah dan kemaslahatan yang Allah turunkan bersama syariat-Nya untuk manusia, yang berasaskan keadilan universal serta kasih sayang yang bersifat umum dan paripurna.[11] Ia juga menegaskanseandainya manusia mau memikirkan setiap perangkat hukum syariat yang Allah turunkan, niscaya mereka akan mendapati tidak satu pun dari hukum-hukum tersebut yang luput dari hikmah dan kemaslahatan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib manusia kalau hikmah-hikmah tersebut hilang, mungkin saja manusia tidak akan bernilai apa-apa, atau bahkan lebih hina dari binatang sekalipun.[12]

Kaedah-Kaedah Maqāid Ibn Qayyim al-Jauziyyah

Setelah membandingkan penelitian Muḥammad al-Badawi lewat karyanya Maqāṣid al-Sharī’ah ‘Inda Ibn Taymiyyah dan ‘Abd al-Wahhab al-Jundi dalam Maqāṣid al-Sharī’ah ‘Inda Ibn Qayyim al-Jauziyyah, penulis melihat banyak sekali kesamaan antara kedua tokoh besar ini dalam hal metodologi berfikir, khususnya dalam kajian maqāṣid. Hal ini dapat diketahui dari latar belakang kehidupan dan silsilah keilmuan keduanya yang begitu dekat dan sangat lama.Ibn Qayyim menghabiskan kurang lebih 16 tahun dari umurnya untuk bertalaqqi dan bermulāzamah secara langsung dengan gurunya Ibn Taymiyyah. Mulai dari kepulangan Ibn Taymiyyah dari Mesir pada tahun 712 H hingga wafatnya pada tahun 728 H. Bahkan di saat-saat genting sekalipun, seperti ketika Ibn Taymiyyah ditahan oleh penguasa pada saat itu akibat beberapafatwanya yang dinilai menyimpang dari mainstrem, tidak mengurangi hasrat Ibn Qayyim untuk selalu setia menemani serta meneguk lautan ilmu dari gurunya itu. Sehingga sangat wajar kalau ditemukan banyak kesamaan pemikiran di antara keduanya.[13]

Baca Juga: Meneguhkan Kearifan Lokal

Di antara tema-tema besar maqāṣidsharī’ah yang menjadi konsentrasi Ibn Qayyim dalam karya-karyanya adalah sebagai berikut :

1. Ta’līl al-Aḥkām dan Hikmah al-Tashri’ serta relasinya dengan Maqāṣid

Ta’līl secara etimologi adalah derivasi dari kata-kata ‘allala-yu’allilu-ta’līl,dari kata dasar al-‘illu yang bermakna tegukan atau hisapan kedua.[14] Secara terminologi ta’līl al-akam adalah titik fokus dalam proses ijtihad dan istimba(proses penggalian hukum-hukum syariat dari sumber-sumbernya yang utama), yang mana keberadaannya menjadi penentu terungkapnya rahasia-rahasia syariat serta hikmah-hikmahnya. Selain itu, ta’līl al-akam juga berfungsi sebagai wasīlah (perantara) direalisasikannya sebuah hukum syariat dalam kondisi-kondisi yang berbeda sesuai dengan ada tidaknya ilatyang mengitari hukum tersebut.[15] Sebuah kaedah populer menyebutkan bahwa hukum syariat berlaku sesuai dengan ilatnya.Ia akan ada manakala ditemukan ilat­nya dan begitupun sebaliknya.[16]

Ibn Qayyim memberikan perhatian yang cukup besar terhadap tema ini.Ia secara kritis membantah mereka yang tidak mengakui adanya ta’līl al-akam. Ia menegaskan “menetapkan bahwa Allah menurunkan syariat dengan hikmah merupakan cermin kesempurnaan, sementara menegasikannya dari Allah adalah sifat kekurangan. Padahal para ulama sepakat mengatakan bahwa Allah maha suci dari segala kekurangan.[17] Dalam bukunya Madārij al-Sālikīn, ia juga mengutarakan keheranannya terhadap mereka yang mengingkari ta’līl al-akam pada hukum-hukum syariat. Bagaimana mungkin Allah menurunkan sesuatu hukum tertentu namun kosong dari maksud dan tujuan.Hal ini menurutnya adalah sebuah perkara yang mustahil bagi Allah SWT.

Sementara itu titik perbedaan Ibn Qayyim dalam hal ini dengan para pemikir maqāṣid sebelumnya hanya terletak pada universalitas ta’līl yang dia anut. Ibn Qayyim cendrung berpendapat bahwa semua hukum-hukum syariat mempunyai ilattanpa terkecuali.Baik hukum muamalah, adat, dan begitu juga dengan ibadah, semuanya mempunyai ta’līl al-shar’i, walaupun akal kita tidak bisa menangkap sebagian dari ilatdan hikmah tersebut. Hal ini senada dengan apa yang juga diyakini oleh gurunya Ibn Taymiyyah. Namun mayoritas ulama seperti al-Juwayni, al-Ghazāli, ‘Izzu al-Dīn ibn ‘Abd al-Salām, al-Shaṭibi, Ibn Ashūr, Abd al-Wahhab al-Khalāf dan lain-lain cendrung berpendapat sebaliknya.Bagi mereka tidak semua hukum syariat mempunyai ilat.Mereka menegaskan bahwa maksud dan tujuan utama ibadah adalah penyerahan diri secara total kepada Allah serta tunduk dan patuh terhadap segala perintah-Nya, tanpa harus mengkaji makna ataupun ilat hukumnya.[18]

2. Ḍarūriyyah al-Khams dan pengembangannya menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah

Para ulama uṣul klasik sepakat bahwa maqāṣid sharī’ah atau yang disebut juga dengan al-kulliyyah al-Khams oleh al-Ghazāli –yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda- adalah bersifat pasti dan tetap berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Hadis. al-Ghazāli dalam kitabnya al-Mustaṣfa menyatakan bahwatujuan syariat untuk manusia secara umum ada lima, yaitu untuk memelihara agama, diri, akal, keturunan, dan harta mereka”.[19] Namun Ibn Qayyim punya pandangan tersendiri terkait dengan tema al-kulliyat al-khams.Bagi dia, maqāṣid sharī’ah tidak hanya terbatas kepada 5 hal tersebut, bahkan lebih dari itu.Tujuan utama syariah sebenarnya adalah peneguhan diri untuk menyembah Allah SWT semata.[20]

Baca Juga: Ahli Fikih Mengapa Harus Kekinian

Al-Jundi menyimpulkan setidaknya ada 7 kaedah tambahan yang diusulkan oleh Ibn Qayyim, yaitu:

1. Mengenal Allah dengan seluruh nama dan sifat-Nya serta senantiasa mencintai dan menyembah-Nya.
2. Menegakkan keadilan, menjauhi sifat zalim, sombong, syirik, dan permusuhan.
3. Menolak tipu daya setan dan mematuhi perintah Tuhan.
4. Bersifat benar, sabar, dan bersyukur.
5. Bersifat pemalu, beradab, dan berakhlak yang mulia.
6. Menjaga lingkungan serta menyeru orang lain untuk meningkatkan perhatian terhadap pendidikan yang berbasis lingkungan.
7. Mempererat persatuan dan menghindari perpecahan.[21]

Hal ini sama persis dengan pandangan gurunya yang juga mengembangkan kulliyah al-khams kepada kaedah-kaedah lainnya. Seperti kaedah kritis terhadap orang-orang kafir dan tidak menyerupai kebudayaan mereka.Tidak mengikuti langkah-langkah setan dan mereka yang tidak menyempurnakan kewajiban agamanya.Membudayakan sikap toleransi, sifat sabar, berani, dan akhlak mulia.Memperkuat persatuan dan menghindari perpecahan.Senantiasa mendakwahkan Islam, berjihad karena Allah dan saling tolong-menolong dalam hal tersebut.Bersifat adil dan menjauhi sifat zalim.Tidak memperturutkan hawa nafsu serta menuntunnya agar senantiasa patuh terhadap perintah Allah SWT.[22]

3. Jalb al-Maṣāliḥ wa Dar’u al-Mafāsid dan Relasinya dengan Maqāṣid

Kaedah ini termasuk kaedah pokok dan mendasar dalam Ilmu Maqāid. Al-Ṣhaṭibi menegaskan bahwa Allah dalam syariat-syariat yang Ia turunkan selalu memprioritaskan kemaslahatan manusia, baik untuk dunianya ataupun akhirat.[23] Setiap orang yang mengingkari fakta ini, dianggap keliru dan kata-katanya tertolak secara otomatis.[24] Ibn al-Qayyim beragumen bahwa setiap hal yang ditetapkan Allah pada hakikatnya adalah baik, apalagi Allah tidak akan mungkin menyeru kepada hal-hal yang membawa kepada kemudaratan dan kebinasaan.[25]

Di samping itu ia juga cendrung kepada pendapat yang mengatakan bahwa kebaikan dan keburukan sudah tetap sejak alam ini diciptakan. Diharamkannya minuman keras, mengundi nasib dengan anak panah, berjudi, berzina, dan perbuatan keji lainnya merupakan aturan yang sudah tetap dan baku jauh sebelum diturunkannya al-Qur’an kepada Nabi Muḥammad SAW dan lebih ditegaskan lagi setelah ayat yang melarang hal-hal keji tersebut diwahyukan kepadanya.[26] Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana proses penentuan antara kemaslahatan dan kemudaratan secara pasti, padahal itu merupakan perkara yang samar dan berbeda di antara masing-masing orang?

Baca Juga: Bisakah Kaedah Fiqih Menjadi Dalil Hukum

Ibn ‘Abd al-Salām dalam Qawā’id al-Aḥkām–nya menjawab bahwa penentuan hal tersebut bergantung kepada sangkaan kuat yang muncul dalam ijtihad seseorang mujtahidkarena hal ini sebenarnya tergolong relatif sehingga tidak dapat dipastikan. Seorang mujtahid hanya bisa melihat faktor-faktor dan gejala-gejala lahiriah semata, adapun hakikatnya hanya sang pembuat syariatlah yang mengetahuinya. Ia berpendapat bahwa hakikat kemaslahatan itu terdiri dari 4 unsur yaitu kesenangan dan sebab-sebabnya serta kebahagian dan sebab-sebabnya, sama seperti kemudaratan yang tersusun dari kepedihan dan sebab-sebabnya serta kesusahan dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya.[27]

Seorang ahli ibadah tidak bisa memastikan bahwa hidupnya akan berakhir dengan husn al-khātimah, namun mereka beramal berdasarkan atas sangkaan kuat yang bersemayam dalam hati sanubari, dan mereka bersamaan dengan hal itu khawatir kalau apa yang mereka amalkan tidak diterima oleh Allah SWT. Seperti itu juga halnya dengan seorang pekerja, mereka beraktivitas berdasarkan sangkaan kuatakan adanya untungsetelah bekerja, padahal mungkin saja yang terjadi sebaliknya dan beberapa contoh lainnya.[28]

Kemudian, seandainya ada sebuah perkara yang kadar kemaslahatan dan kemudaratannya belum bisa diketahui secara pasti, maka kita tidak bisa mengunggulkan salah satu di antara keduanya terhadap yang lain kecuali setelah tampak unsur kemaslahatannya, atau minimal kemaslahatannya lebih besar dari kemudaratannya. Sehingga dari beberapa faktor di atas, muncullah kaedah lain yang menyebutkan bahwa fatwa akan berubah seiring perubahan faktor-faktor yang melatarbelakanginya berupa waktu, tempat, kondisi, niat, dan situasi-situasi tertentu lainnya, termasuk perubahan kemaslahatan yang mengiringinya. Hal ini dijelaskan secara panjang lebar oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin.

Relasi Maqāid al-Sharī’ah dengan Hadis Nabawi

Keberadaan Hadis Nabawi mempunyai peranan besar dalam penentuan sebuah maqāid al-sharī’ah.Ia bersinergi dengan al-Qur’an dalam menafsirkan maksud dan tujuan yang diinginkan Allah dalam hukum-hukum-Nya. Secara umum, para ulama uṣul membagi sunah atau hadis nabi menjadi 3 bagian.Pertama, sunah yang kandungannya sama dengan al-Qur’an. Kedua, sunah yang berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an.Dan yang ketiga, sunah yang mempunyai hukum sendiri yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an.[29] Ketiga jenis sunah ini harus dipahami dengan pendekatan maqāid al-sharī’ah. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :

1. Syariah dibangun berdasarkan pondasi al-Qur’an dan Sunah, sehingga kalau disebut maqāṣid al-sharī’ah maka itu sama artinya dengan maqāṣid al-Qur’an dan Sunah. Apabila seseorang lengah terhadap satu bagian dari kedua unsur tersebut, berarti dia telah menghilangkan setengah dari maqāṣid al-sharī’ah, karena sebuah kaedah umum atau maqāṣid universal tidak bisa diketahui kecuali setelah melakukan pembacaan yang komprehensif terhadap kedua sumber tersebut.
2. Sunah yang berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an mengandung penjelasan terkait maqāṣid sebagian hukum-hukum yang tidak diterangkan oleh al-Qur’an. Terkadang sunah jenis ini mengusung maqṣad(tujuan)lain yang menyempurnakan maqāṣidalQur’an.
3. Orang yang paling paham dengan maqāṣid al-Qur’an adalah Rasulullah SAW. Sehingga keberadaan sunah sangat menentukan pemahaman terhadap al-Qur’an, karena hukum yang dijelaskan di sana tidak sedetail apa-apa yang dijelaskan oleh sunah nabawi.
4. Begitu juga dengan sunah yang berdiri sendiri. Ia membawa maqāṣid khusus yang tidak ditemukan dalam teks al-Qur’an. Sehingga peneliti maqāṣid diharuskan untuk mengetahui hukum-hukum seperti ini sebagaimana ia juga diharuskan mengenal tujuan umum syariah lewat metodologi penentuan maqāṣid al-sharī’ah.
5. Sementara itu sunah yang bersesuaian dengan al-Qur’an atau yang memperkuat maknanya mempunyai faedah dalam hal penentuan maqāṣid sebuah syariah, apakah syariah yang dimaksud mempunyai satu tujuan atau malahan mempunyai beragam tujuan yang bisa dikompromikan antar satu sama lainnya.

Baca Juga: Bolehkah Perempuan jadi Imam Salat?

Dalil Keharusan Memahami Hadis dengan Sudut Pandang Maqāṣid

Pembahasan ini akan mengemukan beberapa argumentasi yang menunjukkan keharusan seorang akademisi dalam bidang agama untuk menggunakan pendekatan maqāṣid dalam proses memahami hadis nabawi. Yūsuf al-Qarāḍawi menyitir bahwa seseorang yang tekstual dalam memahami hadis membuka peluang besar terhadap kekeliruan dalam pemahaman agama, bahkan hal itu bisa saja berimplikasi sebaliknya, yaitu melakukan hal-hal yang justru dilarang oleh agama, sekalipun secara lahiriah berpegang kepadanya.[30] Di antara argumen tersebut adalah sebagai berikut :

1. S. Al-Nisā’, ayat 83.

Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. Padahal apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya secara resmi dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).[31]

Ayat ini menerangkan pujian Allah terhadap para ahli istimbaṭhukum dan menyifati mereka dengan sebutan ahli ilmu. Proses istimbaṭ al-aḥkām (penggalian hukum-hukum syar’i dari sumber-sumbernya asli) berkaitan erat dengan makna-makna dan ilat-ilatSehingga mustambiṭharus menguasai seluruh hal yang berhubungan dengan ilatmakna-makna, bandingan-bandingan, serta maqāṣidshāri’ yaitu Allah SWT, tidak semata-mata pembacaan terhadap teks semata-mata. Sehingga wajar kiranya dalam ayat di atas Allah mencela mereka yang hanya berpegang kepada lahiriah teks.

2. Hadis riwayat al-Bukhāri yang berbunyi :

Dari Abī Sa’īd r.a ia berkata “’Ali telah mengirimkan perhiasan emas kepada Nabi Muammad SAW. Lalu beliau membagikannya kepada empat orang, yaitu al-Aqra’ ibn Hābis al-anali yang kemudian sebutannya menjadi al-Mujāshi’i, ‘Uyaynah ibn Badr al-Fazāri, Zaid al-ā’i, kemudian dia menjadi salah seorang dari suku Banī Nabhān, dan ‘Alqamah ibn ‘Ulāthah al-‘Āmiri yang kemudian menjadi salah seorang dari suku Banī Kilāb”. Orang-orang Quraysh dan kaum Anar menjadi marah. Mereka berkata “beliau telah memberi para pahlawan penduduk Najd dan malah mengabaikan kita”. Lalu Nabi menjawab “aku memberi mereka dengan tujuan agar menjinakkan hati mereka (ke dalam agama Islam)”. Lalu datanglah seorang yang kedua matanya menjorok ke dalam (cekung), bagian kedua pipinya menonjol, keningnya mencuat, serta jenggotnya tebal lagi dicukur seraya berkata “bertakwalah kamu kepada Allah wahai Muhammad!”. Maka beliau berkata “siapakah yang dapat bertakwa kepada Allah seandainya aku saja mendurhakai-Nya? Apakah patut Allah memberi kepercayaan kepadaku untuk penduduk bumi sementara kalian tidak mempercayai aku?.Kemudian ada salah seorang sahabat, aku mengira dia adalah Khālid ibn Walīd, yang meminta izin untuk membunuh orang itu, namun Nabi melarangnya.Setelah orang tadi pergi, beliau berkata “sesungguhnya dari asal orang ini atau di belakang orang ini (keturunannya) akanada satu kaum yang mereka membaca al-Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka.Mereka keluar dari agama bagaikan keluarnya anak panah dari busurnya dan mereka membunuh pemeluk Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Seandainya aku bertemu dengan mereka pasti akan aku bunuh mereka sebagaimana kaum ‘Ād dibantai dahulu kala”.[32]

Hadis ini menjelaskan sikap Zū al-Khuwayṣirah, -seorang pimpinan khawārij pada masa Nabi- yang memprotes kebijakan Nabi membagi harta rampasan perang lebih banyak untuk para muallaf ketimbang mereka yang ikut berperang. Hal ini terjadi akibat sikap Zū al-Khuwayṣirah yang hanya berpegang kepada lahiriah teks dan terlalu kaku dalam beragama, namun tidak arif dengan hal-hal yang melatarbelakangi teks atau sebuah kebijakan.

3. Ijtihad

Sebagian sahabat yang juga menggunakan pendekatan maqāṣid dalam mengambil kebijakan-kebijakan atas nama agama, seperti sikap Umar yang tidak membagi-bagikan tanah Iraq buat mereka yang ikut berperang, padahal pada masa Nabi, tanah hasil rampasan perang dibagikan buat mereka ikut berperang. Kebijakan ini diambil oleh Umar demi kemashlahatan hidup generasi Islam selanjutnya.[33] Begitupun dengan kebijakan Abū Bakr untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf dan kebijakannya dalam memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat pada masa pemerintahannya.

4. Istiqra’ 

Istiqra’ atau penelitian deduktif yang dilakukan oleh sebagian besar ulama dari masa ke masa yang menghasilkan kesimpulan bahwa tidak satupun hukum-hukum syariat yang kosong dari hikmah. Tujuan utama syariah adalah untuk menggapai kemaslahatan umat dan menolak kemudaratan dari mereka.[34]

Baca Juga: Hukum Mengqadha Salat

Aplikasi Maqāṣid Ibn al-Qayyim dalam Pemahaman Hadis

Dalam sub bahasan ini, penulis akan menampilkan beberapa hadis nabawi yang oleh Ibn al-Qayyim dipahami berdasarkan paradigmamaqāid yang ia rumuskan. Di antaranya :

1. Hadis tentang larangan memerangi para oknum pemerintah yang melalaikan salat dari waktunya. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abū Dāūd yang berasal dari Ummi Salamah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :

“سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ”، قَالُوا: “أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ؟”، قَالَ: “لَا، مَا صَلَّوْا ”[ 35 ]

Akan datang para penguasa, kalian mengenal mereka namun kalian mengingkari (perbuatan) mereka. Siapa yang tau dengan kemungkarannya hendaklah berlepas diri dan barangsiapa yang mengingkarinya maka ia telah selamat. Akan tetapi bagi yang rida dan mengikuti, para sahabat langsung menyela “bagaimana kalau kita perangi saja mereka?” lalu beliau menjawab “jangan, selama mereka mendirikan salat”.

Dan juga hadis riwayat al-Bukhāri, Muslim, Abū Dāūd, dan Aḥmad yang bersumber dari Ibn ‘Abbas, ia berkata :

“مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ”[36]

Barangsiapa yang melihat pada diri pemimpinnya ada sesuatu yang ia benci hendaknya ia bersabar, sebab siapa yang memisahkan diri dari jama’ah walau sejengkal kemudian dia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah”.

Hadis ini menjelaskan tentang tatacara merespon kemungkaran supaya kemungkaran tersebut berubah menjadi kebaikan yang dikehendaki oleh Allah dan Rasulullah. Ibn al-Qayyim menggarisbawahi melalui paradigma maqāid-nya bahwa apabila ada sebuah respon terhadap kemungkaran, namun akan menimbulkan efek yang lebih parah dari yang sudah ada, maka mengingkari perkara seperti ini sebaiknya tidak dilakukan, sekalipun Allah membenci perbuatan itu dan para pelakunya. Hal ini seperti mengingkari kebijakan para raja dan pemimpin dengan cara tidak mengikuti kebijakan mereka atau meninggalkan mereka. Karena hal itu merupakan sumber segala kejahatan dan fitnah hingga akhir zaman. Seandainya semua orang memikirkan secara mendalam apa yang tersirat dalam aturan syariat yang seperti ini, niscaya ia akan menyadari bahwa ketidaksabaran dalam mengubah suatu kemungkaran serta bersikap radikal terhadap para pelakunya tidak akan menyelesaikan persoalan bahkan itu dapat saja memperparah situasi.[37]

Selanjutnya Ibn al-Qayyim menganalogikan hal ini dengan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ketika melihat berbagai macam kemungkaran di tanah Mekah dan beliau pada saat itu merasa belum sanggup untuk mengubahnya. Bahkan pada saat penaklukan kota Mekah sekalipun menjadi kampung muslim, Rasulullah pernah bercita-cita untuk merubah bangunan Ka’bah dan mengembalikannya ke bentuk semula sebagaimana adanya pada masa Nabi Ibrahim AS. Namun Rasulullah tidak melakukan itu semua, padahal secara kekuatan umat Islam sanggup untuk memberantas semua kemungkaran yang ada karena khawatir munculnya kemudaratan yang lebih besar yaitu kembalinya mereka kepada tradisi lama (baca murtad) lantaran belum bisa menerima aturan-aturan baru agama Islam.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah –sekali lagi- tidak mengizinkan umatnya untuk mengkritik pemerintah dengan cara yang radikal, karena bisa saja hal itu akan menimbulkan kemudaran yang lebih besar. Paradigma seperti ini muncul dari prinsip jalb al-maaliwa dar’u al-mafāsid (mencapai kemaslahatan dan menghindari kemudaratan) sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn al-Qayyim dalam beberapa karyanya di atas. Akan tetapi logika berfikir seperti ini sangat kontras dengan apa yang tercermin dalam tradisi sebagian kelompok atau ormas-ormas Islam yang mengatasnamakan diri sebagai “pengawal agama” di Negeri ini. Mereka bersikap keras dan terlalu radikal terhadap para pelaku kemaksiatan. Padahal kalaulah saja mereka lebih bersikap sabar dan lemah lembut dalam usaha meminimalisirnya, niscaya akan menghasilkan perubahan yang lebih baik buat masyarakat dan agama Islam sendiri. Selain itu tindakan radikal seperti itu telah memperburuk citra masyarakat muslim di mata dunia, bahkan hari ini umat Islam telah dicap sebagai umat penebar teror buat masyarat dunia. Tentu saja hal ini akan memperburuk citra serta menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai keislaman sebagaimana yang diajarkan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an dan Rasulullah dalam hadis-hadisnya.

Ibn al-Qayyim telah memetakan empat kategori dalam hal merespon sebuah kemungkaran. Pertama, respon yang akan menghilangkan kemungkaran tersebut dan mengubahnya menjadi kebajikan-kebajikan. Kedua, respon yang menyebabkan sebagian kemaksiatan berkurang walaupun tetap menyisakan sebagiannya.

Ketiga, respons yang mengakibatkan kemaksiatan tersebut berubah menjadi kemaksiatan lain yang serupa. Dan yang keempat, respon yang mengakibatkan munculnya kemudaratan baru yang lebih parah.Dua kategori yang pertama sangat dianjurkan oleh agama.Sementara itu kategori ketiga masih berada dalam ranah khilāfiah ulama, sebagian mereka membolehkan dan sebagian yang lain melarangnya. Sedangkan kategori keempat diharamkan oleh agama, lantaran efek negatif yang akan ditimbulkannya.

Selain itu, Ibn al-Qayyim juga menceritakan kisah gurunya Ibn Taymiyyah ketika melewati sebuah negeri bersama sahabat-sahabatnya pada zaman kerajaan Tatar.Sebagian penduduknya mempunyai kebiasaan mabuk-mabukan dan perbuatan maksiat lainnya. Karena tidak sabar dengan hal itu, salah seorang sahabat Ibn Taymiyyah mencoba untuk menegur perbuatan mereka, namun anehnya Ibn Taymiyyah malahan melarangnya seraya berkata “Allah mengharamkan khamar karena ia bisa melupakan seseorang terhadap Tuhan serta kewajiban-kewajibannya selaku hamba-Nya, sementara perbuatan tersebut (meminum khamar) dapat menghentikan mereka dari perbuatan keji lainnya seperti membunuh, merampok, dan lain-lain. Oleh sebab itu biarkanlah mereka!”.[38]

2. Hadis tentang hak waris antara seorang muslim dengan non muslim sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri dan Muslim yang bersumber dari Usāmah ibn Zayd bahwa ia berkata :

لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ.[39]

“Seorang muslim tidak bisa mewarisi harta orang kafir dan begitu juga sebaliknya seorang kafir tidak bisa mewarisi harta seorang muslim”.

Para ulama telah sepakat bahwa non muslim tidak berhak mewarisi harta seorang muslim. Selain itu mayoritas ulama juga berpendapat bahwa seorang muslim juga tidak bisa mewarisi harta non muslim sembari berhujah dengan hadis di atas.[40] Namun Ibn al-Qayyim mempunyai paradigma yang berbeda dengan mereka sebagaimana halnya Ibn Taymiyyah. Melalui rumusan maqāṣid yang dianutnya, Ibn al-Qayyim lebih cendrung kepada pendapat yang menyatakan bahwa seorang muslim berhak mewarisi harta orang kafir, namun tidak sebaliknya. Ibn Qayyim mengklaim bahwa pendapat seperti ini juga dianut oleh sebagian ulama salaf seperti Mu’adh ibn Jabal, Muāwiyah ibn Abī Sufyān, Muḥammad ibn al-Ḥanafiyyah, Sa’īd ibn Musayyab dan lain-lain.[41] Mereka berhujah dengan hadis riwayat al-Bayhaqi, al-Dāraquṭni dan lain-lain yang menegaskan bahwa Islam itu tinggi/mulia dan tidak akan (pernah) direndahkan.

Baca Juga: Menilai Ketepatan Berbahasa Arena dan Kuasa Simbolis

Sedangkan al-Nawāwi lebih cendrung kepada pendapat mayoritas ulama sembari menegaskan “hujah yang digunakan oleh mayoritas ulama adalah benar dan hadis yang mereka gunakan sahih (hadis larangan waris-mewarisi antara muslim dengan non muslim), sedangkan hadis yang menyebutkan Islam itu tinggi dan tidak akan direndahkan, tidak bisa digunakan sebagai hujah dalam hal ini, karena hadis tersebut hanya menunjukkan kemuliaan agama Islam dari agama-agama lain serta tidak berhubungan sama sekali dengan persoalan waris-mewarisi. Sehingga bagaimana mungkin sebuah dalil yang bersifat jelas (nash) di atas ditafsirkan dengan hadis yang tidak ada kaitan sama sekali dengannya? ”.[42]

Adapun perspektif maqāid yang digunakan oleh Ibn al-Qayyim dalam masalah ini adalah karena ia menganggap dengan diperbolehkannya seorang muslim mewarisi harta seorang non muslim, maka hal itu akan memberi motivasi tersendiri buat non muslim dari golongan kāfir dhimmi yang berkeinginan untuk masuk agama Islam. Pada umumnya, mayoritas mereka enggan untuk masuk Islam hanya gara-gara khawatir ketika salah seorang di antara keluarganya yang mempunyai banyak harta meninggal dunia, namun mereka tidak bisa mewarisinya.Maka ini merupakan salah satu bentuk kemaslahatan yang nyata dalam syariat manakala dibandingkan dengan kemudaratan yang ditimbulkannya. Bahkan kemaslahatan dalam hal ini jauh lebih besar ketimbang kemaslahatan lain seperti kebolehan menikahi perempuan-perempuan ahli kitab dengan tujuan mengajak mereka untuk masuk agama Islam serta contoh-contoh lainnya.[43]

Selain itu, Ibn al-Qayyim juga menegaskan bahwa ijtihad seperti ini tidak boleh dipahami secara negatif atau menganggapnya paradoks dengan doktrin agama Islam sendiri. Karena seandainya mereka menghayati apa hikmah dibaliknya berupa motivasi besar terhadap para non muslim supaya mereka masuk ke dalam agama Islam, maka niscaya para ulama itu akan mengakui serta mengubah pandangan mereka. Inilah salah satu di antara bukti keterpengaruhan Ibn al-Qayyim dengan pendapat gurunya Ibn Taymiyyah.Ia menjelaskan hal tersebut secara panjang lebar dalam bukunya yang berjudul Akām ahl al-Dhimmah.

3. Hadis tentang zakat fitr yang harus dikeluarkan berdasarkan kadar makanan pokok yang berlaku di negeri para muzakki sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri dan Muslim yang bersumber dari sahabat Ibn ‘Umar, ia berkata :

“فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ eصَدَقَةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ عَلَى الصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ وَالحُرِّ وَالمَمْلُوكِ”[44]

Rasulullah mewajibkan zakat fitr sebanyak satu a’ dari jenis gandum atau kurma, baik atas anak kecil atau pun orang dewasa, baik yang merdeka maupun seorang hamba sahaya.

Ibn al-Qayyim menerangkan makna hadis tersebut bahwasanya Nabi mewajibkan zakat fitr sebanyak satu a’ dari jenis korma, gandum, ataupun keju. Makanan-makanan ini merupakan makanan pokok di Kota Madinah pada masa Rasulullah masih hidup. Sehingga dapat dipahami bahwa hukum ini berkaitan dengan kultur daerah masing-masing, oleh karenanya penduduk yang tinggal di daerah yang makanan pokoknya selain jenis yang telah disebutkan dalam hadis di atas, seperti jagung, nasi, buah Tin, susu, daging, atau pun ikan, maka mereka wajib mengeluarkan zakatnya dari jenis-jenis tersebut. Pendapat seperti ini dianut oleh mayoritas ulama dan ialah pendapat yang benar, karena tujuan penunaian zakat fitr pada dasarnya hanyalah untuk menutupi kekurangan para fakir miskin sehingga mereka bisa merasakan indahnya hari raya dengan makanan pokok yang bisa mereka konsumsi dan sesuai dengan selera mereka.[45]

Sehingga walaupun tidak ditemukan riwayat yang membolehkan pembayaran zakat fitr dengan tepung misalnya, namun karena maqṣad-nya sudah tercapai, maka hal itu diperbolehkan. Namun walau demikian ia tetap menggarisbawahi bahwa mengeluarkan sesuatu yang tahan lama lebih dianjurkan ketimbang mengeluarkan makanan yang hanya bertahan setengah atau satu hari saja. Oleh sebab itu mengeluarkan zakat berupa biji-bijian lebih dianjurkan ketimbang roti dan makanan, karena sifat biji-bijian yang awet serta bisa dikonsumsi dalam waktu yang relatif lebih lama. Maka dalam hal ini Ibn al-Qayyim menggunakan kaedah perubahan fatwa bisa saja terjadi lantaran perbedaan waktu, tempat, kondisi-kondisi, niat, dan situasi-situasi tertentu.[46]

4. Hadis tentang mengucapkan talak tiga sekaligus dalam satu waktu seperti hadis yang diriwayatkan oleh Muslim yang bersumber dari Ibn ‘Abbas, ia berkata :

“كَانَ الطَّلاَقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ e وَأَبِى بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ طَلاَقُ الثَّلاَثِ وَاحِدَةً، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِنَّ النَّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِى أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ”[47]

Talak pada masa Rasulullah SAW, Khalifah Abu Bakr, dan dua tahun pertama pemerintahan ‘Umar ibn Kha ṭṭāb berlaku ketentuan talak tiga sekaligus jatuh satu. Lalu ‘Umar berkata “nampaknya orang-orang tergesa-gesa dalam urusan yang sebenarnya telah diberikan keleluasaan bagi mereka. Bagaimana seandainya kami memberlakukan suatu hukum atas mereka?, niscaya mereka akan melakukannya (menjatuhkan talak tiga bagi yang menceraikan istrinya tiga kali dengan sekali ucapan).

Baca Juga: Perempuan Haid Tidak Boleh Berdiam Diri di Masjid

Hadis ini menjelaskan bahwa seorang suami yang mentalak tiga istrinya dengan sekali ucap, maka talaknya jatuh satu.Ketentuan ini berlaku pada masa Nabi, Khalifah Abu Bakr, dan dua tahun pertama pemerintahan ‘Umar Ibn Khaṭṭāb.Namun lama-kelamaan manusia seakan meremehkan hal ini dan mereka seenaknya mengucapkan talak tiga sekaligus kepada istri-istri mereka.Oleh sebab itu ‘Umar membuat kebijakan sebagai hukuman bagi mereka berupa ketetapan bahwa talak tiga sekaligus dihitung tiga.Ia melihat adanya sebuah kemaslahatan besar dibalik keputusan tersebut. Setelah ketetapan tersebut diberlakukan tidak satupun di antara sahabat yang memprotes kebijakan Umar sebagai bukti bahwa mereka setuju dengan apa yang ditetapkannya.[48]

Berdasarkan hal di atas, Ibn al-Qayyim cendrung kepada pendapat yang menyebutkan bahwa talak tiga sekaligus merupakan sebuah pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah sehingga pelakunya pantas untuk dikenai sanksi.Apa yang dilakukan ‘Umar sangatlah tepat pada saat itu, sehingga diharapkan tidak ada lagi di kalangan sahabat yang mempermain-mainkan lafadz talak tiga secara sekaligus karena hal itu akan berakibat terhadap putusnya jalinan suami-istri di antara keduanya serta keharusan untuk mencari muallil yang juga akan menyusahkan keduanya. Prinsip yang digunakan di sini sama dengan bahasan sebelumnya, yaitu perubahan fatwa bisa saja terjadi lantaran perbedaan waktu, tempat, kondisi-kondisi, niat, dan situasi-situasi tertentu.

Kalau dilihat sepintas, pendapat Ibn Qayyim dalam hal ini sama dengan pendapat mayoritas ulama yang mengikuti kebijakan ‘Umar. Namun sementara peneliti, khususnya mengenai sikap keagamaan Ibn al-Qayyim, menyebutkan bahwa dalam hal ini ia mengikuti pendapat gurunya Ibn Taymiyyah yang berpendapat bahwa talak tiga sekaligus jatuh satu. Dia bersama gurunya dihukum dan dipenjarakan beberapa kali lantaran fatwanya yang bertolak belakang dengan fatwa mayoritas ulama pada zamannya. Padahal sebenarnya berdasarkan argumentasi yang ia tuliskan dalam karyanya I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, ibn al-Qayyim sepakat dengan keputusan ‘Umar dengan bukti apresiasi yang dia lontarkan terhadap kebijakan tersebut karena mengandung maslahat yang besar pada zamannya.

Penutup

Kesimpulan dari kajian ini adalah bahwa Ibn Qayyim al-Jauziyyah memberi perhatian lebih terhadap konsep ta’līl al-aḥkām,hikmah al-tashri’, dan pengembangan kaedah kulliyyat al-khams kepada kaedah-kaedah lainnya seperti kaedah mengenal Allah dengan seluruh nama dan sifat-Nya serta senantiasa mencintai dan menyembah-Nya, menegakkan keadilan, menjauhi sifat zalim, sombong, syirik, dan permusuhan, menolak tipu daya setan dan mematuhi perintah Tuhan, bersifat benar, sabar, dan bersyukur, serta kaedah-kaedahlainnya. Di samping itu Ibn al-Qayyim juga cendrung kepada kaedah yang menyebutkan bahwa fatwa akan berubah seiring perubahan faktor-faktor yang melatarbelakanginya berupa waktu, tempat, kondisi, niat, dan situasi-situasi tertentu lainnya.[]

Baca Juga: Menilai Ketepatan Berbahasa Arena dan Kuasa Simbolis

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karīm.

‘Aini, Zuhratul, Manhaj Ibn Qayyim al-Jauziyyah fi Ta’līl al-Aḥkām, tesis S-2 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas al-Azhar Mesir, 2009.

‘Āshūr, Al-Ṭāhir ibn, Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, Mesir: Dār al-Salām, 2009.

Abd al-Salām, ‘Izz al-Dīn ibn, Qawā’id al-Aḥkām fī Maṣālih al-Anām, Beyrūt: Dār al-Qalam, 2010.

al-Athqalāni, Ibn Hajr, al-Durar al-Kāminah fi A’yan al-Miah al-Thāminah, India: Majlis Dāirah al-Ma’ārif al-‘Uthmaniyyah, 1972.

al-Badawi, Yūsuf Aḥmad Muḥammad, Maqāṣid al-Sharī’ah ‘Inda Ibn Taymiyyah, Jordania: Dār al-Nafāis, 2000.

al-Bassam, ‘Abdullah ibn Abd al-Raḥmān dan al-Jaṭili, Ibrāhīm ibn Muḥammad al-Ḥamd al-‘Ali, Asrār al-Sharī’ah min I’lām al-Muwaqqi’īn, Riyāḍ : Dār al-Musayyar, 1998.

al-Bukhāri, Muḥammad ibn Ismāil, Ṣaḥīh al-Bukhāri, Beyrūt: Dār Ṭūq al-Najāh, 2001.

al-Dāris, Khālid ibn Mansūr, Athr Maqāṣid al-Sharī’ah fi Fahm al-Ḥadith al-Nabawi; al-Imām Ibn Taymiyyah Namūzajan, dalam Maqāṣid al-Sharī’ah wa Subul Taḥqīqiha fi al-Mujtama’āh al-Mu’āṣirah, Malaysia: Universitas Islam Malaysia, 2006.

al-Fayūmi, al-Miṣbaḥ al-Munīr fi Gharīb al-Sharḥ al-Kabīr, Beyrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.

al-Ghazāli, AbūḤāmid, al-Mustaṣfa, Beyrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010.

al-Ḥasani, Ismā’il, Naẓariyyah al-Maqāṣid ‘Inda al-Imām Muḥammad al-Ṭahir Ibn ‘Ashūr, Rabat: al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islāmi, 1995.

al-Jauziyyah, Ibn Qayyim, Ahkam ahl al-Dzimmah, al-Damam: Rumadi li al-Nasyr, 1997.

al-Jauziyyah, Ibn Qayyim, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, Mesir: Mesir: Dār al-Ḥadīth, 2006.

al-Jauziyyah, Ibn Qayyim, MiftāḥDār al-Sa’ādah, Beyrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.

al-Jauziyyah, Ibn Qayyim, Syifā ’ al-‘Alīl fi Masāil al-Qaḍa wa al-Qadr wa al-Hikmah wa al-Ta’līl, Beyrūt: Dār al-Ma’rifah, 1978.

al-Jundi, Samīḥ ‘Abd al-Wahhāb, Maqāṣid al-Sharī’ah ‘Inda Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Beyrūt: Muassasah al-Risālah, 2008.

al-Nawāwi, Abū Zakariyya, aih Muslim bi Shar al-Nawāwi, Beyrut: Dār al-Kitāb al-‘Arabi, 1987.

al-Qarāḍawi, Yūsuf, Kaifa Nata’āmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, Beyrūt: Dār al-Shoruok, 2002.

al-Qarāḍawi, Yūsuf, Madkhal li Dirāsah al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, Beyrūt: Muassasah al-Risālah, 1993.

al-Raysūni, Aḥmad, al-Fikr al-Maqāsidi; Qawā’iduhu wa Fawāiduhu, Rabāt: Dār al-Kalimah, 2009.

al-Sayyid, Jamal ibn Muḥammad, Ibn Qayyim al-Jauziyyah wa Juhūduhu fī Khidmah al-Sunnah al-Nabawiyyah wa ‘Ulūmiha, Madinah: ‘Imādah al-Baḥth al-‘Ilmi bi al-Jāmi’ah al-Madīnah al-Munawwarah, 2004.

al-Shaṭibi, Abū Isḥāq, al-Muwāfaqāt, Riyāḍ: Dār Ibn ‘Affān, 1997.

al-Shaukāni, Muḥammad ‘Ali ibn, al-Badr al-ali’ bi Maāsin Man Ba’da al-Qarn al-Sābi’, Beyrūt: Dār al-Ma’rifah, t.t.

al-Yūbi, Muḥammad Sa’ad ibn Aḥmad ibn Mas’ūd, Maqāid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah wa ‘Alāqatuhā bi al-Adillah al-Shar’iyyah, Riyāḍ: Dār al-Hijrah, 1998.

‘Audah, Jāsir, Maqāid al-Sharī’ah ‘Inda al-Shaykh al-Qarāawi, Doha: t.pn, 2007.

Hanafi, Mukhlis, Moderasi Islam; Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, Jakarta: Pusat Studi al-Qur’an, 2013.

Ibn Taymiyyah, Taqiyuddīn, Majmu’ al-Fatāwā, Madīnah: Majma’ al-Malk Fahd li Ṭibā’ah al-Muṣḥaf al-Sharīf, 1995.

Khalaf, Abd al-Wahhāb, ‘Ilm Uul al-Fiqh, Mesir: Dār al-Rashīd, 2008.

Muslim, Abū al-Ḥusayn ibn al-Ḥajjaj, aih Muslim, Beyrūt: Dār al-Jīl, t.t.


[1] Wacana ini pernah digulirkan oleh salah seorang pemikir maqāṣid asal Maroko, Aḥmad al-Raysūni. Dalam bukunya al-Fikr al-Maqāṣidi; Qawā’iduhu wa Fawāiduhu, dijelaskan bahwa geliat kajian maqāṣid yang semakin berkembang akhir-akhir ini, telah menuntun kita untuk menjadikannya sebagai salah satu piranti epistemologis dalam pengembangan ilmu-ilmu syariat serja kajian-kajian pemikiran Islam lainnya. Lihat Aḥmad al-Raysūni, al-Fikr al-Maqāṣidi; Qawā’iduhu wa Fawāiduhu, (Rabat: Dār al-Kalimah, 2009), cet. 1, hal. 8-9.

[2] Lihat kumpulan makalah seminar tersebut yang dihimpun dalam dua jilid besar dengan tema Maqāṣid al-Sharī’ah wa Subul Taḥqīqiha fi al-Mujtama’āh al-Mu’āṣirah, (Malaysia: Universitas Islam Malaysia, 2006), cet. 1, vol. 2, hal. i

[3] Dosen Hadis dan Ulumul Hadis Universitas Malk Su’ud Arab Saudi.

[4] Lihat Khālid ibn Mansūr al-Dāris, Athr Maqāṣid al-Sharī’ah fi Fahm al-Ḥadith al-Nabawi; al-Imām Ibn Taymiyyah Namūzajan, dalam Maqāṣid al-Sharī’ah wa Subul Taḥqīqiha fi al-Mujtama’āh al-Mu’āṣirah, (Malaysia: Universitas Islam Malaysia, 2006), cet. 1, vol. 2, hal. 417. Hal senada juga diungkapkan oleh Mukhlis Hanafi. Dalam salah satu bukunya ia menyatakan bahwa Islam dan umatnya saat ini menghadapi, paling tidak, dua tantangan. Pertama, kecendrungan sebagian umat Islam untuk bersikap ekstrem dan ketat dalam memahami hukum-hukum agama dan memaksakan cara tersebut di tengah masyarakat Muslim, bahkan dalam beberapa hal dengan menggunakan kekerasan. Kedua, kecendrungan lain yang juga ekstrem dengan bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada prilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan peradaban lain. Lihat Mukhlis Hanafi, Moderasi Islam; Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, (Jakarta: Pusat Studi al-Qur’an, 2013), cet. 1, hal. 1.

[5] Lihat Yūsuf Aḥmad Muḥammad al-Badawi, Maqāṣidal-Sharī’ah ‘Inda Ibn Taymiyyah, (Jordania: Dār al-Nafāis, 2000), cet. 1, hal 9-10.

[6] Lihat Samīḥ‘Abd al-Wahhab al-Jundi, Maqāṣidal-Sharī’ah ‘Inda Ibn Qayyim al-Jauziyyah, (Beyrūt: Muassasah al-Risālah, 2008), cet. 1, hal 7-14.

[7] Lihat Ismā’il al-Ḥasani, Naẓariyyah al-Maqāṣid ‘Inda al-Imām Muḥammad al-Ṭahir Ibn ‘Ashūr, (Rabāt: al-Ma’had al-‘Ālami li al-Fikr al-Islāmi, 1995), cet. 1, hal. 62. Muḥammad Sa’ad ibn Aḥmad ibn Mas’ūd al-Yūbi, Maqāṣidal-Sharī’ah al-Islāmiyyah wa ‘Alāqatuhā bi al-Adillah al-Shar’iyyah, (Riyāḍ: Dār al-Hijrah, 1998), cet. 1, hal. 63. dan Jāser ‘Audah,Maqāṣidal-Sharī’ah ‘Inda al-Shaykh al-Qarāḍawi, (Doḥa: t.pn, 2007), hal. 15.

[8] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, (Mesir: Dār al-Ḥadīth, 2006), vol. 2, hal. 5. Dan al-Yūbi, Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah wa ‘Alāqatuhā bi al-Adillah al-Shar’iyyah, hal. 61.

[9] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, vol. 2, hal. 5.

[10] Yusūf al-Qarāḍowi, Madkhal li Dirāsah al-Sharī’ah al-Islāmiyah, (Beyrūt: Muassasah al-Risālah, 1993), cet. 1, hal. 9.

[11]al-Jundi, Maqāṣidal-Sharī’ah ‘Inda Ibn Qayyim al-Jauziyyah, hal. 62.

[12] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Syifā’ al-‘Alīl fi Masāil al-Qaḍa wa al-Qadr wa al-Hikmah wa al-Ta’līl, (Beyrūt: Dār al-Ma’rifah, 1978), cet. 1, vol. 1, hal. 229.

[13] Lihat biografi lengkapnya dalam Ibn Hajr al-Athqalāni, al-Durar al-Kāminah fi A’yan al-Miah al-Thāminah, (India: Majlis Dāirah al-Ma’ārif al-‘Uthmaniyyah, 1972), cet. 2, vol. 2, hal. 137. Muḥammad ‘Ali ibn al-Shaukāni, al-Badr al-ali’ bi Maāsin Man Ba’da al-Qarn al-Sābi’, (Beyrūt: Dār al-Ma’rifah, t.t), vol. 2, hal. 143. Dan Jamal ibn Muḥammad al-Sayyid, Ibn Qayyim al-Jauziyyah wa Juhūduhu fī Khidmah al-Sunnah al-Nabawiyyah wa ‘Ulūmiha, (Madinah: ‘Imādah al-Baḥth al-‘Ilmi bi al-Jāmi’ah al-Madīnah al-Munawwarah, 2004), cet. 1, hal. 81.

[14] al-Fayūmi, al-Miba al-Munīr fi Gharīb al-Shar al-Kabīr, (Beyrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), vol. 2, hal. 504.

[15] Zuhratul ‘Aini, Manhaj Ibn Qayyim al-Jauziyyah fi Ta’līl al-Akām, (tesis S-2 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas al-Azhar Mesir, 2009), hal. 76-75. Dan Al-Ṭāhir ibn ‘Āshūr, Maqāid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, (Mesir: Dār al-Salām, 2009), cet. 4,hal. 46-42.

[16] ’Abd al-Wahhāb Khālaf, ‘Ilm Uūl al-Fiqh, (Mesir: Dār al-Rashīd, 2008), hal. 58.

[17] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Syifā’ al-‘Alīl fi Masāil al-Qaa wa al-Qadr wa al-Hikmah wa al-Ta’līl, vol. 1, hal. 207. ‘Abdullah ibn Abd al-Raḥmān al-Bassam dan Ibrāhīm ibn Muḥammad al-Ḥamd al-‘Ali al-Jaṭili secara khusus telah mengumpulkan hikmah dan rahasia-rahasia syariat dari buku I’lām al-Muwaqqi’īn dalam buku khusus yang mereka beri judul Asrār al-Sharī’ah min I’lām al-Muwaqqi’īn. Lihat ‘Abdullah ibn Abd al-Raḥmān al-Bassam dan Ibrāhīm ibn Muḥammad al-Ḥamd al-‘Ali al-Jaṭili, Asrār al-Sharī’ah min I’lām al-Muwaqqi’īn, (Riyāḍ : Dār al-Musayyar, 1998), cet. 1, hal. 15.

[18] Lihat ‘Izz al-Dīn ibn Abd al-Salām, Qawā’id al-Akām fī Maālih al-Anām, (Beyrūt: Dār al-Qalam, 2010), cet. 4, vol. 1, hal. 28. Abū Isḥāq al-Shaṭibi, al-Muwāfaqāt, (Riyāḍ: Dār Ibn ‘Affān, 1997), cet. 1, vol. 3, hal. 44. Al-Ṭāhir ibn ‘Āshūr, Maqāid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, hal. 237. ’Abd al-Wahhāb Khālaf, ‘Ilm Uūl al-Fiqh, hal. 63. Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatāwā, (Madīnah: Majma’ al-Malk Fahd li Ṭibā’ah al-Muṣḥaf al-Shārīf, 1995), vol. 21, hal. 240.

[19] AbūḤāmid al-Ghazāli, al-Mustafa, (Beyrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010), cet. 2, hal. 275.

[20] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, MiftāDār al-Sa’ādah, (Beyrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), vol. 2, hal. 119.

[21] al-Jundi,Maqāidal-Sharī’ah ‘Inda Ibn Qayyim al-Jauziyyah, hal. 224-244.

[22] Yūsuf Aḥmad Muḥammad al-Badawi, Maqāid al-Sharī’ah ‘Inda Ibn Taymiyyah, hal. 265-279.

[23] al-Shaṭibi, al-Muwāfaqāt, vol. 2, hal. 6.

[24] al-Jundi,Maqāidal-Sharī’ah ‘Inda Ibn Qayyim al-Jauziyyah, hal. 258.

[25] Lihat Q.S. al-A’raf : 157.

[26] al-Jundi,Maqāidal-Sharī’ah ‘Inda Ibn Qayyim al-Jauziyyah, hal. 254.

[27] ‘Izz al-Dīn ibn Abd al-Salām, Qawā’id al-Akām fī Maālih al-Anām, vol. 1, hal. 6-15.

[28] ‘Izz al-Dīn ibn Abd al-Salām, Qawā’id al-Akām fī Maālih al-Anām, vol. 1, hal. 6.

[29]al-Yūbi, Maqāid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah wa‘Alāqatuhā bi al-Adillah al-Shar’iyyah, hal. 494.

[30] Yūsuf al-Qarāḍawi, Kaifa Nata’āmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Beyrūt: Dār al-Shoruok, 2002), cet. 2, hal. 155.

[31] Q.S. Al-Nisā’, ayat 83.

[32]Hadis sahih riwayat al-Bukhāri, Muslim, Abū Dāūd, Nasā’i, yang bersumber dari Abū Sa’īd al-ṭayālisi. Lihat al-Bukhāri, Ṣaḥīh al-Bukhāri, (Beyrūt: Dār Ṭūq al-Najāh, 2001), cet. 1, vol. 4, hal. 137. Muslim, Ṣaḥīh Muslim, (Beyrūt: Dār al-Jīl, t.t), cet. 1, vol. 3, hal. 110.

[33] Yūsuf al-Qarāḍawi, Kaifa Nata’āmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, hal. 150.

[34]Lihat ‘Izz al-Dīn ibn Abd al-Salām, Qawā’id al-Akām fī Maālih al-Anām, vol. 1, hal. 14. Bandingkan dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, vol. 2, hal. 5. Dan Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatāwā, vol. 10, hal. 512.

[35] Hadis sahih riwayat Muslim, Abū Dāūd yang bersumber dari Umm Salamah, Ibn Abī Syaybah, dan Aḥmad. Lihat Muslim, aīh Muslim, vol. 3, hal. 148.

[36]Hadis sahih riwayat al-Bukhāri, Muslim, Aḥmad, Abū Ya’lā, al-Ṭabrāni, al-Dārimi, al-Bayhaqi, dan Abū ‘Awānah. Lihat al-Bukhāri, aīh al-Bukhāri, vol. 9, hal. 62. Dan Muslim, aīh Muslim, vol. 3, hal. 1477.

[37] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, vol. 3, hal. 6.

[38] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, vol. 3, hal. 6.

[39] Hadis sahih riwayat al-Bukhāri, Muslim, Abū Dāūd, al-Tirmidhi, al-Nasā’i, Ibn Mājah yang bersumber dari Usāmah ibn Zayd, al-Ḥākim, al-Bayhaqi, al-Ṭayālisi, Aḥmad, dan lainnya.Lihat al-Bukhāri, aīh al-Bukhāri, vol. 8, hal. 152. Dan Muslim, aīh Muslim, vol. 3, hal. 1233.

[40] al-Nawāwi, aih Muslim bi Shar al-Nawāwi, (Beyrut: Dār al-Kitāb al-‘Arabi, 1987), cet. 4, vol. 4, hal. 58.

[41] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Akām ahl al-Dhimmah, (al-Damām: Rumādi li al-Nashr, 1997), cet. 1, vol. 2, hal. 853.

[42] al-Nawāwi, aih Muslim bi Shar al-Nawāwi, vol. 4, hal. 58.

[43] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Akām ahl al-Dhimmah, vol. 2, hal. 856.

[44] Hadis sahih riwayat al-Bukhāri dan Muslim.Lihat al-Bukhāri, Ṣaḥīh al-Bukhāri, vol. 2, hal. 130. Dan Muslim, Ṣaḥīh Muslim, vol. 2, hal. 677.

[45] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, vol. 3, hal. 12.

[46] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, vol. 3, hal. 6 dan 12.

[47] Hadis sahih riwayat Muslim dan lainnya, lihat Muslim, Ṣaḥīh Muslim, vol. 4, hal. 183.

[48] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn, vol. 3, hal. 25 dan 29.

Yunal Isra
Alumni MTI Canduang, Pengajar di Darus-Sunnah, dan Peneliti di El-Bukhari Institute