Oleh: Wiza Novia Rahmi*
Sekitar 12 tahun lalu setelah menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar, kepada saya ditawarkan oleh orangtua untuk masuk pesantren. Sebagai anak bungsu tentu manut saja. Tidak ada keinginan menolaknya. Selain daripada itu, pelajaran agama telah menjadi hal yang menyenangkan untuk saya pelajari. Sehingga ada keterkaitan ketika diperkenalkan kepada saya pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Sulaiman Arrasuli; Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang.
Dengan kondisi keuangan yang boleh dibilang cukup tetapi dibantu oleh nilai rapor yang memadai, akhirnya saya melewati tahapan tes dengan baik. Langsung diterima menjadi santri pondok pesantren Tarbiyah pertama di Indonesia tersebut, sekaligus mendapat potongan biaya pendidikan sekian persen. Itu semua terjadi pada tahun 2009. Saya yang mulanya enggan lantaran masa pendidikannya selama tujuh tahun, kemudian menjadi patuh dan tunduk terhadap apa yang sudah dititahkan demi kebaikan di masa depan.
Hari-hari terus berjalan dengan cepatnya. Setiap pagi selalu diantar oleh Apa (sebutan yang diajarkan kepada kami anak-anaknya) lalu siangnya pulang dengan berjalan kaki. Jarak satu setengah kilometer memang terasa jauh, tapi cukup dinikmati saban hari. Sesekali kalau berlebih uang belanja, dapatlah naik ojek di Simpang Sungai Janiah, setelah sebelumnya berbimbing tangan dengan kawan-kawan melewati Kubu Suduk. Dari simpang di depan stasiun tersebut, terus lurus ke arah Sungai Janiah sekira 800 meter. Persis sebelah kanan sesudah Dangau Rundo, menjadi tempat pulang paling nyaman.
Baca Juga: Kaum Santri dari Kampar: “Sempena Peringatan Hari Santri Nasional Tahun 2020”
Demikian terus hingga tahun-tahun telah sampai di angka ke tujuh. Lalu lepas landas melanjutkan belajar ke perguruan tinggi. Saya condongkan badan dan pikiran ke Pendidikan Bahasa Arab, sebab tak ingin jauh dari ilmu agama dan kitab kuning. Empat tahun lamanya menjadi mahasiswa membuat saya semakin cinta akan pondok pesantren. Kondisi dalam perkuliahan terutama di jurusan saya ternyata masih kental suasana santrinya. Satu hal tertinggi yang membuat saya betah belajar juga mengulang kaji.
Wisuda di saat pandemi masih tinggi-tingginya, adalah hal yang harus diterima dengan lapang dada. Maka tidak ada perizinan yang membolehkan beramai-ramai ke kampus membawa toga, padahal inilah salah satu cita-cita terbesar anak untuk orangtua. Alhasil, daripada bertambah pula satu semester lagi, dikuat-kuatkan hati untuk serius menggarap skripsi. Namun beberapa bulan sebelum itu, saat tahun ajaran baru saya bergabung di Pondok Pesantren Darul Makmur (PPDM) Sungai Cubadak. Mengampu mata pelajaran Bahasa Arab, Sharaf dan Tafsir.
Tujuh tahun lamanya menjadi santri, lalu lanjut empat tahun di perguruan tinggi dengan masih merasa sebagai santri. Kini, memasuki tahun kedua berada di PPDM. Setiap hari bertemu santri dengan jilbab lilik dan baju basiba, dengan seragam dan kopiahnya, dengan kitab-kitab yang didekap di dada. Saya tetap menganggap diri sebagai santri. Kadang menjelma sebagai kakak perempuan bagi mereka. Mendengarkan ciloteh dan curhatan terutama di usia emasnya.
Baca Juga: Hari Santri Nasional bagi Pesantren di Sumatera Barat, Pentingkah?
Momen Hari Santri Nasional di setiap tahunnya telah berhasil mengembalikan ingatan tentang belajar di pondok pesantren. Juga membuat saya semakin bersemangat mengajar di pondok pesantren. Berguru dan kemudian menjadi guru (dari santri menjadi guru). Terima kasih tak terhingga untuk para guru saya yang amat ikhlas memberi ilmu. Semoga sehat selalu dan Allah panjangkan umurnya. Dan terkhusus kepada Inyiak Canduang beserta guru-guru yang sudah mendahului, semoga Allah lapangkan kuburnya. Semoga kelak Allah izin agar berjumpa di surga. Sebab tanpa guru -yang darinya dapat digugu dan ditiru- santri tidak akan sempurna memperoleh segala ilmu. Selamat Hari Santri Nasional. Teruslah menjadi santri berbakti sepenuh hati. || WNR
(Belajar Mengajar di Pondok Pesantren Darul Makmur Sungai Cubadak Baso)
Leave a Review