Sudah sejak pertengahan tahun 2012 ruang publik-ruang publik masyarakat dijejali oleh berbagai pose orang-orang gagah dan orang-orang cantik dengan pesona yang menawan. Pose itu terpampang di berbagai material media, mulai dari yang sederhana sampai yang canggih. Peletakannya juga bervariasi, mulai dari yang dipajang secara legal di tempat yang sudah disediakan, hingga yang bergelantungan di tiang-tiang listrik dan pepohonan. Jika sudah tiba masa-masa seperti ini, publik maklum bahwa tahun politik semakin dekat. Tahun ini, kerap disebut sebagai tahun politik.
Di tahun politik ini, Partai Politik dan calon legislatif (caleg-selanjutnya disebut caleg) berlomba mempromosikan diri untuk membangun citra positif di depan publik. Sehingga tidak heran, berbagai pose manawan berjejalan di berbagai titik strategis ruang publik. Oleh Chaney (2006) perburuan penampilan dan citra diri masuk dalam permainan konsumsi. Tidak terkecuali dalam politik, maka tampilan citra berorientasi pada konsumsi publik. Oleh karenanya, iklan politik dikemas sedemikian rupa, penuh kemewahan, serba berkilau dan bercahaya neon serta dunia janji kemewahan yang berlimpah (Peter L. Berger).
Mencermati berbagai model pose yang ada, baliho para caleg tidak kurang lebih sama dengan iklan produk barang atau jasa. Mentereng dan mengumbar janji. Dalam politik, kecenderungan pemanfaatan media oleh partai-partai politik atau tokoh-tokoh politik dalam rangka pemenangan suatu pemilihan ditentukan oleh perubahan sistem politik yang bersifat desentralistik, yang karenanya dibutuhkan suatu mode komunikasi yang lebih penetratif dengan masyarakat (Yuniar, 2011).
Dari Baliho Hingga Berita Iklan
Di Sumatera Barat, berdasarkan penelitian yang penulis lakukan menjelang Pemilu 2014, penulis menemukan empat model iklan politik yang digunakan oleh caleg. Pertama, iklan media luar ruang. Iklan ini kerap kita temui di sepanjang jalan-jalan utama sampai gang-gang sempit. Produknya bisa dalam bentuk baliho, poster, spanduk, sticker dan material kampanye. Model ini sangat mudah ditemukan di berbagai ruang publik. Bisa berdiri di tiang-tiang yang dibuat sendiri, tiang listrik, pohon-pohon besar dan kecil, kendaraan (umum dan pribadi), tembok-tembok hingga dinding rumah penduduk. Biasanya di tempat strategis seperti persimpangan jalan utama kota, kerap berjejer bersama iklan produk barang dan jasa. Bersaing ukuran dan model yang mentereng dengan iklan baliho-baliho yang menawarkan barang dan jasa. Pola gambar dan warna dan bahasa yang digunakan bahkan lebih mencolok dan mentereng.
Kedua, iklan di media elektronik. Iklan model ini terbagi dalam bentuk audio dan audio visual. Secara substansi tidak ada beda antara kedua model ini. Iklan ini biasa muncul dalam bentuk ucapan-ucapan selamat di hari-hari tertentu. Ucapan sering disampaikan oleh pimpinan partai atau langsung oleh caleg. Perbedaan antara keduanya hanya pada teknis, iklan audio muncul di radio, sementara iklan audio visual muncul di televisi. Ketiga, iklan di media cetak. Iklan di media cetak ini tidak jauh berbeda dengan iklan-iklan produk barang dan jasa. Hanya saja, di media cetak caleg tidak menggunakan fasilitas iklan baris. Kecenderungannya adalah pada halaman utama yang berwarna dengan menyertakan foto.
Keempat, iklan dalam bentuk berita. Iklan model ini agak sulit membedakan antara iklan dengan berita. Karena kadang-kadang kemasannya tidak begitu terlihat sebagai iklan, tapi pada dasarnya adalah iklan. Biasanya, iklan dalam bentuk berita ini berisi seputar kegiatan si caleg di tempat-tempat tertentu. Khusus untuk iklan dalam bentuk berita ini, kadang-kadang media menuliskan di bagian berita dengan kode advetorial, namun kadang-kadang tidak disebutkan. Pada bagian ini sulit membedakan antara iklan dan berita sesungguhnya, karena memang kemasannya persis seperti berita. Pada bagian ini, menjadi rumpil membuktikan apakah berita tersebut murni berita atau sesungguhnya iklan. Tapi, bagi mereka yang kritis, mudah sekelai mengenali, karena biasanya isi berita selalu tentang kebikan subjek yang beriklan.
Oleh sebagian caleg, iklan media luar ruang dalam bentuk baliho, spanduk, stiker dan lain sebagainya dianggap sangat efektif untuk mensosialisasikan diri mereka kepada publik dan biaya yang relatif murah. Selain itu, juga langsung kepada penerima pesan (pemilih) yang dikehendaki. Hal inilah kemudian yang mendorong munculnya berbagai pose iklan di jalanan dan di pohon-pohon. Bahkan sebagian besar melanggar aturan.
Meskipun iklan media luar efektif, namun tidak serta merta memberikan pemaknaan positif seperti apa yang dicitrakan oleh partai politik, caleg dan calon kepala daerah. Masyarkat memiliki pemaknaan terhadap iklan berdasarkan pengalaman masa lampau. Pengalaman masa lampau kemudian yang mengkonstruksi pemaknaan masyarakat terhadap iklan tersebut. Bagi sebagian masyarakat, baliho, poster, spanduk dan berbagai bentuk media kampanye politik tidak lebih hanya sebatas iklan. Iklan yang mereka maksudkan di sini adalah, hanya sebatas janji. Dalam bahasa lokal, publik menyebutnya dengan sitilah “kecap”. Kecap yang mereka maksudkan adalah hanya sebatas pemanis dan sebatas janji. Hal ini mereka maknai karena kecenderungan umum partai politik dan politisi hanya datang dan memberikan janji dalam momen-momen politik.
Reorientasi Konstruksi Citra
Pola hidup masyarakat modern yang konsumtif melahirkan perilaku hidup yang serba instan. Tidak terkecuali dalam kehidupan politik yang menggiring masyarakat dan pelaku politik pada upaya-upaya yang serba instan. Sejatinya, politik adalah jalan untuk untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dengan menggunakan kekuasaan yang dimiliki. Namun dengan pola yang serba instan, apa yang dicita-citakan oleh politik kemudian bergeser pada upaya pencitraan diri partai politik dan pelaku politik.
Dalam upaya pencitraan, perlaku-perilaku instan menjadi pilihan dalam membangun citra positif terus digandrungi oleh pertai politik, caleg dan juga calon kepala daerah. Adalah media yang kemudian menjadi jembatan dalam upaya-upaya praktis dan instan dalam membangun citra di panggung publik. Iklan kemudian menjadi salah satu media yang digandrungi untuk mendongkrak citra melalui berbagai saluran. Dalam politik modern, iklan politik terus berkembang dan menyesuaikan dengan selera masyarakat yang juga menjelma menjadi konsumen politik.
Meskipun dalam pandangan partai politik, caleg menggunakan baliho, spanduk dan poster adalah media efektif untuk memperkenalkan diri kepada publik, namun masyarakat memiliki pemaknaan sendiri terhadap iklan berdasarkan pengalaman mereka terhadap perilaku partai politik, caleg dan calon kepala daerah. Dalam pandangan mereka, iklan tidak lebih hanya sebatas janji politik dan material iklan merupakan sampah visual.
Atas dasar pemaknaan masyarakat terhadap iklan politik, penting bagi partai politik, caleg maupun calon kepala daerah tidak hanya mempertimbangkan popularitas, tapi jauh lebih penting adalah elektabilitas. Bagimana membangun elektabilitas? Partai politik, caleg dan calon kepala daerah harus bekerja bersama dan untuk kepentingan masyarakat sejak mereka dipercaya oleh masyarakat sebagai represntasi mereka.[]
Tulisan ini sudah pernah dimuat di Padang Ekspres tanggal 4 Februari 2014, dimuat lagi dalam website ini sebagai pembelajaran.
Leave a Review