Baca Selebelumnya: Rethinking Konsep Nusyûz Penyebab Ketiadaan Nafkah bagi Istri Bagian 1
Konsep Nusyûz Berdasarkan Hukum Progresif
1. Reinterprestasi Konsep Nusyûz
Berawal dari konsep fikih klasik tentang konsep nusyûz kenyataannya semata-mata telah dipahami sebagai pembangkangan atau ketidaktaatan istri terhadap suami, meskipun dalam KHI juga tidak disebut konsep nusyûz secara gamblang namun akibat nusyûz istri yang dicerai tidak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Konsep nusyûz seperti itu sudah sepatutnya ditinjau ulang kembali, karena perubahan kondisi sosio-kultural masyarakat saat ini. Penjelasan para ulama dan fuqahak tentang nusyûz, dalam kitab-kitab fikih dan realitasnya di masyarakat selama kurun waktu yang panjang, bahkan berabad-abad merupakan hal yang kodrati atau sesuatu yang terberi (taken for granted). Umumnya masyarakat memandang interpretasi ulama/pemahaman keagamaan itu bukan sebagai sesuatu yang socially constructed (hasil rekayasa pemikiran manusia), terutama karena sudah diberi label ajaran syariat sehingga dipandang sakral dan tidak ada ruang untuk mengkritisinya apalagi sampai mengubahnya. Model pemahaman inilah yang masih mendominasi kajian hukum konvensional tentang perempuan. Seperti istri yang keluar dari rumah suaminya dianggap sebagai nusyûz, di era keterbukaan sekarang perempuan telah mandiri dan mampu pergi bahkan bekerja di luar rumah, maka hal itu mungkin tidak relevan lagi. Nusyûz istri terhadap suami yang dirumuskan fuqahak terdahulu sebagai ketidaktaatan istri terhadap suami yang meliputi keluar rumah tanpa izin dan sebagainya itu sudah perlu ditinjau ulang kembali agar fikih dapat menyesuaikan seiring dengan kemajuan zaman.
Salah satu kekeliruan suami dalam memahami Q.S an-Nisā‘ (4): 34 yang sering dianggap tidak membela kaum perempuan yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, sehingga melegalisasikan pemukulan suami ketika istri berbuat nusyûz. Ayat ini sering dijadikan alasan yang mendukung budaya patriakhri, yaitu bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan baik dalam masyarakat secara umum, maupun dalam rumah tangga. Padahal ayat tersebut kata rijal dan nisa dalam ayat tersebut tidak bersifat umum yaitu laki-laki dan perempuan dalam hubungannya dalam rumah tangga, yaitu relasi suami dan istri. Karena dalam ayat tersebut dipaparkan juga tentang perempuan yang saleh yang menjaga diri ketika suaminya tidak ada, serta tindakan laki-laki ketika perempuan berbuat nusyûz. Maka, laki-laki dan perempuan dalam konteks ini adalah suami dan istri dalam rumah tangganya.
Perintah untuk mempergauli istri dengan ma’ruf dan larangan untuk berbuat aniaya terhadap istri terdapat dalam Q. S al-Baqārah (2): 228-229, dan Q. S an-Nisā‘ (4): 19. Bahkan, dalam Tafsir al-Mizan, dinyatakan bahwa Q. S an-Nisā‘ (4): 19 tentang perintah untuk mempergauli para perempuan dengan baik adalah bersifat umum, yaitu dalam kehidupan masyarakat. Ayat ini turun dalam kondisi masyarakat Arab yang menjadikan perempuan sebagai harta warisan, yang dapat dinikahi tanpa membayar mahar, atau hanya untuk dikuasai hingga ia meninggal dan kemudian hartanya diwarisi.[1] Oleh karena itu, perlu dirumuskan batasan nusyûz, sehingga pemukulan terhadap istri diperbolehkan. Konsep nusyûz dalam hukum Islâm tidaklah melegalkan kekerasan terhadap istri. Pemukulan terhadap istri yang berbuat nusyûz yang termuat dalam Q. S an-Nisā‘ (4): 34 hendaknya dimaknai sebagai tindakan untuk memberi pelajaran, bukan untuk menyakiti bahkan berbuat kekerasan dalam rumah tangga, karena pemukulan tersebut tidak boleh melukai. Sementara tindakan suami yang memukul istri hingga luka atau kekerasan suami terhadap istri dapat dinyatakan sebagai nusyûz suami terhadap istri.
Wahbah az-Zuhaili mengemukakan bahwa, nusyûz istri adalah lebih pada relasi seksual. Artinya ketika istri tidak disibukkan oleh pelbagai alasan yang menjadi kewajibannya, atau tidak terbayang-bayangi oleh kekerasan yang mungkin dilakukan oleh suaminya.[2] Hukum Islâm yang berbicara soal perempuan khususnya nusyûz di masyarakat pada umumnya telah dibaca dengan pemahaman yang mentransendenkan pemahaman teks-teks kitab suci sehingga terlepas dari konteks sejarah dan antropologinya.[3] Seperti yang dinyatakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, bahwa bacaan umat Islâm terhadap teks-teks agama lebih menekankan pada talwin daripada takwil, karenanya, tidak heran jika bacaan mereka sarat dimuati ideologi atau bias-bias tertentu.[4] Realitas pandangan ini seringkali dijadikan dasar bagi kaum laki-laki untuk melegitimasi tindakan superioritas, sistem sosial, dan keluarga yang di dalamnya menoleransi kekerasan, pada gilirannya pasti akan menciptakan rasa tidak aman dan mungkin saja kekacauan. Apalagi jika kepemimpinan atau kekuasaan dalam sistem sosial atau keluarga digunakan untuk kepentingan duniawi, maka ini berarti merupakan pra-kondisi untuk sebuah malapetaka dan kehancuran.
Totalitas ketaatan seorang istri pada suaminya nampaknya telah diyakini sebagai ajaran Islâm yang harus diwujudkan dalam konteks zaman. Ajaran seperti ini telah dipraktikkan oleh sebagian masyarakat patriarkhi secara turun temurun dan dicarikan pembenarannya dalam ajaran Islâm. Boleh jadi tradisi ini sengaja dipertahankan dan dijustifikasikan oleh dogma agama dalam rangka mencapai tujuan tertentu seperti mendominasi dan menguasai perempuan mulai dari rumah tangga sampai masyarakat luas. Posisi perempuan terutama sebagai istri sangat rentan sekali sebagai pihak yang dipersalahkan dan seakan-akan munculnya keretakan rumah tangga adalah karena ketidaktaatan istri terhadap suami, istri tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pembelaan diri apalagi mengoreksi tindakan suaminya dan sebaliknya, suami mempunyai kedudukan yang sangat leluasa untuk menghukumi apakah tindakan istrinya sudah bisa dikatakan sebagai nusyûz atau tidak.
Seolah-olah KHI (termasuk fiqh) menampakan wajah ketidakadilan (bias gender) melalui istilah nusyûz, yang boleh dikatakan hanya dirasakan oleh perempuan. Akibatnya dalam ranah hukum keluarga, wajah yang ditampilkan oleh fikih lebih terkesan sangar dan tidak humanis di depan publik. Padahal tanpa disadari banyak perilaku maupun tindakan pria (suami) yang kurang mencerminkan syariat yang semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan (the values of justice), persamaan (equality) dan kemanusiaan (humanity). Suami tidak jarang menyakiti, menzalimi, memojokkan dan merugikan istri yang seharusnya dilindungi dan dihormati. Tidak jarang kita mengkaitkan konsep nusyûz sebagai pemicu terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini ada benarnya juga, karena jika istri nusyûz suami diberikan berbagai peluang untuk melakukan tindakan dalam memperlakukan istrinya. Mulai dari tindakan untuk memukulnya, menjauhinya, tidak memberinya nafkah baik nafkah lahir maupun batin dan pada akhirnya suami juga bertindak untuk menjatuhkan talaq terhadap istrinya. Ketidakadilan akibat nusyûz disematkan keprilaku perempuan bahkan sampai ke ranah pengadilan seperti tidak memperoleh nafkah.
KHI tidak mengatur secara khusus bagian tersendiri terkait masalah nusyûz. Artinya, tidak ada bab ataupun bagian khusus dalam KHI yang mengatur tentang nusyûz. KHI menyebutnya sebanyak enam kali dalam tiga pasal yang berbeda, yaitu dalam pasal 80, 84, dan pasal 152. Namun, dari sekian pasal tersebut, tidak ditemukan pengertian tentang nusyûz. Pasal tersebut juga tidak disebutkan langkah-langkah penyelesaiannya jika terjadi nusyûz. Selain itu, tidak diatur pula mengenai adanya nusyûz suami. Hanya mengatur kriteria adanya nusyûz dari pihak istri, serta akibat hukumnya. Kriterianya dari pihak istri diatur dalam pasal 84 ayat (1), yaitu istri dapat dianggap nusyûz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
Hukum Islâm bukanlah diktum-diktum yang mati, sebagai suatu produk hukum, KHI perlu dikaji ulang sebagaimana efektivitasnya mengatur perilaku masyarakat di bidang perkawinan. Sejarah manusia selalu berubah dari zaman ke zaman, dari satu tempat ke tempat yang lain dan terus berjalan. Perubahan atas wacana-wacana keagamaan, dan pikiran-pikiran manusia, merupakan keniscayaan sejarah menuju Islam rahmatan lil alamin. Oleh sebab itu agar tidak salah dalam memahami nusyûz dalam KHI sudah seharusnya direvisi agar dianggap tidak bertentangan dengan al-Qurán. KHI sebagai fikih corak Indonesia tentu tidak bebas dari kuasa, nilai, dan kepentingan, terutama dari apparatus pembentuknya yang patriarkis, akibatnya perempuan cenderung dihadapkan dengan tembok ketidakadilan, subordinasi, superioritas maskulin, dan ketidakseimbangan.
Sebagaimana uraian di atas konsep nusyûz pengertiannya lebih ditekankan sebagai pembangkangan istri terhadap suami, sesuatu yang mengesankan makna searah yakni istri yang membangkang terhadap janji atau komitmen, dan sama sekali tidak mengena untuk suami. Padahal pembangkangan bisa saja terjadi dari dua arah baik istri maupun suami. Lihat bagaimana KHI hanya meletakan nusyûz dalam pasal 84 ayat 1 sampai 4 terhadap istri dan tidak menyentuh sama sekali terhadap suami. Dalam KHI disebut istri yang tidak melaksanakan kewajiban kepada suami jika tanpa alasan syar’i, dianggap nusyûz, sehingga berakibat gugurnya kewajiban suami terhadap istri. Tidak adanya pembahasan nusyûz suami jika tidak melaksanakan kewajibannya kepada istri, dengan konsekuensi gugurnya kewajiban istri terhadap suami. Dalam konteks ini KHI hanya dianggap searah dalam membahas isu tentang nusyûz, tidak seimbang oleh karenanya dianggap tidak mubādalah, oleh sebab itu perlu dipahami ulang agar lebih mubādalah.
Baca Juga: Konsep Akad Mudharabah Musytarakah Bagian 1
2. Nusyûz dan Hak-hak Perempuan
Hubungan suami istri tidak selamanya dipelihara secara harmonis dalam ikatan perkawinan. Munculnya perubahan pandangan hidup yang berbeda antara suami dan istri, menimbulkan perselisihan dalam rumah tangga yang mengubah suasana harmonis menjadi percekcokan, kasih sayang menjadi kebencian. Sehingga mengakibatkan pasangan suami istri tidak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan perjanjian pernikahan. Salah satu perbuatan yang melanggar pernikahan adalah perilaku istri tidak melaksanakan hak dan kawajibannya terhadap suami. Perbuatan istri seperti ini berakibat buruk terhadap keharmonisan hubungan pernikahan dan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan ikatan pernikahan. Dalam hal istri tidak menjalankan kewajibannya yang disebut dengan nusyûz.
Diantara aspek yang berhubungan dengan pernikahan itu adalah kewajiban suami untuk memberi nafkah kepada istrinya. Tetapi, apakah istri masih berhak untuk mendapatkan nafkah ketika ia berbuat nusyūz (membangkang terhadap suaminya), atau memang hak istri untuk mendapatkan nafkah itu, menjadi gugur. Para ulama berbeda pendapat mengenai nafkah bagi istri yang nusyuz, diantaranya ialah Imam al-Syâfi‘î dan Ibnu Hazm. Al-Syâfi‘î mengatakan bahwa jika istrinya melarikan diri, atau enggan melayani syahwat suaminya, atau jika istri seorang hamba sahaya dan tuan istrinya melarang untuk bersetubuh dengan suaminya, maka suaminya tidak berkewajiban menafkahi istrinya.[5] Maksud dari istri yang nusyūz itu sendiri adalah seorang istri yang membangkang atau menolak perintah suami dimana istri tidak dapat melaksanakan kewajibannya terhadap suami, salah satu perbuatan nusyūz itu sendiri yaitu seorang istri yang menolak untuk mencampuri oleh suaminya dan melarikan diri dari tanggung jawabnya, seperti yang dikemukakan oleh al-Syâfi‘î di atas bahwa jika istrinya melarikan diri dan enggan melayani suaminya maka suaminya tidak berkewajiban menafkahi istrinya.
Kedudukan hukum nafkah bagi istri yang nusyūz, menurut kesepakatan para imam madzhab, hukumnya adalah haram dan dapat menggugurkan hak nafkah. Masing-masing suami istri wajib berlaku yang baik terhadap pasangannya dan masing-masing wajib memenuhi hak pasangannya dengan senang hati dan tidak menunjukkan kebencian. Oleh karena itu, istri wajib taat kepada suaminya, tetap tinggal di rumah, dan suami berhak melarangnya keluar dari rumah. Suami pun wajib membayar mahar serta memberi nafkah. Demikian menurut ijma‘para imam madzhab.[6] Alasan lain bagi jumhur ulama adalah bahwa nafkah yang diterima istri merupakan imbalan dari ketaatan yang diberikan kepada suami. Oleh karena itu, istri nusyūz (hilang ketaatannya) pada suami dalam suatu masa dalam pernikahan, ia tidak berhak atas nafkah yang diberikan oleh suami selama masa nusyūz dan kewajiban itu kembali dilakukan setelah nusyūz itu berhenti.[7]
Madzhab Syâfi‘î dalam masalah ini memiliki dua pendapat, dalam qawl qadîm al-Syâfi‘î berpendapat bahwa sebab suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya adalah akad perkawinan, karena akad nikah menghalalkan persetubuhan (istimta‘) dan istimta’ wajib dilakukan karena akad. Sedangkan dalam qaul jadîd, al-Syâfi‘î berpendapat bahwa sebab suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya adalah jimak (persetubuhan), karena apabila nafkah wajib karena akad maka suami yang menceraikan istrinya sebelum dijimak diwajibkan membayar seluruh mahar yang telah ditentukan.
Sedangkan Ibnu Hazm menyatakan bahwa suami berkewajiban menafkahi istrinya sejak terjalin akad nikah, baik suami mengajaknya hidup serumah atau tidak, baik isteri masih dalam buaian, istri nusyūz atau tidak nusyūz, kaya atau fakir, mempunyai bapak atau yatim, gadis atau janda, merdeka atau budak, semuanya disesuaikan oleh kemampuan suami. Alasan Ibnu Hazm didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:[8]
وهلن عليكم رزقهن وكسوهتن باملعروف – رواه مسلم
Mereka berhak mendapat belanja dari kamu dan pakaian dengan cara yang ma‘rûf. (HR. Muslim)
Zahir hadis di atas menghendaki pemberian nafkah bagi seluruh istri, tanpa ada suatu batasan, apabila ia (istri) nusyūz atau tidak, tetap berhak untuk mendapatkan nafkah. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kedurhakaan itu tidak menggugurkan nafkah karena nafkah itu bukan diwajibkan lantaran istimta’ hanya diwajibkan karena pernikahan.[9] Jadi dalam konsep ulama Zahiriyah istri yang nusyûz tidak gugur haknya dalam menerima nafkah, alasannya ialah nafkah itu diwajibkan atas dasar akad nikah tidak pada dasar ketaatan. Bila suatu waktu ia tidak taat kepada suaminya, ia hanya dapat diberi pengajaran, atau pisah tempat tidur atau pukulan yang tidak menyakiti. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S an-Nisā’ (4): 34. Ibnu Hazm berkata: sama sekali tidak ada keterangan dari para sahabat tentang perempuan nusyūz kemudian tidak berhak menerima nafkah. Nusyūz istri tidak menjadi penghalang mendapatkan hak atas nafkah yang diberikan oleh suaminya. Menurut Ibnu Hazm nafkah itu merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh suami kepada istrinya sejak akad nikah berlangsung meskipun istri itu nusyūz atau tidak.
Jika merujuk pada penegakan hukum, maka menurut Philippe Nonet dan Philip Selsznik bahwa penegakan hukum dipengaruhi secara kondisional dari materi aturan hukum dan undang-undang bersama penegak hukum, sarana, masyarakat, dan kebudayaan. Teori hukum responsif dan penegakan hukum harus digunakan untuk melihat bagaimana rasionalitas dan kelengkapan suatu hukum, satu kesatuan dan koherensi antara hukum materi dan acara akan menentukan terlaksananya hak istri dan anak, dan tercapainya tujuan dari ditetapkannya hukum tersebut. Selain teori penegakan hukum dan responsif hukum, teori perubahan hukum juga hendaknya dipakai sebagai paradigma untuk memahami permasalahan akibat nusyûz istri. Anderson[10] menyatakan bahwa perubahan hukum berlaku dan terjadi pada hukum keluarga Islâm di seluruh negara Muslim, secara ‘intra doctrinal reform’ dan ‘ektra doctrinal reform’.’[11] Sementara menurut Ian Edge, pembaharuan yang terjadi merupakan metode pembaharuan yang mengadopsi model legislasi sekuler.[12]
Hak-hak istri yang diadopsi oleh KHI termasuk hak-hak yang disepakati oleh jumhur fuqahak, yang keseluruhannya yaitu 1. Hak nafkah ‘iddah, 2. Hak mut’ah, 3. Hak atas hadanah, dan 4. Hak atas upah hadanah.[13] Dalam ketentuan pasal 149 KHI dinyatakan: “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul; b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyûz dan dalam keadaan tidak hamil; dan pasal 152 menyebutkan: “Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali bila ia nusyûz”
Dalam al-Qurán hukum tentang hak nafkah istri yang dicerai sangat jelas dan kuat. Dalil yang dirujuk ulama adalah Q.S al-Nisá’ (4): 34 dan al-Baqarah (2): 233, dengan argumentasi bahwa istri yang ditalak raj’i masih belum putus status istrinya. Begitu juga Q.S al-Talaq (65): 1, 6, dan 7. Mengenai mut’ah sebagai pemberian bagi istri yang belum di-wati’ adalah Q.S al-Ahzab (33): 49, al-Baqarah (2): 231. Sementara tentang mut’ah talak didasarkan pada Q.S Al-Baqarah (2): 236-237. Dikarenakan kekuatan dalilnya, ulama fikih bersepakat tentang kewajiban ini bahkan terhadap istri yang talak ba’in, dengan perbedaan beberapa ulama. Karena itu, KHI mengadopsi pendapat terkuat tentang pemberian mut’ah talak ini. Ayat-ayat ini ditopang pula dengan sejumlah hadis yang terang tentang kewajiban pemberian nafkah ini.
Jika dikaji lebih lanjut materi hukum perkawinan di sejumlah negara Muslim modern telah beranjak jauh dari ketentuan asal fikih klasik. Misalnya, penyerahan langsung hak istri yang dicerai dan pencantuman sanksi bagi suami yang tidak mengeluarkan hak-hak istri yang dicerai dalam jangka waktu yang ditetapkan hukum. Begitu juga, aturan hukum nusyûz telah mendapat refleksi begitu mendalam dan di-break down sejelas mungkin dari segi pengertian, kriteria, batasan-batasannya sedemikian rupa hingga menutup jalan penyalahgunaan pemakaian yang merugikan perempuan, yang tentunya disesuaikan dengan konteks sosial kemasyarakatan negara tersebut. Menyadari terjadinya penyalahgunaan aturan nusyûz ini oleh suami, maka negara Irak membuat terobosan revolusioner bahwa kondisi nusyûz istri tidak mencegah istri untuk mendapatkan hak nafkah selama menjalankan masa iddah. Masih di negara Irak, penghitungan hak nafkah istri yang dicerai dikalkulasi sejak dimulainya proses gugatan, jadi bukan setelah putusan jatuh. Bahkan negara-negara yang minoritas Muslim dan termasuk negara tertinggal secara ekonomi telah juga banyak melakukan pembaharuan hukum keluarganya yang berperspektif gender, seperti negara Somalia. Pembaharuan-pembaharuan hukum keluarga di dunia Muslim modern saat ini menjadi dasar teoretis kajian penegakan hukum terhadap hak-hak istri dari korban perceraian.
Dalam wacana fikih tradisional isu nusyûz merupakan topik bahasan wajib yang tidak terpisahkan dari aturan tentang nafkah dan mut’ah maka dalam undang-undang keluarga muslim terlihat kondisi nusyûz mulai tidak dicantumkan dengan tegas bahkan ada yang tidak menerimanya sebagai penghalang perolehan nafkah iddah dan mut’ah, seperti negara-negara muslim modern antara lain Irak, Yordan, Tunisia, Siria, dan Mesir hanya Indonesia yang secara tegas masih mencantumkan dan mengaitkan nusyûz sebagai kondisi yang menghalangi perolehan nafkah ‘iddah, sedangkan Irak sebaliknya dengan tegas mencantumkan bahwa nafkah ‘iddah tidak gugur dikarenakan tindakan nusyûz. Hal ini merupakan perombakan yang sangat radikal dari negara Irak mengingat hukum nusyûz termasuk kesepakatan mutlak sepanjang generasi ulama fikih tradisional. Negara Irak memang ada menyebutkan nusyûz sebagai penghalang nafkah bagi istri dalam perkawinan tetapi penyebutan itu bukan dalam rangka mengukuhkan aturan nusyûz, melainkan seperti halnya yang dilakukan negara Turki dan Iran, yaitu untuk menghapuskan kekaburan atau tepatnya memodifikasi dan membatasi perbuatan yang dikategorikan sebagai nusyûz. Rumusan ulang serta berbagai konsideran yang terlihat dalam undang-undang keluarga Turki, Irak, dan Iran memperlihatkan upaya negara-negara ini untuk beranjak dan melepaskan diri dari pandangan mazhab Hanafi. Dalam hal ini, negara Irak begitu juga Iran mengadopsi pendapat mazhab Imamiyah.
Pandangan fikih tradisional terbagi dua dalam menetapkan kriteria tindakan nusyûz istri. Pandangan pertama mendasarkan pada ketidakpatuhan istri menuruti hak kekang suami di dalam rumah, yang merupakan pendapat Hanafi. Adapun pandangan kedua mendasarkan pada ketidakpatuhan istri untuk menyerahkan dirinya dan memenuhi keinginan (terutama sekali keinginan seksual) suami yang merupakan pendapat semua kelompok selain Hanafi. Akan tetapi Imamiyah berada di tengah-tengah antara pendapat ekstrem Hanafiah di satu sisi dan Syafi‘iyah serta Malikiyah di sisi lain. Walaupun Imamiyah sependapat dengan kelompok yang mendasarkan nusyûz pada ketidakmauan istri menyerahkan diri untuk digauli, tetapi Imamiyah tidak sepakat dengan kelompok ini, sebaliknya sepakat dengan Hanafiah, bahwa istri yang sakit dan cacat yang tidak memungkinkan suami untuk mewathi’ dirinya tidak menjadi gugur hak nafkahnya. Di lain pihak, Imamiyah tidak sepakat dengan Hanafiah dan Syafi‘iyah yang menghukumkan nusyûz terhadap istri yang keluar rumah tanpa izin suami, walaupun untuk kepentingan ibadah wajib. Begitu mendasarnya syarat tidak keluar rumah bagi Hanafiah dalam mengklaim istri nusyûz sehingga dalam keadaan talak ba‘in pun istri harus tetap tinggal di rumah suami dengan dibuatkan pembatas, dan kalau tidak memungkinkan untuk membuat pembatas justru suami yang harus keluar rumah dan istri tetap tidak boleh keluar dan dikeluarkan dari rumah. Bahkan, istri yang sakit dan tidak sanggup pindah dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya tidak wajib bagi suami untuk memberikan nafkah.
Aturan nusyûz suami yang diisyaratkan Q.S an-Nisá’ (4): 128 tetapi tidak dikembangkan konsekuensi hukumnya dalam fikih tradisional sekarang menjadi perhatian utama negara-negara Muslim modern dan dijadikan konsideran dalam menilai tindakan dan respons istri. Istri diberikan kesempatan untuk tidak hanya menerima, bersabar, dan dikorbankan hak-haknya ketika suami nusyûz, seperti yang dipahami dalam pandangan fikih tradisional. Negara Turki, Irak, dan Iran merasa perlu mengadakan aturan hukum yang tegas bahwa istri yang terancam disakiti dan dirugikan dikarenakan kelakuan suami, tidak hanya secara materil tetapi juga moril, seperti nama baik, karier, atau kesehatan pikiran, boleh pergi atau keluar dari rumah tanpa seizin suami, dan dengan perbuatannya meninggalkan rumah ini istri tidak kehilangan hak-haknya terhadap nafkah. Aturan yang mempertimbangkan aspek psikis perempuan ini jelas merupakan langkah pembaharuan yang signifikan karena dalam pemikiran hukum Barat pun disebut sebagai kekerasan psikologis hal ini masih terbilang baru.
Negara Irak adalah yang paling jauh dan liberal melakukan pergeseran dalam hukum nusyûz sekaligus memiliki aturan yang paling detail dan komprehensif dibanding semua negara Muslim lainnya. Irak menetapkan bahwa istri hanya bisa diklaim nusyûz dalam tiga hal yaitu; (1). Keluar rumah tanpa izin suami dimana istri tidak memiliki alasan, (2). Melakukan tindak pidana dan, (3). Menolak bepergian dengan suami tanpa alasan yang dibenarkan hukum. Sampai di sini Irak telah bergeser dari pendapat Hanafi yang menetapkan tindakan keluar rumah tanpa izin suami sebagai satu-satunya ukuran. Lebih dari itu, Irak menetapkan bahwa pengadilan tidak bisa memutuskan seorang istri berbuat nusyûz bila istri tersebut memiliki alasan atas tindakannya. Selanjutnya, undang-undang Irak menguraikan dengan jelas alasan-alasan yang membenarkan perbuatan istri tidak mematuhi suami. Irak dalam hal ini mengadopsi dan menggabungkan atau melakukan talfiq antara pendapat Hanafi dan mazhab Imamiyah. Bahkan di beberapa negara Muslim modern juga telah mencantumkan dalam undang-undang tentang nusyûz suami dengan memberi ancaman tindak pidana.
Berkenaan dengan aturan nusyûz, negara Indonesia dan Tunisia masing-masing masih menerapkan pandangan mazhab tradisionalnya; Syâfi‘î dan Máliki, yang relatif kurang berpihak pada perempuan dibanding aturan mazhab lainnya. Selain itu negara-negara ini juga, dalam hal ini termasuk Pakistan, masih membiarkan pengertian nusyûz terbuka untuk dipahami dan disimpulkan secara subjektif.
Baca Juga: Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia Melalui Kompilasi Hukum Islam Bagian 1
Kesimpulan
Dengan menggunakan metode tafsir maudhui terkait dengan persoalan nusyuz, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
- Sesungguhnya bahwa nusyûz dapat terjadi dan dilakukan kedua belah pihak suami istri, dengan demikian kesan selama ini bahwa nusyûz merupakan monopoli perempuan hendaknya dihilangkan.
- Konsep nusyûz dalam hukum Islâm tidaklah melegalkan kekerasan terhadap istri. Pemukulan terhadap istri yang berbuat nusyûz yang termuat dalam Q.S. an-Nisâ’ (4): 34, hendaknya dimaknai sebagai tindakan untuk memberi pelajaran, bukan untuk menyakiti bahkan berbuat kekerasan, karena pemukulan tersebut tidak boleh melukai.
- Istri yang nusyûz (baik dicerai atau tidak) berhak memperoleh nafkah karena telah mengabdi kepada suami sehingga tidak gugur haknya dalam menerima nafkah kecuali istri telah terbukti berbuat zina.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, KHI di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 1992.
Abdullah, Erfani Aljan, Hukum Perceraian Islam Kontemporer, Yogyakarta; Deepublish, 2016.
Al-Bugha, dan Mustafa al-Khin, Musthafa, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i, Surabaya: Al-Fithrah, 2000, Juz IV.
Al-Dimasyqi, Syekh Al-‘Allâmah Muhammad Ibn ‘Abdurrahmân, Fiqih Empat Madzhab, Bandung: Hasyimi Press, 2004.
Al-Sadlani, Shaleh bin Ghanim, Nusyûz, Konflik Suami Isteri dan Penyelesaiannya, terj. Muhammad Abdul Ghafar, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993.
Al-Shabuni, Muhammad, Ali, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qurán, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
Al-Syâfi‘î, Abû ‘Abdullâh, Al-Umm, Beirut: Dâr alKitâb al-‘Alamiyyah. t.t.
Al-Hanafi, Zainuddin Ibn Najm, al-Bahr ar-Ra’iq, Pakistan: Karachi, t.t.
Al-Naysaburî, Abû al-Hasan Muslim Ibn al Hajjaj, Shahîh Muslim, Jilid IV, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1994.
Al-Qurtubi, Jami’ al-Ahkām al-Qurān, Juz 5, Maktabah Syamilah.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
At-Tabataba‘i, Sayyid Muhammad Khan, al-Mizan fi at-Tafsir al-Qurán, Beirut: Al-A‘lami, t.t.
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Juz VII, Bairut: Dar al-Fikr, 1997.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islâm, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Fayumi, Badriyah, Islâm dan Masalah Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan; Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, Yogyakarta: LKiS, 2002
Engineer, Asghar Ali, Matinya Perempuan: Menyingkap Mega Skandal Doktrin dan Laki-Laki, terj. Akhmad Affandi, cet. ke-1, Yogyakarta: Irchisod, 2003.
Ganim, Saleh bin, Nusyûz, terj. A. Syaugi Algadri, cet. ke-4, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Hazm, Ibn, Al-Muhalla, Beirut: Dâr al-Afaq alJadîdiyyah, 1980.
Jassas, Imam al-, Ahkām al-Qurān, Beirut: Al-A‘lami, t.t.
Manzur, Ibn, Lisan al-‘Arabi, Beirut: Dar Lisan al-‘Arabi, ttp, III.
Mudzhar, Atho’, Pengukuhan Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum, IAIN SUKA, Yogyakarta: 15 September 1999.
Munawwir, Achmad Warson, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progresif, ed. II, 2002.
Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, Beirut: Dar al-Ilmi al-Malayin, 1964.
Mulia, Siti Musdah, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Bandung: Mizan, 2005.
Muhammad, Husain, Refleksi Teologis Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, dalam Syafiq Hasyim (ed.), Menakar Harga Perempuan, cet. ke-1, Bandung: Mizan, 1999.
Kadir, Faqihuddin Abdul, Qiraah Mubadalah, Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islâm, Yogyakarta: IRCiSoD, 2019.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islâm di Indonesia, cet. ke-3, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
Rusydi, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid, jilid 2, Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, 1969.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Suyanto, J. Dwi Narwoko dan Bagong, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana, 2007.
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1999.
Qasim, Syekh Muhammad bin, Fathul Qārib, Surabaya: Kharisma, tt.
Qutb, Sayyid, Fi Zhilali al-Qur’an, juz I, Cairo: Dar asy-Syuruq, 1985.
Zayd, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Mafhum an-Nas: Dirâsah Fi Ulûm al-Qur’an, Terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKiS, 2005.
[1] Sayyid Muhammad Khan at-Tabataba‘i, al-Mizan fi at-Tafsir al-Qurán, Beirut: Al-A‘lami, t.t, IV, hlm. 253-254.
[2] Wahbah az-Zuhaili, Op., Cit., hlm. 339.
[3] Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, hlm. 203-204
[4] Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Mafhum an-Nas: Dirâsah fi Ulûm al-Qur’an, Terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKiS, 2005, hlm. 101.
[5] Abû ‘Abdullâh Al-Syâfi‘î, Al-Umm, Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Alamiyyah. t.th., juz.VIII, hlm. 33.
[6] Syekh Al-‘Allâmah Muhammad Ibn ‘Abdurrahmân Al-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Bandung: Hasyimi Press, 2004, hlm. 361.
[7] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, hlm. 173.
[8] Ibn Hazm, Al-Muhalla, Beirut: Dâr al-Afaq alJadîdiyyah, 1980, juz. XI, hlm. 321.
[9] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, hlm. 283.
[10] M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution (Eds), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab- kitab Fiqh, Jakarta: Ciputat Press, 2003, hlm. 207-208.
[11] Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World, London: The Athlone Press, 1976, hlm. 34.
[12] Ian Edge (Ed.), Islamic Law and Legal Theory, New York: New York University Press, 1996, hlm. 578-579.
[13] Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, jilid 2, Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, 1969, hlm. 102-105: Wahbah al-Zuhayli, Op., Cit., vol. 9, hlm. 7201-7202, vol. 10, hlm. 7230.
Leave a Review