Pagi hari Selasa (17/11) ini, kami berkesempatan menziarahi makam, masjid, surau dan pondok suluk Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi al-Naqsyabandi yang terletak di Kampung Mungka, Payakumbuh, Sumatera Barat.
Merujuk pada kampung halamannya di Mungka, beliau dikenal juga dengan nama Syekh Sa’ad Mungka al-Naqsyabandi.
Syekh Sa’ad Mungka (1857-1922) tercatat sebagai salah satu ulama sentral Minangkabau pada peralihan abad 19-20 M. Menurut Buya Apria Apria Putra Abiya Hilwa, sejarawan dan filolog Islam Minangkabau, di Minangkabau pada masa peralihan abad tersebut, terdapat dua ulama besar yang menjadi pusat jaringan intelektual wilayah itu. Keduanya adalah Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1916) yang berkedudukan di Makkah, dan Syekh Sa’ad Mungka yang berkedudukan di Mungka.
Jika Syekh Ahmad Khatib Minangkabau terkenal dengan tabahhur dan kepakarannya dalam bidang ilmu fikih (syari’at), maka Syekh Sa’ad Mungka terkenal dengan kepakarannya dalam bidang ilmu tasawuf (tarekat).
Kedalaman pengetahuan Syekh Sa’ad Mungka dalam ilmu tasawuf ini tercermin dalam kapasitasnya sebagai seorang mursyid besar Tarekat Khalidiyah Naqsyabandiyah, salah satu tarekat terbesar dan banyak tersebar di Minangkabau, selain Tarekat Syathariyah.
Antara dua kutub ilmu keislaman Minangkabau itu, yaitu Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Sa’ad Mungka, pernah terlibat perdebatan yang cukup sengit terkait masalah amaliah persulukan dalam tarekat.
Dalam perdebatan tersebut, keduanya meninggalkan jejak karya intelektual berupa kitab yang dapat kita telisik pada saat ini. Mula-mula Syekh Ahmad Khatib Minangkabau menulis kitab berjudul “Izhar Zaghl al-Kadzibin fi Tasyabbuhihim bi al-Shadiqin” (اظهار زغل الكاذبين في تشبههم بالصديقين) yang mana di sana beliau mengkritik beberapa aspek ajaran dan amalan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.
Syekh Sa’ad Mungka, dalam kapasitasnya sebagai mursyid besar Tarekat Naqsyabandiah Khalidah pada masa itu, menulis sebuah bantahan atas kitab di atas. Bantahan tersebut berjudul “Irgham ‘Unuf al-Muta’annitin fi Inkarihim Rabithah al-Washilin” (ارغام عنف المتعنتين في انكارهم رباط الواصلين).
Terlepas dari perdebatan di atas, keduanya adalah pilar terpenting dalam sejarah ideologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) di Minangkabau. Beberapa ulama besar Aswaja di Minangkabau abad 20, seperti Buya Sulaiman Arrusuli, Buya Abdul Lathif Syakur, Buya Jamil Jaho, Buya Ibrahim Parabek, Buya Sirajuddin Abbas dan yang lainnya, tercatat sebagai murid dari dua Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Sa’ad Mungka.
Syekh Sa’ad Mungka pernah lama mukim dan belajar di Makkah. Di antara guru beliau di kota suci adalah Syekh Muhamad Sulaiman Hasbullah al-Makki (w. 1912), Syekh Nawawi Banten (w. 1897), Syekh Ahmad Pattani (w. 1908) dan lain-lain.
Perjumpaan antara Syekh Sa’ad Mungka dengan Syekh Nawawi Banten tampak pada naskah kitab “Kasyifah al-Saja Syarah ‘Ala Safina al-Naja” karya Syekh Nawawi Banten versi cetakan Mathba’ah al-Bahiyyah di Kairo (Mesir) bertahun 1301 H (1883 M) milik Syekh Sa’ad Mungka.
Syekh Sa’ad Mungka juga satu thabaqat dengan ulama-ulama Jawa-Madura yang menjadi mahaguru para pendiri Nahdlatul Ulama (NU), seperti Syekh Mahfuzh Tremas (w. 1920), Syekh Khalil Bangkalan (w. 1925), Syekh Ahmad Muhtarom Banyumas (w. 1927), Syekh Mukhtar Atharid Bogor (w. 1930) dan lain-lain.
Alhamdulillah, pagi itu kami dapat menziarahi petilasan Syekh Sa’ad Mungka bersama Kiai Idrus Ramli, Kiai Ma’ruf Khozin, Gus Najih Ramadhan, Buya Apria, Ust Andrial, Para Buya PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan kawan-kawan PCNU Payakumbuh.
Wallahu A’lam
Payakumbuh, Rabi’ul Tsani 1442 Hijri
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban
Mhn izin pak….
Kalau bsa usul, agar kiranya ulama dizaman reformasi skrg ini kurang bersosialisasi. Kami belum mendapatkan bagaimana prospek ulama ke depan. Seperti para tokoh yang telah bapak paparkan pada risalah di atas.
Apalagi pada zaman sekarang ini, sudah banyak percapur bauran dan jual beli agama terhadap politik.
Maka dari itu melalui bapak kami mohon kiranya ter bentuk forum silaturrahmi ulama se Sumatera barat. Kami ambil contoh yang terjadi di beberapa daerah sudah banyak yang tidak fasih dan mau terhadap penyelenggaraan jenazah. Para khatib fan penceramah tidak lagi peduli dengan jamaahnya malahan lebih mengutamakan uang. Dewan masjid hanya banyak membaur dengan pencitraan, dengan program yang tidak jelas. Ceramah banyak menggunakan lucunya saja, belum nampak sesuai dengan didaktik dan pedagogig generasi milenial sekarang. Saya tak tahu kemana tempat untuk bertanya pulang untuk berberita. Khilaf dan kurang saya mohon dimaafkan.
Wassalam FAISAL.