scentivaid mycapturer thelightindonesia

Saatnya Kita Mencari Sanad Wirid-wirid Mereka

Saatnya Kita Mencari Sanad Wirid wirid Mereka
Teks Wird

Sanad Wirid Sanad Wirid

Ulama-ulama Minangkabau dimasa dahulu dikenal dengan kharisma, ketegasan, dan tingkat spritual yang tinggi. Berbagai cerita sudah diperdengarkan, diantaranya cerita mutawatir tentang keistimewaan amalan mereka. Bila sekarang, sementara kawan menilai ada sesuatu yang hilang dari anak-anak siak kita, maka saya bisa tebak ialah hilangnya spritualitas itu. Membaca kitab kuning pintar, tetapi “hati” tidak diperhatikan. Malah sebagian mengganggap amal ulama-ulama dulu tidak penting saat ini, yang penting pandai membaca, pandai berhujjah. Maka samalah nasibnya dengan petani yang sibuk mencari alat, tapi tak bercocok tanam. Berbuah tak berbuah tak jadi soal. Bukankah ilmu kitab itu hanya alat belaka?!

Kegelisahan sementara kawan, hemat saya, akan terobati bila kitab dipersandingkan dengan “amal”, amal dalam tanda kutip. Itu ulama kita masa silam, bersayap dua. Dengan dua sayap itu mereka terbang membumbung ke angkasa. Maka spirit untuk mengkhatam kaji dengan pati sebuah ijazah “wirid” perlu. Tapi pertanyaannya, dimana akan dicari ijazah itu? Wirid-wirid kita sudah banyak yang munqathi’, sementara kita dilalaikan oleh kepiawaian seseorang mengi’rab kalimat, dan menganggap itulah puncak tertinggi.

Tiga ulama kita, dalam catatan saya, mempunyai buku wirid, yaitu Syekh Ahmad Baruah Gunuang, Syekh Salim Bayur, dan Syekh Sulaiman Canduang. Siapa yang masih menyimpan ijazah wirid-wirid itu, sulit dijawab. Mungkin sekali: tak ada.

Baca Juga: Abuya H. Zafrullah Dt. Bungkuak bin Syekh Muhammad Kanis Tuangku Tuah

Baca Juga: Menyampaikan dengan “Rasa”; Angku Mudo Mardianto dan Tarekat Sammaniyah

Saya berusaha, dua yang didapat. Ijazah Hizib Bahar yang muttasil dengan Syekh Thaha Limbukan (w. 1912), dan Ijazah Thariqat Aceh yang muttasil dengan Syekh Abdul Wahid Tobekgodang. Itupun dengan onak duri.

Oleh sebab itu, sekali, kitab mesti ditutup. Segala hal ihwal i’rab mesti dilupakan. Supaya tenggelam dalam lautan hening, seperti buya-buya kita dulu.

Apria Putra
Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Pengampu Studi Naskah Pendidikan/Filologi Islam, IAIN Bukittinggi dan Pengajar pada beberapa pesantren di Lima Puluh Kota