Mencari sahabat yang benar-benar ikhlas, setia, sebiduk sependayungan, dan sifat-sifat kebaikan lainnya amatlah sulit. Banyak diantara orang yang kita anggap sebagai sahabat, bahkan dikasihi, ternyata berdekat dengan kita karena suatu sebab, yang tak lain keuntungan-keuntungan, bukan dibangun atas suatu yang murni.
Di antara sahabat yang ikhlas, yang murni itu, ialah sahabat yang dapat mengingatkan kealpaan kita; dan sahabat yang menjadi tempat kita mengaji dan mengulang-ulang kaji. Sahabat seperti itu sulit di dapat, dan kalau didapat ibarat permata yang patut dipertahankan lama.
Ramadhan kali ini, seorang muda belia (foto di atas) yang bersekolah di sekolah negeri, datang kembali ke kediaman, dengan niat mengulang-ulang kaji. Ia ikhlas. Tampak dari kesederhanaan, dan apa adanya. Tidak ada yang dituntutnya kecuali mengulang kaji, kemudian sekedar bercerita soal-soal agama yang patut. Saya anggap kedatangannya sebagai persahabatan, meskipun saya tentu jauh lebih tua secara umur, namun secara tuah bisa saja ia mempunyai madad ruhani yang lebih kuat.
Setelah Tarawih digelar, setelah saya memenuhi permintaan mengisi wirid-wirid Ramadhan, ia datang membawa Ajurumiyah, Matan Sanusi, dan Matan Kaelani. Beberapa malam kami rencanakan mengulang “langkah”, pengajian yang diturunkan dari Belubus. Saya yakini ini sebagai persahabatan yang khalis, bukan karena keuntungan-keuntungan dunia, bukan pula sebab sebuah hasrat nafsu amarah yang bertengger di belakangnya. Persahabatan ini sulit diperoleh, larang dijumpai.
Mengulang kaji, mendaras kembali kitab-kitab matan, adalah semacam obat. Maka sahabat tadi sudah membawa obat bagi jiwa. Jika sehari-hari hati lalai, maka ia menjadi wasilah untuk kembali mengingatkan jalan yang mesti ditempuh, atau kaji yang semestinya didawamkan dalam faham.
Mengulang kaji, mendaras kembali kitab, ialah obat, sebagaimana yang saya saksikan sendiri dari guru-guru dan ulama-ulama. Di antara kisah-kisah itu, sebagai berikut:
1. Seorang tua yang tengah berbaring dalam sakit tuanya, di Taeh; lemah badannya, ingatan pun mulai hilang. Orang tua ini didatangi oleh guru saya, dengan tujuan berta’ziyah. Karena sama-sama memegang Thariqat Samman, guru saya membacakan kaifiyat Samman. Mendengar itu orang tua yang lemah tadi bergetar; timbul kuat pada persendiannya, timbul kembali ingatannya pada kaji, lupa pula ia dengan sakit yang sedang dirasainya.
2. Abuya al-Mu’ammar Syaikh Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno, cucu Baliau Batuhampa, ulama kharismatik Batuhampar, saat ini berusia senja, lebih dari 95 tahun. Apabila kita datang menziarahi beliau dengan membawa kitab, membaca membaca beberapa baris, maka terbit semangat beliau. Suaranya menjadi lantang, ingatannya kuat, hilang lemah badannya. Maka ketika itu kita melihat beliau seperti berumur 50 tahun saja, padahal sudah hampir seabad usianya.
3. Saya menyaksikan alm. Abuya Syekh Mughni Daud di Bulakan Tinggi. Beliau ulama tua, murid senior dari alm. Syekh Kanis Tuangku Tuah Batu Tanyuah. Saya bertemu beliau tinggal di surau suluk-nya di Bulakan Tinggi. Usia beliau sangat sepuh, tapi ramah tamah. Berjalan sudah tampak lemah. Suara beliau halus. Mata sudah kurang. Telingapun sudah jauh. Namun bila beliau disodorkan Kitab Hikam Ibnu ‘Atha’illah terang mata beliau, nyaring telinganya, dan lantang suaranya.
Baca Juga: Ibnu ‘Atha`illah Pun Awalnya Menentang Tasawuf
Maka persahabatan yang khalis/ suci itu harus diraih. Bukan persahabatan hasrat jiwa yang tercela. Bukan pula sahabat yang hanya sibuk memuji-muji kita.
Saya kemudian memahami mengapa dalam ilmu thariqat, adab itu terbagi tiga (selain adab kepada Allah dan Rasul yang mesti ditunaikan), yaitu adab kepada guru, adab kepada diri sendiri, dan adab kepada teman/ sahabat sejalan. Dulu saya bertanya, mengapa mesti ada pula adab kepada teman/ sahabat seperjalanan. Ternyata bersahabat/ bertaulan/ berikhwan itu penting, yaitu untuk saling ingat mengingatkan, isi mengisi, obat mengobati, nasehat menasehati.
Sungai Antuan, 17 April 2021
Leave a Review