Sakali Aia Gadang Sakali Tapian Baraliah
Perubahan dalam hidup itu barang biasa, yang namanya hidup tentu ia berubah. Jangankan yang hidup, benda mati pun juga berubah. Bergelombang budaya dan pemikiran datang silih berganti, ada yang baik ada pula yang buruk. Apalagi zaman bak sekarang, mandi di Padang makan di Jawa sudah jadi barang harian.
Dahulu lain modelnya, sekarang lain pula. Banyaklah ragam orang dalam menyikapi perubahan ini. Ada yang menerima dan mengikut segala bentuk perubahan, ada pula yang menerima setelah melakukan penyaringan, ada pula yang menolak habis-habisan.
Adalah kebiasaan masyarakat membuat tapian mandi di pinggir sungai, ketika aia gadang (air bah) datang, tepian tadi akan mengalami perubahan, bisa jadi rusak atau hilang hanyut bersama air bah tadi.
Umpama air bah datang setiap hujan lebat itu barang yang lazim. Betapapun besar air bah yang datang, nan tepian tetap harus didirikan jua. Ada prinsip yang harus dipegangteguh yang diterima dari orang-orang tua terdahulu yang telah sahih kebenarannya. Bukan sembarang orang tua, Engku Penghulu, Engku Katik, Engku Malin orang paham adat dengan agama, siang dengan malam mengaji kitab dan menyurahkannya.
Mendirikan tepian sebuah kelaziman, kalau tidak di mana kita akan mandi? Kalau mandi juga tanpa tepian akan tampaklah aurat kita oleh orang. Air bah usai, tepian hanyut tinggal bekasnya saja. Di sini mulanya paham itu datang, Ada orang entah siapa jangankan bergelar, menyebutkan nama kecilnya pun dia ragu, mengatakan tak apa-apa mandi tanpa tepian, kalau tampak pun oleh orang, apa salahnya? Urat malunya sudah putus dan berusaha memahamkan orang kalau bermalu itu ketinggalan, tak modern dan tak maju. Dia buat pemahaman sendiri untuk batasan malu, lalu dia dakwahkan pula kepada orang banyak sambil meyakinkan orang bahwa selama ini telah salah orang sekampung dalam pemahaman. Dia bersorak-sorai petang dengan pagi, baik di kedai atau di gelanggang;
“mengapa kita berhabis hari, berhabis perbekalan membangun tepian? menebang kayu, menganyam daun kelapa, biarlah orang mandi sekehendak hatinya, tanpa tepian pun tak akan ada orang yang rugi, tubuh kita ini milik kita, terserah kita mau diapakan, tepian ini sesuai untuk orang tua-tua dahulu, tepian tidak untuk zaman bak sekarang”.
Karena enaknya hembus saluang dan lagu tukang dendang, emas orang ganti dengan loyang, intan ditukar dengan kilat kaca, mengangguk orang kampung satu dengan dua.
Sekarang, air bah datang mengubah tatanan masyarakat, mulai mandi tak bertepian, gelak dia kalau auratnya nampak oleh orang. Dari tepian berpindah sedikit-sedikit ke dalam kampung sampai habis rasa malu dalam kehidupan. Entah mana yang ayah, entah mana yang anak, perangai sama saja. Entah mana yang mamak, entah mana yang kemenakan, tak bisa lagi dibedakan.
Rusuhlah Engku Penghulu, Engku Katik serta Engku Malin, dibuka tambo lama, disurah kaji petang dengan pagi, dipagari anak kemenakan, tapi tak sedikit yang lepas juga.
Asal dengan prinsip harus tetap, tidak boleh berubah. Dahulu beratap ijuk sekarang beratap seng, dahulu berdinding kayu surian, sekarang berdinding semen, namun yang tepian tetap harus ada. Nan namanya malu harus diajarkan dan dilestarikan pada anak cucu. Kalau tidak, sama sajalah mereka dengan jawi (sapi) di pacuan, bertelanjang bulat ditonton orang banyak, tak ada pengaruhnya bagi dia. Nan jadi pikirannya hanya bagaimana lari akan kencang, dahulu sampai di ujung, maka akan bertambah rumput di dalam kandang. Begitu kata Engku Penghulu mula-mula menyurahkan kaji.
Ini benar yang perlu kita ingat, sambung Engku Katik;
“pakiah singgah marubah kaji”
“sungguahpun basi nan nyo kaik,
ikan di lawik nan nyo adang.”
“ingek-ingek ka kalah limau dek binalu,
urang batanggang mambao lapiak”
Begitu kata Engku Malin, sambil mengisap daun nipah. Kini, bagaimana dengan tepian? Terserah kita, mau didirikan atau dibiarkan begitu saja, atau jangan-jangan kita juga senang dengan keadaan demikian itu, melihat orang mandi di sepanjang sungai tak bermalu. Harapan hanyut serantau tanah Minangkabau, malu kita pada Merapi dengan Singgalang, sebab aia gadang hilang tapian. Orang kampung membutakan mata, tinggallah kaji berlipat di dalam kitab di atas lemari. Menunggu Engku Penghulu, Engku Katik, Engku Malin benar-benar mati.[]
Sakali Aia Gadang Sakali Tapian Baraliah
Leave a Review