Salah satu bentuk rahmah yang diberikan Allah kepada hambaNya adalah rukhsah/keringanan dalam beberapa kondisi. Salah satunya keringanan dalam kondisi safar/dalam perjalanan. Seseorang yang sedang menempuh perjalanan, keluar dari negerinya menuju sebuah tempat, diberikan beberapa keringanan dalam menunaikan beberapa kewajibannya dalam Islam, diantaranya: penambahan waktu untuk memakai shuf (sejenis sepatu) sampai tiga hari, bolehnya mengqashar (meringkas) dan menjamak salat, gugurnya kewajiban untuk melaksanakan salat Jum’at, boleh berbuka bagi yang puasa dan lain-lain. Dalam kesempatan kali ini kita akan sedikit mencoba membahas tentang salat jamak dan qashar sebagai salah satu bentuk keringanan bagi para muslim serta tata cara pelaksanaannya.
Pengertian Safar dalam Islam
Safar (السفر) dalam bahasa arab bermakna menempuh perjalanan berjarak jauh. Seseorang baru dihitung melakukan safar jika telah menempuh perjalanan dengan jarak tertentu yang dianggap berjarak jauh dalam pandangan Islam. Antonim darالسفر adalah الحضر atau الاقامة dimana keduanya bermakna hadir atau menetap (dalam konteks ini berarti dalam satu negeri tertentu). Orang yang melakukan perjalanan dalam bahasa arab disebut dengan المسافر/musafir, antonimnya adalahالمقيم, الحاضر/mukim, hadir, menetap.
Dalam pembahasan safar, sering juga dibahas status sebuah negeri yang sedang ditempati oleh seorang musafir yang biasanya terbagi kepada tiga jenis negeri:
1. Negeri asal, ini adalah negeri tempat seseorang menetap dan hidup disana bersama keluarganya. Deskripsi negeri asal ini biasanya adalah negeri tempat seseorang hidup, berkehidupan dan (biasanya) meninggal disana.
2. Negeri mukim, ini adalah negeri tempat seseorang bermukim untuk jangka waktu yang cukup lama, namun bukan negeri tempat ia berasal dan menetap bersama keluarganya.
3. Negeri singgah, ini adalah negeri tempat seseorang bermukim untuk masa waktu tertentu sebelum ia melanjutkan perjalanan ke tempat yang ia tuju. Jangka waktu ia menetap disini tidaklah terlalu lama.
Deskripsi sederhana pembagian negeri ini, misalnya: Tono adalah orang Indonesia, suatu hari ini ingin berangkat ke Amerika untuk melakukan studi selama 2 tahun. Di perjalanan, ia singgah dulu di Jerman selama 10 hari untuk melakukan beberapa persiapan teknis yang akan dibutuhkan di Amerika. Maka Negeri asal Tono adalah Indonesia, Negeri mukimnya adalah Amerika, sedangkan Negeri singgahnya adalah Jerman.
Pembagian negeri ini memberikan implikasi tersendiri dalam penetapan status ke-musafiran seseorang, dan tentu saja akan menghasilkan hukum yang berbeda dalam fikih Islam, termasuk hukum seseorang tersebut dalam menjamak dan/atau mengqashar salatnya.
Safar/perjalanan yang dianggap dapat mengubah sebuah hukum atau meringankan sebuah kewajiban memiliki syarat-syarat tertentu, diantaranya:
1. Jarak perjalanan tersebut mencapai batas minimal yang ditetapkan oleh syarak
Ulama berbeda pendapat dalam soal batas minimal sebuah perjalanan yang bisa mengubah beberapa hukum atau meringankan kewajiban tersebut. Mayoritas ulama mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa batas minimal jarak tersebut adalah 48 mil = 12 farsakh = 4 burud = kurang lebih 77 kilometer (menurut pendapat lain adalah 85 Km, dan ada juga yang berpendapat 96 Km). Dalil pendapat ini adalah hadits riwayat Ibn Abbas Radhiyallahu anhuma, Rasulullah bersabda :
يَا أَهْلَ مَكَّةَ لا تَقْصُرُوا الصَّلاةَ فِي أَدْنَى مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَانَ
“Hai penduduk Mekah, janganlah kalian mengqashar salat kalian kurang dari 4 burud yakni jarak dari Mekah ke Usfan”. (H.R. al-Baihaqi)
Dalil lain adalah bahwa sahabat Ibn Abbas dan Ibn Umar, mengqashar salat mereka dan berbuka dari puasa lantaran melakukan perjalanan dengan jarak lebih dari 4 burud tersebut.
Adapun mazhab Hanafi berpendapat bahwa perjalanan yang dapat mengubah hukum dan meringankan kewajiban adalah perjalanan yang ditempuh selama 3 hari perjalanan.
2. Memiliki tujuan untuk safar
Ulama fikih sepakat bahwa seseorang yang perjalanannya dapat mengubah hukum dan meringankan kewajiban adalah perjalanan yang memiliki tujuan. Artinya, perjalanan tersebut adalah perjalanan yang memiliki tujuan jelas sejak awal perjalanan, bukan perjalanan orang linglung yang berjalan tanpa arah dan tujuan atau perjalanan seseorang yang tersesat.
3. Telah melewati batas tempat ia bermukim
Berlakunya hukum-hukum tertentu bagi seorang musafir adalah ketika ia telah keluar dari batas negeri tempat ia bermukim. Standarnya adalah ia telah berpisah dari bangunan-bangunan negeri tempat mukim tersebut. Dalilnya adalah hadits riwayat Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم الظهر بالمدينة أربعًا ، وبذي الحليفة ركعتين
“Aku salat Zuhur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat, dan di Dzulhulaifah dua rakaat”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
4. Bukan untuk perjalanan maksiat
Syarat perjalanan yang dapat mengubah hukum dan meringankan kewajiban adalah tidak untuk perjalanan maksiyat, seperti perjalanan untuk zina, mencuri, merampok dan lain-lain. Hal ini karena keringanan yang didapatkan oleh sebab perjalanan adalah bagian dari rukhsah, dan rukhsah tidak berlaku dalam perkara maksiyat. Seperti itu pula perjalanan yang awalnya diniatkan mubah namun berganti menjadi maksiyat. Kecuali jika niat awal dari perjalanannya adalah untuk maksiyat, namun ia bertaubat dari maksiyat tersebut di tengah perjalanannya, maka diberlakukan untuknya hukum-hukum safar serta keringanannya.
Salat Jamak
Salat jamak adalah menggabungkan pelaksanaan salat Zuhur dengan Ashar atau salat Maghrib dengan Isya’ dalam satu waktu, baik sifatnya taqdim (pelaksanaan salat kedua di waktu pertama) atau ta’khir (pelaksanaan salat pertama di waktu kedua). Menjamak salat adalah salah satu keringanan yang diberikan Allah kepada hambaNya. Hukum menjamak salat adalah Mubah/boleh. Diantara dalil tentang kebolehan menjamak salat adalah hadits riwayat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata:
اِذا رَحِلَ قَبْلَ اَنْ تَزِيْغَ الشَمْسُ اخِرَ الظُهْرِ اِلى وَقْتِ العَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا فَاِنْ زَاغَتْ الشَمْسُ قَبْلَ اَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُهْرَ ثُمَّ رَكِبَ
“Rasulullah apabila bepergian sebelum matahari tergelincir, maka ia mengakhirkan salat Zuhur sampai waktu Ashar, kemudian ia berhenti lalu menjamak antara dua salat tersebut, tetapi apabila matahari telah tergelincir (sudah masuk waktu Zuhur) sebelum ia pergi, maka ia melakukan salat Zuhur (dahulu) kemudian beliau naik kendaraan (berangkat)”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
Ada juga hadits dari Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu, ia berkata:
خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عام غزوة تبوك. فكان يجمع الصلاة. فصلى الظهر والعصر جميعا. والمغرب والعشاء جميعا
“Suatu hari kami keluar berjalan bersama Rasulullah untuk melakukan perang tabuk. Rasulullah saat itu menggabungkan antara Zuhur dan Ashar serta menggabungkan antara Maghrib dan Isya”. (H.R. Muslim)
Salat jamak terbagi dua, taqdim dan ta’khir. Taqdim artinya menjamak dua salat yang dilaksanakan di waktu yang pertama. Misalnya, menjamak salat Zuhur dengan Ashar, dikerjakan di waktu Zuhur atau menjamak salat Maghrib dengan Isya, dikerjakan di waktu Maghrib. Ta’khir kebalikan dari taqdim, yaitu menjamak dua salat yang dilaksanakan di waktu yang kedua. Misalnya, menjamak salat Zuhur dengan Ashar, dikerjakan di waktu Ashar atau menjamak salat Maghrib dengan Isya, dikerjakan di waktu Isya.
Syarat sah jamak taqdim:
1. Memulai salat dengan salat yang pertama. Karena waktu tersebut adalah waktu untuk salat yang pertama, sedangkan salat yang kedua mengikut bagi salat pertama. Maka, dalam jamak taqdim antara Zuhur dan Ashar, wajib mendahulukan pelaksanaan salat Zuhur, baru setelah itu Ashar. Begitu juga dalam jamak taqdim antara Maghrib dan Isya, wajib mendahulukan salat Maghrib, baru setelah itu Isya.
2. Niat melaksanakan jamak Niat ini lebih utama jika diletakkan pada salat yang pertama. Jika dilafalkan, niat tersebut kira-kira berbunyi seperti ini :
“اُصَلِّى فَرْضَ الظُهْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ جَمْعًا تَقْدِيْمًا مَعَ العَصْرِ فَرْضًا للهِ تَعَالى”
“Sengaja aku salat fardhu Zuhur 4 raka’at jamak taqdim dengan Ashar fardhu karena Allah ta’ala”
– Melakukan kedua salat secara berurutan tanpa ada pembatas yang memakan waktu lama. Jamak dianggap batal jika diantara kedua salat dibatasi dengan batas yang lama, baik karena tidur, lupa, ataupun karena pekerjaan lainnya. Standar waktu yang dimaafkan karena membatasi antara kedua salat adalah waktu yang dipakai untuk iqamah.
– Seseorang telah dalam kondisi safar ketika ia memulai salat yang pertama dan kondisi safar tersebut berlangsung hingga ia selesai melaksanakan salat kedua. Jika diantara kedua salat tersebut, seseorang berniat untuk mukim di daerah tersebut, maka hukum safarnya dianggap batal, dan ia harus melaksanakan salat yang kedua di waktunya, bukan di waktu yang pertama.
Syarat sah jamak ta’khir:
1. Meniatkan untuk menjamak Niat ini berada di waktu salat yang pertama bahwa ia akan melaksanakan salat pertama ini secara jamak di waktu salat yang kedua. Jika ia tidak berniat untuk jamak, maka pelaksanaan salat yang pertama di waktu kedua dianggap sebagai Qadha, bukan jamak.
2. Tidak dIsyaratkan untuk melaksanakan salat yang kedua terlebih dahulu, namun boleh mengerjakan salat pertama lalu salat yang kedua. Yang lebih utama adalah mengerjakan salat kedua lebih dahulu, baru setelah itu salat yang pertama, karena waktu pelaksanaan tersebut adalah milik salat yang kedua, sedangkan salat yang pertama mengikut ke salat yang kedua.
Tata cara pelaksanaan salat jamak taqdim (dengan contoh salat Zuhur dan Ashar):
1. Ketika masuk waktu Zuhur, berniat untuk menjamak salat Zuhur dengan Ashar dengan jamak taqdim (niatnya seperti yang telah disebutkan diatas).
2. Melaksanakan salat Zuhur 4 raka’at (jika diqashar menjadi 2 raka’at).
3. Setelah selesai salat Zuhur, langsung berdiri untuk salat Ashar. Boleh iqamah sebelum salat Ashar.
4. Melaksanakan salat Ashar 4 raka’at (jika diqashar menjadi 2 raka’at).
Tata cara pelaksanaan salat jamak ta’khir (dengan contoh salat Zuhur dan Ashar):
1.Ketika masuk waktu Zuhur, seseorang berniat bahwa ia akan menjamak salat Zuhurnya dengan Ashar dengan jamak ta’khir.
2. Ketika masuk waktu Ashar, ia berniat melaksanakan salat Ashar dengan jamak ta’khir dengan salat Zuhur.
3. Melaksanakan salat Ashar 4 raka’at (jika diqashar menjadi 2 raka’at).
4. Setelah selesai salat Ashar, langsung berdiri untuk salat Zuhur. Boleh iqamah
5. Melaksanakan salat Zuhur 4 raka’at (jika diqashar menjadi 2 raka’at).
Salat Qashar
Qashar artinya meringkas. Salat qashar adalah meringkas jumlah raka’at salat yang awalnya 4 raka’at menjadi 2 raka’at. Hukumnya mubah/boleh bagi orang-orang yang telah memenuhi syarat safar diatas. Dalil salat qashar adalah Surat An-Nisa ayat 101 yang artinya: “Dan jika kamu bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa kamu menqashar salatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir, sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S.An-Nisa’ : 101).
Ada juga hadits dari Ibn Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
صحبت النبي صلى الله عليه وسلم فلم أره يسبح في السفر } وفي رواية { صحبت رسول الله صلى الله عليه وسلم وكان لا يزيد في السفر على ركعتين وأبا بكر وعمر وعثمان كذلك
“Aku selalu bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan beliau tidak menambah salat beliau dalam perjalanan, lebih dari 2 raka’at. Abu bakar, Umar dan Utsman pun seperti itu.” (H.R. Bukhari Muslim)
Syarat sah salat qashar hampir sama dengan salat jamak diatas, ditambah dengan ketentuan bahwa salat qashar hanya pada salat yang jumlah raka’atnya adalah 4 raka’at (dalam hal ini berarti salat Zuhur, Ashar dan Isya). Jika dalam salat jama’ah, seseorang yang berniat mengqashar salatnya tidak boleh menjadi makmum bagi imam yang melaksanakan salat secara sempurna (4 raka’at). Disyaratkan juga berniat melaksanakan salat secara qashar.
Salat jamak dan qashar
Dalam perjalanan, seseorang bisa melaksanakan salat dengan jamak dan qashar sekaligus, jika memenuhi semua syarat safar dan jamak serta qashar diatas. Tata caranya menyesuaikan tata cara salat jamak dan qashar.[]
Leave a Review