Salat Menghadap Kuburan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Suatu ketika Sayyidina Umar ra melihat orang yang salat dan di depannya ada kuburan lalu beliau mengatakan: “awas kuburan, awas kuburan”, maksudnya jauhilah menyengaja menghadap kuburan. Beliau tidak mengatakan engkau telah melakukan hal yang haram, dapat dipahami hal tersebut menjadi “makruh”. Kemudian kemakruhan ini akan hilang jika kuburannya tertutup.
Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah bersabda:
قاتل الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد يحذر ما صنعوا
“Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai tempat dan tujuan bersujud dan beribadah, hendaklah dijauhi apa yanv mereka lakukan itu”.
Kemudian ‘Aisyah mengatakan:
ولو لا ذلك لأبرز قبـره
“Seandainya bukan karena itu pasti akan dinampakkan kuburan Nabi”.
Jadi mesti lengkap dalam menukil agar memahami hadis-nya tidak setengah-setengah yang berakibat rusaknya ushul fiqh. ‘Aisyah perawi hadis ini memahami bahwa larangan salat ke arah kuburan adalah ketika kuburan tersebut nampak jelas, dan bukan secara mutlak.”
Salat di kuburan menjadi haram jika menyengaja menjadikan kuburan sebagai kiblatnya, dan bahkan menjadi kufur jika bertujuan beribadah kepada kuburan”. Sedangkan salat di masjid yang di dalamnya terdapat pekuburan hukumnya adalah boleh. Sedang mengenai hadis:
“Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai tempat dan tujuan bersujud dan beribadah, hendaklah dijauhi apa yang mereka lakukan itu”.
Dalam hadis itu juga ada perkataan ‘Aisyah;
ولو لا ذلك لأبرزوا قبـره
“Dan andaikata bukan karena itu pasti mereka menampakkan kuburanya (kuburan Rasulullah)”.
Hadis tersebut dimaksudkan untuk orang yang salat dan menghadap ke kuburan dengan tujuan “mengagungkan” kuburan tersebut. Ini mungkin terjadi jika memang kuburan tersebut nampak dan tidak tertutup. Jika kondisinya tidak demikian maka tidaklah haram hukumnya salat di sana.
Tidak haram orang salat ke kiblat dan di depannya ada kuburan jika ia tidak bertujuan menghadap ke kuburan untuk mengagungkannya. Tidak haram juga jika kuburan tersebut tertutup dan tidak nampak, karena jika tidak nampak tidak mungkin seseorang bertujuan menghadap ke kuburan tersebut.
Jadi hanya karena adanya kuburan di sebuah masjid tanpa dimaksudkan oleh orang yang salat untuk menghadap kepadanya itu tidak dilarang oleh hadis tersebut. Karenanya dikalangan madzhab Hanbali menegaskan bahwa salat di pekuburan hukumnya adalah makruh dan tidak diharamkan.
Di antara dalil yang menunjukkan tidak diharamkannya salat di masjid yang ada kuburannya apabila tidak nampak adalah sebuah hadis yang sahih bahwa masjid al Khayf di dalamnya terdapat kuburan 70 Nabi, bahkan menurut suatu pendapat kuburan Nabi Adam ada di sana, di dekat masjid.
Baca Juga: Benarkah Syi’ah Aliran Pertama yang Masuk di Aceh dan Nusantara II
Masjid al-Khayf ini telah digunakan pada zaman Nabi hingga sekarang. Hadis ini disebutkan oleh Syekhul Islam al Hafidz Ibnu Hajar Asqalsni dalam kitabnya terdapat hadis Abu Bashir ra yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Ma’mar, dalam kitab Sirah An-Nabawiyyah. Meriwayatkan dari Az Zuhri, dari Urwah Ibn Zubair, dari Miswar bin Makhramah, bahwa Abu Jandal ibn Suhail ibn Amr menguburkan jenazah Abu Bashir ra. Lalu membangun sebuah Masjid di atas kuburannya yang terletak di Siful Bahr. Kejadian itu diketahui setidaknya oleh 300 sahabat Nabi.
Tidak ada riwayat bahwa sahabat mengeluarkan kuburan itu atau membongkarnya dari masjid. Terdapat pula hadis:
في مسجد الخيف قبر سبعين نبيا
“Dalam masjid Khaif (masjid yang berada di daerah Mina) terdapat kuburan 70 sahabat”. (Hr Thabrani)
Dalam peristiwa itu Nabi saw tidak memerintahkan untuk mengeluarkan kuburan, tapi membiarkan begitu saja. Sedangkan hadis
لا تصلوا إلى القبور ولا تجلسوا عليها
“Janganlah kalian salat ke arah kubur dan janganlah kamu duduk di atas kubur.” (Hr Muslim)
Kalimat “لا تصلوا إلى القبور” tidak menunjukkan atas haramnya salat di masjid yang ada kuburannya. Akan tetapi maksudnya tergantung pada keadaan kuburan dan orang yang sholat di sana seperti perincian hukum di atas.
Karenanya ulama-ulama kalangan Hambaliyah semisal imam Buhuti al Hanbali telah menegaskan dalam kitab Syarh Muntaha al Iradat bahwasanya salat seseorang yang menghadap ke kuburan tetapi disertai ada penghalang antara orang yang salat dan kuburan tersebut hukumnya tidak lagi makruh.
Dalam kitab Thabaqat al Kubra karya Ibn Sa’ad. Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda:
اللهم لا تجعل قبري وثنا، لعن الله قوما اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“Ya Allah, Janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai berhala. Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai Masjid”. (Hr Ahmad)
Dalam bahasa Arab, kata “masaajid” merupakan jama’ dari kata masjid. Dan kata masjid dalam bahasa Arab merupakan mashdar yang bisa menunjukkan arti waktu, tempat atau tindakan.
Sehingga, makna menjadikan kuburan sebagai masaajid adalah bersujud ke arahnya untuk mengagungkan dan menyembahnya. Sebagaimana perbuatan orang-orang musyrik. Maka kalimat, “Janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai berhala.” adalah penjelas bagi kalimat: “menjadikan kuburan sebagai masaajid”. Saat kuburan menjadi berhala, itulah makna menjadikan kuburan sebagai masjid.
Pendapat Imam Baidhowi bahwa yang dimaksud “kuburan menjadi masjid” ialah yang benar-benar bersujud kepada kuburan. Syaikhul Islam Ibn Hajar Asqalani menjelaskan:
“Ketika orang-orang Yahudi dan Nasrani sujud ke kubur para Nabi mereka karena mengagungkan, mereka dan menjadikan kubur kubur itu sebagai arah kiblat, mereka beribadah menghadap ke kubur-kubur itu dalam rangka ibadah dan sejenisnya.
Baca Juga: Beberapa Riwayat tentang Berjumpa Arwah Orang yang Telah Wafat
Mereka jadikan kubur-kubur itu sebagai berhala, maka Rasulullah melaknat mereka dan melarang kaum muslimin untuk melakukan seperti itu. Adapun orang yang membuat masjid di samping makam orang shalih untuk keberkahan, bukan untuk pengagungan, bukan sebagai arah ibadah dan sejenisnya maka tidak mengapa. ‘Innamal A’malu Binniat wa Innama Likullimriin Ma Nawa’, hadis ini kurang lebih menyatakan bahwa semua amalan dasarnya adalah niat dan semua perkara atau perbuatan bergantung pada apa-apa yang kita niatkan.[]
*(Fathul Baari)
والله اعلم
Semoga bermanfaat Sampai bertemu di pengajian berikutnya
Leave a Review