Sangkar Buatan Ayah Sangkar Buatan Ayah Sangkar Buatan Ayah Sangkar Buatan Ayah Sangkar Buatan Ayah Sangkar Buatan Ayah
Oleh Maulida Irawati
Yang kamu pandang buruk bukan berarti benar-benar buruk. Cobalah buka matamu dan pandanglah dari dekat. Sebuah senyuman takkan nampak jika dipandang dari jauh. Bukankah dari dekat, senyuman itu sangat manis?
Terkekang, mungkin inilah kata yang sesuai dengan keadaan Nazwa. Di balik jendela rumah sembari terisak, ia hanya bisa memandangi teman-temannya bermain mandi hujan. Tiba-tiba Nazwa merasakan pelukan hangat ibunya dari belakang.
“Ibu, bisakah Ibu membujuk Ayah agar membolehkanku bermain seperti teman-teman?” tanya Nazwa masih dengan isak tangis.
“Tidak bisa, Sayang. Ibu juga tidak ingin kamu ikut bermain, di luar sana masih hujan,” jawab ibu dengan lembut.
“Ibu dan Ayah sama saja, sama-sama menyebalkan!” bentak Nazwa.
Baca Juga: Kenangan yang Hilang
Nazwa berlari ke dalam kamar dan mengunci pintu. Sedangkan ibunya hanya geleng-geleng melihat betapa keras kepalanya Nazwa.
“Menyebalkan, ini seperti di penjara. Aku hanya bisa menatap teman-temanku yang tengah asyik bermain sambil mandi hujan, sedangkan aku tidak bisa keluar rumah. Ayah dan Ibu melarangku mandi hujan sejak kecil dan aku tidak boleh kelelahan. Mengapa Ayah dan Ibuku selalu melarang ini dan itu? Apa ada yang salah dengan diriku? Apa yang terjadi saat aku masih kecil? Apa aku memiliki kenangan yang buruk dengan semua itu? Aah aku melupakannya dan tidak dapat mengingatnya!” Oceh Nazwa sambil menepuk-nepuk boneka kesayangannya.
Tok tok tok
Ibu mengetuk pintu kamar Nazwa dan berkata, “Nazwa, ayo makan siang, Nak!”
Nazwa masih marah, ia tidak menghiraukan ibunya dan masih tetap mengurung diri di dalam kamar. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang lebih keras. Ketukan pintu yang menggetarkan jantung Nazwa lebih cepat. Ayah, itu ayahnya yang sangat ditakuti olehnya.
“Nazwa, cepat keluar dan makan. Kamu ini disuruh makan saja susah sekali!” Ucap ayahnya.
Sebenarnya ayahnya tidak berniat membentak Nazwa. Namun, Nazwa selalu merasa dibentak oleh ayahnya setiap kali ayahnya berbicara kepadanya. Nazwa juga selalu menjaga jarak dengan ayahnya karena takut dimarahi. Setelah mendengar ucapan ayahnya, rasanya Nazwa ingin menangis. Nazwapun bergegas ke luar kamar dan makan tanpa berbicara.
Saat itu musim hujan. Setiap hari Nazwa selalu meminta izin mandi hujan pada ibunya dan ibunya selalu menyuruh Nazwa meminta izin pada ayahnya tapi Nazwa takut berbicara dengan ayahnya. Akhirnya Nazwa hanya diam di dalam rumah. Seringkali Nazwa bertanya pada ibunya, mengapa ada banyak larangan untuknya? Namun, ibunya hanya diam dan tidak menjawab. Sekian tahun Nazwa menjalani hidupnya dengan penuh kekangan. Nazwa berusaha memulihkan ingatannya. Apa yang terjadi padanya saat kecil, apa yang terjadi pada Nazwa kecil? Ya, ini Nazwa. Anak Sekolah Dasar yang tidak tahu alasan mengapa ia selalu dikekang kedua orang tuanya dan hanya ingin hidup normal seperti anak-anak lainnya.
Bertahun-tahun Nazwa menjalani hidup dalam kekangan tanpa tahu alasannya. Akhirnya saat duduk di kelas empat Sekolah Dasar, Nazwa mencoba untuk membangkang. Ia melakukan semua hal yang dilarang ayah dan ibunya. Ia diam-diam mulai melakukan hal-hal yang melelahkan. Ia sering bermain lari-larian bersama teman-temannya. Sekolah adalah tempat terbaik bagi Nazwa, sedangkan rumah hanyalah sebuah penjara.
Suatu hari sepulang sekolah teman-temannya mengajak Nazwa bermain layang-layang di sawah. Saat itu langit sudah mulai menghitam tapi jika langit sudah mulai menghitam, angin akan bertiup lebih kencang dan membuat permainan layang-layang menjadi lebih menyenangkan.
“Bu, aku ingin bermain layang-layang bersama temna-teman di sawah. Bolehkan?” Tanya Nazwa.
“Tapi sudah mendung, Nazwa! Kalau kamu kehujanan nanti bagaimana? Ayahmu juga ada di sawah,” jawab ibunya.
“Aku akan berteduh, Bu. Lagi pula aku bermain di sawah yang dekat saja, bukan di sawah kita.” jelasnya.
Akhirnya ibunya membolehkan Nazwa bermain bersama teman-teman, dengan syarat jika hujan ia harus berteduh. Nazwapun mengiyakan. Saat bermain, tiba-tiba hujan turun. Nazwa merasa sangat senang, dan bergumam ‘ternyata mandi hujan sangat menyenangkan’. Namun, saat itu ayahnya pulang dari sawah dan melewati mereka dari jarak yang cukup jauh.
“Nazwa, itu ayahmu lewat, bagaimana ini? Bisa-bisa kamu dimarahi,” ucap temannya dengan cemas.
“Ayahku mungkin saja tidak melihatku ada di sini, ayahku perlu kacamata dan tadi dia tidak pakai kacamatanya,” jawab Nazwa dengan mantap.
Setelah melewati mereka, tiba-tiba ayahnya kembali lagi sambil berlari dengan membawa sebatang kayu. Seperti ingin memukul Nazwa. Nazwa berlari secepat mungkin menuju rumah, ayahnya juga berlari mengejarnya. Saat sampai di rumah, ibunya menyuruh Nazwa bersembunyi di belakang kursi. Dan mencoba menenangkan ayahnya yang marah pada Nazwa karena melanggar larangan ayahnya.
Ayah Nazwa seorang PNS Tentara, beliau bekerja di kantor TNI AD. Beliau adalah orang yang keras berkat didikkan kakeknya Nazwa yang juga keras pada ayahnya. Ditambah lagi didikkan sebelum ayahnya bekerja yang menambah sikap keras dan disiplin pada diri ayahnya. Keesokan harinya Nazwa sakit dan membuatnya sadar, mandi hujan bisa membuatnya sakit. Namun, ayahnya hanya diam saat mengetahui bahwa Nazwa sakit. Ayahnya yang diam membuat Nazwa semakin takut, karena ia tahu sesekali ayahnya bisa marah meledak-ledak dan mengungkit-ungkit kesalahannya. Setelah kejadian itu, Nazwa tidak berani lagi mandi hujan, di satu sisi karena ia sakit dan di sisi lain karena ia takut pada ayahnya.
Perlahan-lahan Nazwa mengetahui akibat dari pembangkangan yang ia lakukan. Tetapi Nazwa masih tidak mengerti mengapa ayahnya semarah itu. Padahal ia hanya sakit biasa dan sembuh hanya dalam satu hari. Nazwa tetap menjadi hyperaktif. Menurutnya memang tidak ada yang salah pada dirinya. Nazwa memang selalu sakit. Bukan selalu, tetapi Nazwa lebih sering sakit dari pada teman-temannya. Namun, sakitnya hanya sementara sekitar satu sampai tiga hari. Yaaa, hanya sakit biasa.
Saat Nazwa duduk di bangku SMP. Ia mengikuti ekstrakurikuler pramuka, kegiatannya sangat melelahkan. Nazwa tidak pernah sampai sakit karena ia menjaga tubuhnya lebih baik dari semua orang di sekolah. Ia cukup berbakat di bidang kepramukaan sehingga membuatnya selalu mewakili sekolah untuk mengikuti lomba. Nazwa dan teman-temannya setiap hari menjalani latihan yang cukup melelahkan untuk mempersiapkan diri mengikuti lomba. Namun, pada hari itu salah satu pelatih mereka mengalami kecelakaan. Setelah latihan, mereka menjenguknya dan ternyata rumahnya sangat jauh. Siang itu matahari juga sangat terik. Karena rumahnya yang jauh, Nazwa baru sampai pulang ke rumah setelah magrib. Ayahnya Nazwa marah besar melihat anak perempuannya pulang malam.
“Kamu laki-laki atau perempuan? Pergi pagi, pulang malam. Memangnya latihan selama itu? Kamu itu masih SMP jangan keluyuran,” omel ayahnya.
Nazwa yang takut hanya bisa menangis, ayahnya tidak berkata kasar. Hanya berbicara dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya. Tapi tetap saja Nazwa takut dan menangis. Entah mengapa Nazwa selalu berpikir ayahnya berubah menjadi monster saat sedang marah.
Puncak dari kemarahan ayahnya akhirnya datang. Tepat di tengah malam Nazwa sakit dan mengalami kejang-kejang akibat kepanasan dan kelelahan. Ia meracau tidak karuan sehingga membuat ayah dan ibunya menjadi khawatir. Kejadian itupun membuat Nazwa tidak diperbolehkan lagi mengikuti kegiatan pramuka.
“Sudah, tidak perlu lagi pramuka-pramukaan. Kamu sakit begini sangat merepotkan dan sangat menyusahkan orang tua!” ucap ayahnya dengan keras.
Kata yang ditangkap Nazwa adalah merepotkan dan menyusahkan. Nazwa juga tidak ingin sakit, ia hanya ingin seperti teman-temannya yang bebas tanpa kekangan dan tanpa aturan. Setidaknya ia tahu alasannya dikekang.
“Setidaknya katakan padaku alasannya. Aku tidak bisa mengerti mengapa ayah dan ibu melarangku ini dan itu. Rasanya sangat sulit melakukan suatu hal tanpa tahu sebabnya. Ayah dan ibu selama ini hanya menyiksaku. Kalian jahat!” tangis Nazwa pecah setelah melontarkan kata-kata itu, ia langsung pergi ke kamar dan mengunci pintu.
Kedua orang tuanya merasa terguncang mendengar perkataan anak yang sangat mereka cintai. Mereka memutuskan memberitahu sebab mereka selalu mengekang Nazwa.
“Kamu sudah mulai dewasa, mungkin ini saatnya kamu mengetahuinya. Ayah dan ibu melarangmu bukan tanpa alasan. Kami menantikan kehadiranmu selama sebelas tahun dan saat kamu lahir, berat badanmu kurang dari 1,5 kilogram. Setelah itu dokter memvonismu memiliki kelainan jantung. Kamu berbeda dari teman-temanmu. Kami berjuang merawatmu agar kamu tetap hidup. Saat kecil kamu sering sekali sakit, tubuhmu rentan terkena penyakit. Ada banyak syarat-syarat dari dokter yang harus kamu hindari. Kami hanya tidak ingin kehilangan kamu, Nak! Ayah terlalu takut kehilanganmu. Jadi, tolong mengertilah….” Ucap ayahnya di depan pintu kamar Nazwa.
Mendengar penjelasan dari ayahnya, Nazwa pun hanya bisa terdiam. Setelah itu Nazwa menjadi anak yang penurut dan selalu menjaga kesehatannya. Namun, lagi-lagi orang tuanya merasa kasihan padanya. Hingga saat Nazwa kelas tiga SMP, ayahnya membolehkannya berkegiatan lagi. Dengan syarat, Nazwa harus bisa menjaga kesehatannya sendiri. Syarat dan harapan kedua orang tuanya terpenuhi. Nazwa menjadi lebih menjaga kesehatannya tanpa perlu takut berlelah-lelah.
Waktu berlalu dan sampailah Nazwa di bangku SMA. Akhirnya Nazwa mendapatkan kebanggaannya sendiri dan dapat membuktikan kepada orang tuanya bahwa ia tidak berbeda dari orang lain. Ia mampu mengikuti perkemahan dengan lomba yang melelahkan. Bahkan Nazwa mampu mengikuti pengembaraan (berjalan 25 kilometer dalam waktu dua hari satu malam), tanpa sakit setelah melakukan kegiatan tersebut dan Nazwa lebih kuat dari orang lain. Setelah pembuktian darinya, ayah dan ibunya percaya bahwa Nazwa bisa menjaga kesehatannya. Bukan berarti ia tidak pernah sakit lagi, hanya saja ia bisa lebih mengerti tentang keadaan dirinya sendiri setelah mengetahui alasannya. Dari pengalaman ini Nazwa tahu, ayahnya bukan orang jahat. Ia hanya terlalu menyayangi Nazwa dan takut kehilangannya.[]
Leave a Review