Hari sudah larut betul, kawanan anjing yang menggonggong di pagi buta begini membawa aroma magis di sudut-sudut ruang tak tersigi, di bawah batang beringin Gadang (besar), di sekolah negeri bekas markas tertara belanda, dan di pandam pekuburan kaum sikumbang persis di belokan tanjam di seberang jalan. Bujang itam sering diisukan berkeliaran di antara tempat-tempat angker tersebut, rambut terurai panjang bak anak gadis namun badan tegap kokoh berisi, tingginya melebih tiang listrik yang hampir roboh akibat pondasinya berkarat disirami kencing orang-orang lalu, kakinya sebelah kiri dirantai, bujang itam dikenang sebagai algojo tentara belanda yang mati mengenaskan diterkam harimau jadi-jadian milik angku datuk Sidi Basa. Rumah Kiyah yang tak begitu jauh dari tempat-tempat keramat itu, juga ditulari hal-hal syirik, seringkali ia melihat kemenyan, kopi hitam dan nasi putih lengkap dengan telur terletak begitu saja di akar beringin Gadang. Ayam jantan berkokok beberapa kali, pertanda hari mulai beralih pagi, Kiyah masih saja belum menidurkan diri, ia beralih mengambil kalam di atas meja, iapun menulis.
Ini masih tentang aku bu, tentang sunyi yang begitu ngilu, lalu aku dibungkusnya berbuhul kuat, tak dapat berkutik. Ini masih tentang aku bu, tentang isak yang meronta-ronta di gelagak darah di dada, bukan tentang isak anak-anak kucing yang kehilangan induknya, bukan juga tentang isak bocah-bocah di pasar karena tak dibelikan mainan. Bukan! Ini perihal isakku dalam nasib, nasib yang belum berangsur mujur, namun anak gadismu ini masih ingin kuat, garang seperti ayah yang mati dibom di masa PRRI, sampai habis nyawa di badan, aku akan tetap kuat menerjang, menerjang nasib.Tapi bu, bagaimana aku bisa menerjangnya sedang diri sendiri adalah musuh yang garang. Bu.. genggamlah jiwa ini, aku pedih ditikam diri sendiri, ditikam mimpi, dan ditikam nasib yang bernama sunyi. Bu.. maafkan gadismu.
Kiyah mengakhir catatannya, membubuhi paraf aneh disudut kanan catatan, kemudian menutupnya, setelah menyelipkan catatan harian di balik bantal, Kiyah berangsur mengambil selimut, memejamkan mata berharap esok pagi sembabnya berkurang, Ibu tak akan membaca catatan ini, karena kiyah pun tak ingin, paling tidak hatinya lega, menulis bisa meringankan sedikit luka, walaupun hingga kini kian menganga saja.
***
Belum genap pukul empat sore, setengah berlari ibu memasuki rumah, melempar terompah sekenanya, kemudian bergegas mengambil air wudhu. Ibu jarang sekali seperti itu, dalam biasa pembawaannya tenang, air mukanya teduh dan selalu membawa kedamaian, persis betul seperti Kiyah, air cucuran atap tentulah jatuhnya kepelimbahan juga. Sebagai anak tunggal Kiyah begitu mewarisi sifat Ibunya, lembut, baik hati dan paras cantik Rupawan. Satu yang berlain, selain mewarisi sifat ibu secara total, Kiyah juga dianugerahi keberanian seperti Ayahnya, beberapa kali Kiyah dikenal sebagai ahli kritik dikampungnya, terakhir ia melempar komentar pedas pada pejabat Nagari tentang pembagian bantuan Miskin yang terkesan salah sasaran. Kiyah cukup dikenal di kampung Pincuran, kampung pedalaman. Melihat ibu yang nampak tergesa-gesa Kiyah yang sibuk menyulam, menghentikan pekerjaannya sejenak, ia bermaksud menghampiri ibu yang tergegasnya alang kepalang. Namun belum sampai Kiyah menghampiri ibu, beliau kembali menyigi terompah yang berserakan, lalu memakainya dan mengucapkan salam. “Ibu kesurau nak..” hanya itu pesan yang terdengar dari balik pintu yang sudah tertutup kembali.
Lakonan yang dimainkan ibu sebentar ini membuat Kiyah bingung, ada apa gerangan yang terjadi pada ibu, padahal ashar belum mau masuk masih ada dua puluh menit lagi mak Naro baru akan mengumandangkan Azan. “barangkali ibu ingin bertafakur di surau sebentar, menanti-nanti azan”, celoteh Kiyah didalam hati, kemudian ia kembali melanjutkan pekerjaannya kembali.
***
Kiyah masih memakai telekung, sesudah sembayang ia duduk termenung. Memandangi telekung putih berbordir bunga-bunga di sekelilingnya, hadiah dari ibu, ibu menjahitkannya untuk Kiyah hari raya tiga tahun yang lalu, sudah tiga kali hari raya tapi telekung itu tak lusuh-lusuh, ada deretan kasih sayang disetiap tindikan jarum dan benang yang berjejer disetiap jahitannya. Kiyah senang betul memakainya, ibu tak tidur-tidur menjahitkan telekung itu demi anak gadisnya yang berparas jelita. Terdengar terompah menapak di jenjang depan rumah, Kiyah segera menyudahi lamunanya, melipat rapih telekung dan menggantinya dengan selendang lengkap memakai kodek. Diintipnya dari tirai jendela, ternyata ibu pulang dari surau bersama Mak Tuanku Rajo Dirajo, ia bergegas memasuki bilik, segan rasanya menemui mamaknya. Tuangku Rajo Dirajo adalah mamak Gadang suku Koto, sebagai suku yang hampir punah, mereka berdua bergantung penuh pada Mamak suku, ibu yang tungga babeleang tak punya sandaran hidup setelah ditinggalkan nenek yang mati ditabrak kereta api, sementara kakek, mati terkena penyakit yang tak ada obatnya.
Ibu dan Kiyah terbiasa berdua, tidak bermamak kontan tidak pula punya datuk, segala urusan tetek bengek adat istiadat diserahkan pada Mamak Gadang suku Koto. Hari ini kiyah dibuat bingung, setelah adegan ibu yang tergesa-gesa sebentar tadi, sekarang ibu Pulang bersama mamak Tuangku Rajo Dirajo. Tentu ada perkara penting tentang sepasukuan, kalau tidak hari raya dan berita besar tentu Mamak gadang tak akan bertandang ke rumah.
“kiyah.. nak.. tolong buatkan kopi untuk mamak kau gadis” suara ibu yang halus sayup-sayup terdengar memasuki celah-celah di kamarku
Kiyah tak menyaut, hanya langsung kedapur dan menjarangkan tungku, memasak air khusus untuk mamak.
Lalu, dengan hati-hati gadis itu mengantarkan kopi pesanan ibu, khusus untuk mamak. Tanpa tegur sapa Kiyah langsung menyembunyi diri dalam bilik kembali.
“persambungan cerita kita tadi, Gudi” mamak menyebut nama ibu. “tentu kau telah paham, anak gadismu itu sudah terlampau umurnya untuk menikah, bagaimana dengan pemuda yang kau sebut tempo hari di surau, kapan dia akan menemuiku, kita orang beradat dan bersuku, tentu jika jelas, sesuai adat suku koto, akulah yang akan menghantarkan sirih pada keluarga pemuda itu”
Ibu belum menyauti,
Dari dalam kamar Kiyah mendengar jelas percakapan Mamak yang seolah monolog, ibu tak berucap sepatah katapun, tabiat ibu memang begitu dan Kiyah memahami benar kehati-hatian ibu dalam berucap. Rumah kecil yang hanya dibatasi triplek itu tak menghalangi Kiyah untuk menguntit setiap suara yang terlontar dari mulut Mamak
“Kenapa kau diam saja, adikku?” mamak mulai melanjutkan pembicaraannya.
“Sebutlah perkaranya padaku, biar jernih segala yang kabur, dan terbentang segala yang kusut” begitu mamak meyakinkan Ibu.
“Pada yang sebenarnya Tan Rajo, aku dan Kiyah sudah pernah membicarakan ini, tapi belum bertemu ruas dengan buku, pemuda yang tempo hari aku ceritakan, belum jelas peruntungannya pada Kiyah. Menurut pengakuan Kiyah setelah lama tak bertemu, gadisku memutuskan untuk tidak berkirim kabar lagi pada pemuda itu. Akupun tak berani memaksanya Tan, aku paham permasalahan muda-mudi, mohon Tan Rajo menimbangnya bijak-bijak” nada suara ibu melemah di akhir kalimatnya, Kiyah menyadari ibu berusaha membujuk hati mamak agar tak menggelegak darahnya.
“Apa?” suara Mamak mulai meninggi, tapi nampak betul bahwa mamak membendung amarahnya. Sebagai orang yang paling dituakan, tentu mamak hendak bersikap bijaksana dalam hal ini.
“Lalu bagaimana nasib gadismu itu, Gudi?. Adakah seseorang yang patut untuk kau jadikan menantu? Biar aku yang sampaikan dendang saluang ini pada mamak pemuda yang kau maksud” mamak mulai menampkkan kewibawaannya.
“Ampun beribu ampun Tan Rajo, aku telah mematut matut segala yang pantas, tapi belum ada yang lekat di hati Kiyah, kemarin ada seorang Mantri nagari yang berkehendak atas Kiyah, tapi setelah aku pertemukan di alek anak Tek Rubayah, belum ada kabar dari ibunya. Barangkali tuan Mantri itu dan berkenan dengan gadisku, belum berjodoh” ibu memperhalus bahasanya, mendengar itu Kiyah lebih pandai menterjemahkan bahwa Tuan Mantri tidak suka kepadanya, Kiyah menggigit bibir.
“Lalu, bagaimana dalam rencana kau?, Si Kiyah apakah ada satu atau dua pemuda yang disukainya, biar tak direntang panjang-panjang soalan ini, aku sebagai mamak suku yang akan tuntaskan, dalam hitungan tak sampai dua pekan sirih kita akan disambut carano” mamak mulai bermuka masam, suaranya tegas berapi-rapi, Kiyah masih tertunduk di bilik.
“Ampun beribu ampun Tan Rajo” ibu terdiam, beliau berhenti agak semasa, barangkali mencari kata-kata yang paling tepat agar mamak tak marah. “sepanjang yang kami perbincangkan, belum ada yang menarik hati untuk si Kiyah, dalam padaku Tan, biarlah dia merenung-renung dahulu, biar pas sungai mengalirnya pada muara, biara jelas rentangan masa. Adinda harap tan Rajo berkenan melonggarkan adat, yang berbuhul sentak ini, Kiyah masih menunggu Jodoh” Kiyah merasakan suara ibu mulai gemetar.
Kiyah memberanikan diri mengintip dari balik pintu, dilihatnya Mak Tuangku Rajo Dirajo mengangguk-angguk, keningnya mengernyit, dia tak paham raut wajah apa yang disuguhkan mamak sukunya itu, mungkin saja marah, mungkin saja memahami dan mengerti dengan maksud Ibu “Kiyah masih menunggu Jodoh”.
“dek ulah rayu sidaun siriah,
Harok batamu di dalam carano
Bacarai pinang dari tampuaknyo
Dek ulah badan talampau piliah
Harok tabu rancak sarueh
Nan datang balengahkan
Malapeh hao kasudahannyo
Jan tibo dinan sarupo itu
Kito katuju urang tak nio
Urang nio kito tak ajan
Urang nio nan di kito anggan
Kito maangguak urang lengahkan
Malu ndak kama disuruakkan
Nan samo gadang sampai katujuan
Biduak malang sangkek di tapian
Ijan padiakan bungo babiso luko
Santuang palalai kanamonyo”
Setelah berucap sedalam itu, Mamak Tuangku Rajo Dirajo meninggalkan rumah, tanpa meminum setegukpun kopi buatan Kiyah, itu sudah membuktikan bahwa mamak Gadang Marah, marah pada Kiyah. Gadis itu masih mengintip dari balik pintu, tiba-tiba keberaniannya tak muncul, sirna sudah, ia tak berani menghadap mamak, tak berani menerima kenyataan, dan tak berani menghampiri ibu. Dilihatnya ibu masih terpaku, air mata ibu meleleh satu-satu. Ibu tak rela anaknya disebut terkena “santuang palalai”, teluk yang menjadi musuh para gadis itu sekarang dihadapkan pada satu-satunya anak gadis yang ia kasihi.
Kiyah menghempaskan badan diatas kasur, ia berusaha menahan isak, tapi tak dapat dielaknya lagi, dadanya bergemuruh, degab-degubnya memaki diri sendiri, “Kiyah! Kau memalukan, tak hiba pada ibu?”. Gadis itu menyembunyikan kepala di bawah bantal, agar ibu tak dengar, kain selimut disumpalkanya kemulut, digigitnya kuat-kuat, lalu tangisnya pecah. Sebagai gadis berumur duapuluh enam tahun, tentu terlalu bodoh masih berjiwa cengeng, dan tangisan ini tak pantas untuk ibu.
Kiyah dihantui santuang palalai, dia berasa jiwanya digulung badai.[]
Leave a Review