Bagi masyarakat Muslim Indonesia, khususnya kaum santri, sarung (sarong) telah menjadi identitas yang lekat dengan kehidupan mereka. Di masa lalu, keberadaannya bahkan dijadikan alat perlawanan kultural terhadap Barat, sebagai simbol penolakan atas nilai ‘keberadaban’ yang diwakili oleh jas, dasi, dan celana panjang yang diperkenalkan kolonialis Belanda. Sikap penolakan itu sampai-sampai terbawa ke masa setelah kemerdekaan. Cerita yang paling masyhur adalah cerita tentang Kyai Wahab Chasbullah yang tetap memakai sarung ketika menghadiri undangan Presiden Soekarno di sebuah acara resmi di Istana Negara, sekalipun jauh-jauh hari protokol istana telah mewanti-wanti agar undangan yang hadir hendaknya memakai celana panjang.
Meski demikian, pemakaian kain sarung tidaklah merujuk kepada identitas tertentu. Sarung digunakan oleh berbagai kalangan di berbagai suku dengan agama maupun keyakinan yang berbeda-beda.
Dalam pengertian busana internasional, sarung berarti sepotong kain lebar yang pemakaiannya dibebatkan di pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh (pinggang ke bawah). Kain ini dibuat dari bermacam-macam bahan, mulai katun, poliester hingga sutera. Penggunaannya juga sangat luas — baik dipakai sebagai pakaian santai di rumah, bahkan untuk acara resmi upacara perkawinan atau ibadah. Penggunaan kain ini pada acara resmi umumnya terkait sebagai pelengkap baju yang dibuat dari tenun ikat, songket atau tapis.
Baca Juga: Fenomena Hijrah, Pengharaman Musik, dan Dampaknya bagi Ekonomi Kelas Menengah ke Bawah
Di NTT, NTB, Sulawesi, dan Bali, kain sarung dibuat dari bahan benang yang ditenun, sedang di Minangkabau dan Palembang, dengan teknik songket. Sementara untuk sarung khas yang berasal dari Lampung, tapis, selain dibuat dengan cara ditenun, juga menggunakan motif yang sederhana dan cenderung lebih bermain warna. Dalam pembuatannya, tapis dan songket, sekalipun sama-sama dibuat dengan cara ditenun dari benang emas, tetapi tetap memiliki perbedaan. Sarung tapis kebanyakan memiliki unsur alam seperti flora dan fauna, adapun songket terlihat lebih meriah dengan motif yang mengisi seluruh ruang kosong pada bahan. Lalu apakah sarung merupakan khazanah asli kebudayaan kita?
Menurut Ensiklopedia Britanica, sarung merupakan pakaian tradisional masyarakat Badui Yaman yang terbuat dari bahan kain putih yang dicelupkan ke dalam neel (bahan pewarna hitam yang pekat), yang telah diproduksi dan digunakan sejak dahulu dengan berbagai model, baik yang dinamakan assafi, al-kadaa, atau annaqsah.
Di Yaman, sarung disebut dengan futah. Di wilayah lain di Jazirah Arab ada yang menyebutnya dengan izaar, wazaar atau ma’awis. Masyarakat di negara Oman menyebutnya dengan nama wizaar, orang Arab Saudi mengenalnya dengan nama izaar. Para wisatawan maupun peziarah yang berkunjung ke Yaman biasanya tidak lupa membeli sarung sebagai buah tangan bagi para kerabatnya.
Baca Juga: Celana Cingkrang dan Tradisi Kenabian
Dalam Islamic Technology: An Illustrated History yang ditulis Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill, tekstil merupakan industri pelopor di era Islam. Pada era itu, standar tekstil masyarakat Muslim di Semenajung Arab sangat tinggi. Tak heran jika industri tekstil di era Islam memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap Barat. Penggunaannya tidak hanya meluas di Semenanjung Arab, namun juga mencapai Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa. Tekstil masuk masuk ke Nusantara pada abad ke 14, dibawa oleh para saudagar Arab melalui Gujarat. Di Indonesia sendiri, perusahaan sarung rata-rata dimiliki oleh pengusaha keturunan Arab seperti keluarga Bahasuan dengan merk BHS-nya, dan keluarga Basalamah dengan sarung cap Mangga-nya. (Fahmi Faqih)
Leave a Review