Walaupun Saudah binti Zam’ah tidak terlalu populer dibandingkan dengan istri Rasulullah Saw lainnya, dia tetap termasuk wanita yang memiliki martabat yang mulia dan kedudukan yang tinggi disisi Allah dan Rasul-Nya.
Nabi menikahinya bukan semata-mata harta dan kecantikannya, karena memang dia tidak tergolong wanita cantik dan kaya, melainkan karena semangat jihadnya, kecerdasan otaknya, perjalanan hidupnya yang senantiasa baik, serta keikhlasannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Meski dalam keadaan kesepian sesudah kematian Khadijah, terjadilah peristiwa Isra’ Mi’raj, dan di sana beliau menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. Kaum musyrikin yang mendengar kisah itu tidak mempercayainya, bahkan mengolok-olok beliau. Dalam kondisi yang mencekam seperti itu, tampillah Saudah yang ikut berjuang dan senantiasa mendukung Rasulullah, hingga akhirnya menjadi istri Rasulullah yang kedua setelah Khadijah.
Tersebutlah Khaulah binti Hakim, salah seorang mujahid wanita yang pertama masuk Islam. Khaulah adalah istri Ustman bin Madh’um. Melalui kehalusan perasaan dan kelembutan fitrahnya, Khaulah sangat memahami kondisi Rasulullah yang sangat mendambakan pendamping, yang nantinya akan menjaga dan mengawasi urusan beliau serta mengasuh Ummu Kultsum dan Fathimah setelah Zainab dan Ruqayah menikah.
Kemudian, Khaulah menemui dan bertanya langsung kepada Rasulullah Saw tentang orang yang akan mengurus rumah tangga beliau. Beliau melihat bahwa apayang diungkapkan Khaulah mengandung kebenaran, sehingga beliau pun bertanya, “Siapakah yang engkau pilih untukku?” Ia menjawab, “Jika engkau menginginkan seorang gadis dialah Aisyah binti Abu Bakar, dan jika engkau inginkan seorang janda, dia adalah Saudah binti Zam’ah.”
Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zam’ah yang sejak keislamannya begitu banyak memikul beban perjuangan menyebarkan Islam, sehingga pilihan beliau jatuh pada Saudah. Sekali lagi, pernikahan beliau tidak didorong oleh keinginan untuk memenuhi nafsu duniawi, melainkan Rasulullah Saw yakin bahwa Saudah dapat ikut serta menjaga keluarga dan rumah tangga beliau setelah Khadijah wafat.
Saudah adalah sosok seorang wanita yang tinggi besar, berbadan gemuk, tidak cantik, juga tidak kaya. Dia adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Pertama kali dia menikah dengan anak pamannya, Syukran bin Amr, dan menjadi istri yang setia dan tulus. Suaminya, Syukran termasuk orang yang pertama kali menerima hidayah Allah Swt. dan, Rasulullah memilihnya sebagai istri karena kadar keimanannya yang kokoh dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang masih musyrik.
Hingga akhirnya, Khaulah menemui Saudah dan menyampaikan kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah Swt menjadi istri Rasulullah. Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, “Apa gerangan yang engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan nikmat yang sebesar ini? Rasulullah mengutusku untuk meminang engkau baginya.” Sungguh, hal itu merupakan berita besar. Saudah tidak pernah memimpikan kehormatan sebesar itu, terutama setelah orang-orang mencampakkannya setelah kematian suaminya.
Saudah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah. Dia merawat Ummu Kultsum dan Fathimah seperti merawat anaknya sendiri. Saudah memiliki kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur hati Rasulullah, sekaligus memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap dirinya dapat sejajar dengan Khadijah di hati Rasulullah.
Akan tetapi, pada dasarnya, dia belum mampu mengisi kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia telah memperoleh limpahan kasih dari beliau, sehingga beberapa saat kemudian turun wahyu Allah Swt yang memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar yang masih sangat belia.
Sikap Saudah ketika mengetahui pernikahan Nabi?
Dia rela dan tidak sedikitpun memiliki perasaan cemburu. Dia merelakan madunya berada di tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa cukup bangga menyandang gelar Ummul-Mukminin, dapat menyayangi Rasulullah, dan dapat meyakini ajarannya. Sehingga dia tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi.
Wajahnya senantiasa ceria dan tutur katanya selalu lemah lembut, bahkan dia sering membantu menyelesaikan urusan-urusan Aisyah. Sehingga Aisyah sangat mencintai Saudah. Aisyah berkata, “Tidak ada wanita yang aku cintai untuk berkumpul bersamanya selain Saudah binti Zam’ah, karena dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki wanita lain.”
Tak hanya itu, Saudah merelakan malam-malam gilirannya untuk Aisyah semata-mata untuk memperoleh keridhaan Rasulullah. Saudah mendampingi Rasulullah Saw dalam perang Khaibar. Pada peperangan ini pula, Rasulullah menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Mendengar hal itu, Saudah tetap rela dan menerima kehadiran Shafiyyah, karena hatinya bersih dari sifat iri dan cemburu.
Saudah menunaikan haji wada’ bersama istri-istri Rasul yang lainnya. Beberapa saat setelah haji wada’, Rasulullah sakit keras dan meminta persetujuan istri-istri beliau yang lain untuk tinggal di rumah Aisyah. Ketika Nabi sakit, Saudah tak pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan membantu Aisyah sampai beliau wafat.
Sebagai penutup, hal istimewa yang dimiliki Saudah adalah kekuatan dan keteguhannya dalam menanggung derita seperti pengusiran, penganiayaan, dan bentuk kedzaliman lainnya, baik yang datangnya dari kaum Quraisy maupun dari keluarganya sendiri.
Sifat mulia menonjol darinya adalah kesabaran dan keridhaannya menerima takdir Allah ketika suaminya meninggal, dan harus kembali ke rumah orang tuanya yang masih musyrik, hingga Rasulullah memilihnya menjadi istri. Lebih dari itu, ia pun juga dikenal dengan kemurahan hatinya dan suka bersedekah. Wallahu a’lam bisshawab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Leave a Review