Di ruangan sederhana itu mengalirlah cerita buya muda energik itu tentang suka duka merintis sebuah MTI perjuangan di kampung yang terselip di kaki bukit. Penuh perjuangan tapi juga penuh harapan. Saya kira, bekal perjuangan itu merupakan spirit dari institusi pendidikan tarbiyah yang ia masuki.
***
Sebelumnya Baca: Menulis dari Kampung 3 (Glorifikasi PKS di Ranah Minang – Ranah Pertalian Adat dan Syarak)
Oleh: Raudal Tanjung Banua
Selama di kampung, saya senang blusukan ke tempat-tempat di seputaran saya tinggal. Sebenarnya itu kegemaran saya waktu kecil. Masuk kampung ke luar kampung, masuk kali ke luar lumpur. Infrastruktur jalan yang baik cukup menunjang hobi saya itu sampai sekarang. Banyak tempat di mana dulu saya bermain sudah berubah. Paling mencolok tentu saja rumah-rumah yang kian padat. Rumah lama yang dulu paling besar, kini terasa paling kecil karena muncul rumah-rumah baru yang lebih besar. Semuanya jenis rumah beton (atau “rumah batu” orang kampung menyebut), menyingkirkan rumah-rumah kayu yang tersisa.
Dan jangan lupa, arus lalu-lintas kian padat juga. Tiap rumah, bahkan nyaris tiap kepala, kini punya sepeda motor (betapa pun matic merejalela, orang kampung tetap menyebutnya “onda”). Tak kalah banyak warga yang punya oto (mobil) pribadi, di luar pick up atau truk. Mudah-mudahan benar itu simbol kesejahteraan, bukan yang lain. Pabrik pengolahan sawit di selatan, membuat truk-truk tangki pengangkut CPO hilir-mudik Tapan-Padang. Belum lagi raung serine ambulan lewat tiap sebentar membawa orang sakit ke satu-satunya rumah sakit di ibukota kabupaten, Painan. Jika ada yang perlu disesali dengan kemajuan ini adalah infrastruktur dan fasilitas kesehatan yang tak juga memadai hingga kini. Sejak saya kecil, tetap saja tak ada rumah sakit representatif di selatan!
Tapi hati lumayan terhibur dengan dunia pendidikan. Setidaknya melihat fisik gedung-gedungnya yang megah. SD saya dulu, kini tak kalah mentereng dengan SD di kota berkat bantuan Pertamina yang sekarang bikin aplikasi buat beli pertalite itu. Gedung SMP bertambah jumlahnya. Dulu, seluruh anak Taratak harus bersekolah jauh ke Taluk, sekarang ada empat gedung SMP di Taratak dan Surantih. Belum lagi di Ampingparak. SMA juga sudah punya. Sebuah sekolah kejuruan yang bertahun-tahun lalu hanya ada dalam impian, kini berdiri di bekas rawa-rawa. Belum lagi lembaga pendidikan tahfiz dan madrasah swasta yang sedang bergairah.
Di tengah kemajuan-kemajuan yang mesti diapresiasi itu, teringatlah saya akan lembaga pendidikan Tarbiyah Islamiyah yang dulu sempat mewarnai kabupaten saya dengan sejumlah MTI-nya. Apa kabar MTI di tengah situasi penuh percepatan dan perpacuan material ini? Masihkah ia bersemi dan dinanti?
Di mesin pencari google, saya lihat MTI di daerah saya, masih saja yang lama. Di antaranya Sabilul Jannah Timbulun, Surantih, atau PP Salafiah Tarbiyah Islamiyah Koto Kandis, Lengayang. Tapi ada satu nama baru seolah menyeruak dari yang lama: MTI Ashabul Kahfi. Nama itu terasa familiar di satu sisi, sebab membawa ingatan saya pada kisah tujuh pemuda beriman yang bersembunyi di dalam gua. Namun, ia terasa asing di sisi lain, sebab tak pernah terbayangkan sebelumnya nama itu mewujud dalam sebuah MTI di kampung saya.
(Makna “kampung saya” di sini, juga dalam seluruh tulisan di kolom “Menulis dari Kampung”, bersifat fleksibel; tak hanya kampung tempat lahir saya an-sich, tapi bisa meluas ke kampung-kampung sekitar, kecamatan, kabupaten bahkan Provinsi Sumatera Barat).
Saya kemudian tahu bahwa pendiri MTI Ashabul Kahfi adalah Buya (8) Heru Kisnanto Tuanku Kebijaksanaan, seorang buya muda yang pernah menimba ilmu di Ma’had Ashhabul Yamin, Lasi, Agam dan alumnus UIN Imam Bonjol Padang (studi S2-nya belum sempat diselesaikan). Wah, boleh juga orang ini, pikir saya, mengingat bukan perkara mudah membangun sesuatu di kampung yang sarat cimeeh (cemooh) atau bahkan gunjing. Apalagi yang dibangun itu institusi pendidikan, kebutuhan yang notabene dianggap sudah terpenuhi dengan kehadiran sekolah negeri.
Tapi bukankah ini MTI, sebuah institusi pendidikan yang tidak hanya menekuni kurikulum pelajaran umum, namun juga kurikulum khusus berbasis Al Quran, hadis dan kitab-kitab? Bagi anak atau orang tua yang kebutuhannya melebihi pelajaran umum, sudah barang tentu lembaga seperti MTI ini menjadi pilihan tersendiri. Meski sebenarnya itu pilihan berat. Siapakah yang akan berminat? Di tengah kuatnya sugesti sekolah umum sebagai pencetak generasi milenial berprestasi, yang ditandai terterimanya mereka di perguruan tinggi negeri bergengsi, tidakkah sekolah swasta semacam MTI menambah sengkarut cita-cita saja? Tapi saya pikir justru di sinilah tantangannya.
Yang membuat saya lebih sumringah, MTI itu tak jauh dari rumah saya di Lansano. Hanya beda nagari/desa, yakni di Rawang, Gunung Malelo. Tepatnya di Dusun Tabek Tinggi. Dulu, meski terletak serentang lurus dengan kampung saya, Rawang tetap terasa jauh. Sebab dipisahkan oleh rawa bergoyang dan hamparan sawah. Untuk mencapainya orang harus memutar ke arah jembatan penyeberangan Surantih. Atau jika mau jalan pintas, harus melewati rawa penuh lintah. Tapi sejak akhir 90-an, serentang jalan terbengkalai akhirnya berhasil diselesaikan. Alhasil jarak Rawang dengan Lansano benar-benar hanya “sepelemparan batu”.
Saya pun meluncur ke lokasi. Meski dekat, tapi harus hati-hati. Sebab sepanjang jalan gerombolan sapi-sapi bebas berkeliaran, sebagian tidur enak-enakan di aspal, dan kotorannya berceceran di mana-mana. Ini tradisi lama yang tak pernah berubah, atau memang tak sungguh-sungguh diubah. Tiap selesai panen padi, seluruh sapi dan kerbau milik warga akan dibiarkan lepas tanpa tali, dan baru sore hari akan digiring pulang. Sementara kerbau bertahan di sawah dalam gerombolan dan kubangan besarnya masing-masing. Ternak itu baru akan diikat kembali jika sudah mulai turun ke sawah, setahun sekali.
Kampung kecil Tabek Tinggi itu kian padat saja. Rumah-rumah berderet nyaris berdempet. Pola pemukiman semacam ini menjadi perhatian saya juga selama di kampung. Ada fenomena di mana di satu titik tertentu rumah-rumah sangat padat seolah tak ada lagi ruang untuk membangun rumah baru, padahal di sekitarnya lahan masih luas. Tapi mungkin karena itu lahan sawah atau kebun, jadi sayang dijadikan perluasan kampung. Bagus juga kalau ini pertimbangannya, sehingga lahan produktif tak tergusur. Nagari Kayu Aro di Surantih atau Koto Pulai di Kambang, bagian dari fenomena ini. Dan termasuk ternyata Tabek Tinggi. Dulu hanya kampung lengang. Hulu sebuah kali kecil di mana orang mengempang (manabek) airnya untuk dialirkan ke sawah. Sekarang dengan adanya MTI Ashabul Kahfi ini, bisa saja nama kampung ini mendapat pemaknaan baru: tempat sejumlah buya muda sedang mengempang arus zaman dengan ilmu dan amal, dan mengalirkannya ke lahan hidup orang banyak.
Seutas jalan cor membelah kampung di kaki bukit itu. Dan tak jauh masuk, segera saya menemukan tiga bangunan sangat sederhana berdinding papan triplek tegak di kedua sisi jalan. Satu bangunan yang agak besar tampaknya adalah ruang kelas, satu lagi bangunan kayu berlantai dua. Sebuah bangunan semen, tampak dalam proses pengerjaan. Sebagaimana juga di sebelah gedung sekolah lama sedang berlangsung pembangunan gedung baru.
Para tukang sedang giat bekerja. Beberapa membereskan longsoran tanah dari tebing bukit karena hujan semalam. Lahannya yang sempit membuat bangunan berebut ruang dengan tebing yang dipapas. Kepada seorang tukang saya bilang saya ingin ketemu Buya Heru. Namun orang yang saya cari sedang pergi ke Lasi. Saya berniat datang lain kali.
Suatu petang dihari yang lain saya kembali ke Tabek Tinggi. Buya Heru sedang berdiri mengamati bangunan yang sesiang tadi dikerjakan para tukang. Setelah salam berjawab salam, dan perkenalan, saya diajak masuk ke bangunan kayu bertingkat dua. Ternyata itu asrama santri, bagian atas untuk putra dan bagian bawah untuk putri yang sekaligus berfungsi sebagai kantor dan ruang tamu di siang hari. Bangunan itu hanya sekitar 6 x 10 meter.
Di ruangan sederhana itu mengalirlah cerita buya muda energik itu tentang suka duka merintis sebuah MTI di kampung yang terselip di kaki bukit. Penuh perjuangan tapi juga penuh harapan. Saya kira, bekal perjuangan itu merupakan spirit dari institusi pendidikan tarbiyah yang ia masuki. Mula-mula di MTI Sabilul Jannah, Timbulun, Surantih, dan setamat di sana ia lanjutkan ke Ma’had Ashhabul Yamin, Lasi. Ia kemudian diminta mengajar di MTI Sabilul Jannah, sepulang dari Lasi dan setamat UIN Imam Bonjol di Padang.
Namun setelah beberapa tahun mengajar muncul gejolak intern terkait kepemimpinan. Sebagian pihak meminta pemimpin saat itu diganti. Namun sebagian lain, termasuk Buya Heru, menolak pergantian mengingat pemimpin yang notabene mantan gurunya tersebut sedang berperkara di luar lembaga. Akan lebih bijak memberi waktu kepadanya untuk menyelesaikan dulu persoalan yang ia hadapi.
Meski hal itu akhirnya disepakati, tapi situasi sudah terlanjur kurang kondusif dirasakan Buya Heru. Karena itu, ia memutuskan datang ke Lasi, mengadu kepada gurunya, Buya Zamzami Yunus, pendiri dan pengasuh Ma’had Ashhabul Yamin. Buya Zamzami meminta Heru tetap mengajar di Sabilul Jannah. Padahal saat itu ia sudah diminta mengajar di Jabbal Rahmah Talang, Solok. Tapi demi pengabdian, penghormatan dan adab kepada guru, Heru membatalkan niat itu dan kembali ke kampung.
Ia kembali mengajar seperti biasa. Sayang beberapa waktu kemudian, dalam tahun 2017, ternyata pergantian pemimpin tetap dilakukan. Bagi Heru dan sebagian yang lain itu dianggap menyalahi kesepakatan. Sekali lagi ia datang menghadap sang guru di Lasi.
Kali itu, Buya Zamzami Yunus meminta Heru mendirikan MTI sendiri. Perintah itu diterimanya penuh suka cita sekaligus terbayang tugas berat di depan mata. Awalnya, Buya Dalisman ikut bergabung bahkan diposisikan sebagai ketua MTI yang berdiri tahun 2018 tersebut. Santri pertamanya berjumlah tujuh orang, persis jumlah pemuda yang menyepi di gua dalam cerita Ashabul Kahfi.
Mula-mula proses belajar-mengajar diadakan di sebuah surau di tepi sawah, di Tabek Randah. Kebetulan tak jauh dari situ ada sebuah bangunan ruko kecil yang belum dihuni dan belum sepenuhnya selesai. Di sanalah para santri ditumpangkan. Akan tetapi seiring waktu, situasi dirasa kurang kondusif sebab surau juga dipergunakan warga.
Akhirnya Heru meminta izin kepada keluarganya untuk menggunakan tanah milik mereka sebagai tempat mendirikan bangunan kelas. Untuk sementara para santri tinggal di rumah-rumah penduduk. Setelah bangunan asrama menyusul ada, santri dipindahkan ke asrama. Warga yang sudah sayang kepada mereka tetap mengirimi lauk atau makanan. Apalagi terbukti kemudian, santri yang sedikit itu dianggap cukup berhasil menguasai materi yang diajarkan. Dari yang semula tak bisa mengaji, ketika sesekali pulang ke rumah masing-masing, orang tua mereka kaget telah mendapatkan anak-anak mereka lebih dari sekadar lancar mengaji.
Kurikulum MTI punya keunggulan sebab selain mengajarkan mata pelajaran umum juga ada mata pelajaran khusus. Ada ilmu nahu shorof, tafsir, tasauf, hadis dan kitab. Setiap pagi sebelum pelajaran dimulai santri membaca asmaul husna. Sore hari ada takasus, seperti pendalaman nahu dan shorof. Malam hari ada muhadara, pengembangan diri seperti silat, ilmu fiqih dan malam tafakur. Kegiatan padat dari pagi hingga malam. Hanya Sabtu-Minggu libur. Saya sempat mengusulkan untuk menambahnya dengan materi sastra, dan Buya Heru antusias menyambut. Saya mungkin akan segera berkirim buku-buku sastra selepas pulang ke Yogya.
Kurikulum terintegrasi dan hasil yang dilihat langsung kepada santri, telah menambah minat orang untuk memasukkan anak-anaknya ke MTI Asabhul Khafi. Tahun ini tercatat yang mendaftar 32 orang. “Saya ajak duduk orang tua calon santri, dan bilang berterus-terang, kondisi sekolahnya begini ini, Bapak-Ibu. Apa sudah dipikir masak-masak menyekolahkan anak di sini? Tak ada yang ditutup-tutupi. Alhamdulillah orang tua santri mengerti dan tetap memilih memasukkan anaknya,” kata Buya Heru takzim.
Sungguh pun begitu, Buya Heru tak lupa dinamika MTI yang membuatnya makin yakin untuk meningkatkan semangat perjuangan. Dalam prosesnya yang baru seumur jagung itu, sembilan orang pengajar tak semuanya bertahan. Tenaga pengajar sebagian berasal dari MTI Sabilul Jannah yang tak sepakat dengan peralihan pemimpin dulu, sebagian lagi dari sekolah umum dan lulusan ma’had lain di darek. Empat orang kemudian keluar dan bergabung kembali ke MTI Sabilul Jannah. Hal itu dapat dipahami Heru sebab tenaga pengajar belum digaji.
“Paling kami hanya bisa belikan jilbab untuk guru perempuan dan kain sarung untuk guru laki-laki. Bulan puasa ada buka bersama. Kalau ada dana masuk, berapa pun yang tersisa dari kebutuhan pondok, akan kita buka secara transfaran, dan itulah yang dibagi,” kata Heru. Empat orang guru yang bertahan itu, salah satunya Erfalsi, alumnus Pasie, menyisakan asa di hati Buya Heru untuk tetap tegak berjuang.
“Buya Erfal orang Langgai, dan ia bawa istrinya yang orang Bukittinggi tinggal ke Surantih sini,” kata Heru menyebut semangat rekan sejawatnya itu. Seiring dengan itu pernah pula beredar tuduhan miring bahwa MTI Ashabul Kahfi tidak punya izin. “Sebuah media online memberitakan begitu padahal kami tak pernah dikonfirmasi. Tapi kami bersabar saja. Sampai suatu ketika saya bertemu dengan wartawan yang menulis berita itu. Saya perlihatkan akta notaris yang kami miliki,” Heru yang juga aktivis HMI itu geleng-geleng kepala.
Menurut Buya Heru, MTI yang dipimpinnya sudah punya Nomor Statistik Pondok Pesantren (NSPP) yang dikeluarkan Kementrian Agama. Juga Nomor Pokok Sekolah Nasional keluaran Kemendikbud sehingga berhak mendapat dana BOS. Meski jumlahnya tidak banyak, maklum berdasarkan jumlah siswa, sehingga tetap tidak bisa dijadikan untuk kesejahteraan guru. Dana lain datang dari Program Indonesia Pintar dan bantuan Operasinal Pesantren. Ada juga donatur lepas serta sumbangan beberapa tokoh Pessel yang sempat berkunjung seperti anggota DPD RI Lisda Hendrajoni dan Alirman Sori.
Tentu kita berharap, semoga kunjungan-kunjungan para tokoh yang punya perhatian itu tidak dalam kepentingan lain-lain, kecuali untuk kemajuan semata MTI rintisan ini. Harapan ini wajar, mengingat dalam banyak kasus, kunjungan tokoh ke pondok pesantren kerap tak luput dari aroma politik. Tapi itu di Jawa, di Sumatera Barat jangan-jangan sama saja…
Apa pun, dana dari sejumlah sumber itulah yang mereka kumpulkan dan kelola sehingga mulai bisa membangun gedung kelas permanen dan sebuah asrama putri. Namun karena dana terbatas, kemungkinan pembangunan itu bisa juga terbengkalai. Belum lagi rencana membangun asrama putra secara permanen pula. Ia berharap ada uluran tangan para dermawan.
Apalagi mereka punya plainning untuk bisa membeli tanah di bagian atas bukit. “Ada warga yang mau jual seharga seratus juta. Mengingat lahan keluarga saya ini sempit, maka ke depan penambahan gedung atau bangunan lain bisa di lahan atas bukit itu. Tentu jika jadi bisa dibeli,” kata Heru tertawa. Ia lalu menyebut satu prinsip yang telah melandasi perjuangan hidupnya,”Intansurullah yansurkum (kalau kau menolong Allah, Allah pasti menolongmu).”
Aamiin, Buya…
Selanjutnya Baca Menulis dari Kampung (5): Benteng Terakhir Syattariyah di Sutera
Leave a Review